Siapa yang bilang aku monyet?
Aku adalah manusia seutuhnya yang meski hitam tapi tak berbulu seperti monyet.Â
Aku tinggal di rumah seperti kalian, makan dan minum pakai piring, tidur pun aku di kasur sama seperti kalian.
Aku tidak bergelantungan di pohon dan melompat-lompat dari satu tangkai pohon ke tangkai yang lain.Â
Lantas, kenapa aku kalian sebut monyet?
Apakah karena aku berbeda dengan kalian?Â
Apakah karena peradabanku yang jauh tertinggal dengan kalian?
Apakah karena kakakku, ayahku, kakekku yang masih mengenakan koteka lantas kami dianggap masih jauh tertinggal dengan kalian?Â
Sejak dulu kami rela tertinggal meski kekayaan tanah kami mampu memberikan kami semua pakaian emas yang membalut sekujur tubuh kami yang hitam ini. Para lelaki kami masih membuat koteka dari akar kayu meski tanah kami sangat bisa memberikan lelaki kami koteka emas murni.Â
Apakah kami pernah turun ke jalan seperti sekarang hanya untuk protes kekayaan kami yang rela kami bagi bersama?Â
Apakah kami pernah bertanya berapa bagian kami atas kekayaan alam kami yang diambil dari dulu sampai sekarang ini? Tidaaaak!Â
Kami rela berbagi, karena seekor monyet pun tahu berbagi makanan bagi sesama keluarganya, sesama sanak saudaranya.Â
Kami tahu arti Kebhinnekaan Tunggal Ika dan kami tahu arti indah memberi makanya kami tidak protes kekayaan kami kita bagi bersama demi negeri.Â
Kami protes, kami marah, bukan karena soal kekayaan kami yang kita bagi bersama.
Tetapi karena memperjuangkan harga diri kami yang seharusnya dipandang sama.Â
Stop persekusi, stop intimidasi, demi ibu Pertiwi mari kita berpegangan tangan kembali.Â
Desa Tandu, Manado, 20 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H