Mohon tunggu...
Levina Litaay
Levina Litaay Mohon Tunggu... Insinyur - Simple, smart, sportive

Community base development, complex problem solving, event organizer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melodi dari Kesunyian "Volcano Island" Nila

13 Juni 2023   01:29 Diperbarui: 13 Juni 2023   09:50 2615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Lawarkakwa P.Nila Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku – diperkirakan 1.5 mil kapal berlabuh dari pantai (dokumentasi Buce Serpara)

Melodi Dari Kesunyian ‘Volcano Island’ NILA

Pernahkah kita membayangkan ada sekelompok orang yang hidup di pulau begitu kecil di atas wilayah laut terdalam di Indonesia, yaitu Laut Banda dengan kedalaman diperkirakan mencapai 7.700 m?

Salah satu pulau yang anda mungkin sudah mengenal adalah Pulau Banda, namun sebenarnya sebagian besar kepulauan Maluku berada di wilayah Laut Banda. Diantaranya terdapat 3 (tiga) pulau vukanik dan juga berada diatas salah satu patahan aktif di dunia, yaitu Pulau Teon, Pulau Nila, dan Pulau Serua atau di singkat TNS.

Sebelumnya penulis sempat menulis salah satu pulau diantaranya yaitu Pulau Teon. Sehingga untuk mengenal lebih jauh keberadaan ke 3 pulau ini dalam tulisan ini, penulis akan membahas keberadaan Pulau Nila. 

Perlu juga diingat bahwa gugusan ke 3 Pulau TNS masih didiami atau berpenghuni dan berada di Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

Di bagian depan Pulau Nila ada sebuah pulau kosong yang disebut Pulau Kari dan memiliki pantai pasir putih yang indah dan sangat cocok dijadikan tujuan “wisata sunyi’ bagi pencari inspirasi untuk menulis atau melukis. Dan masih ada juga satu pulau ‘atol’ Nusafnu. 

Pulau Nusafnu akan nampak jika air surut, namun jika air naik (istilah orang Maluku “aer pono”) maka pulau ini tidak terlihat.

Pulau Nusafnu terlihat ketika air laut surut, dibelakang adalah Pulau Kari ( dokumentasi Buce Serpara)
Pulau Nusafnu terlihat ketika air laut surut, dibelakang adalah Pulau Kari ( dokumentasi Buce Serpara)

Pulau Nila merupakan pulau terbesar yang di dalamnya terdapat 7 kampung adat yaitu Kokroman, Kuralele, Ameth, Usliapan, Bumei, Wotay dan Sifluru. 

Pada tahun 1968, TNS kepulauan dipisahkan dari Pemerintahan Kecamatan Banda dan menjadi satu Kecamatan TNS tersendiri dengan ibu kota Rumdai di Pulau Nila.

Istilah Rumdai disebut wilayahnya meliput 4 kampung yaitu Kokroman, Kuralele, Ameth dan Usliapan. Rumdai berasal dari 2 kata yaitu “Romang” dan “Dai”. 

Sesuai cerita dalam masyarakat Nila bahwa marga terbesar di Rumdai yaitu marga Marantika dan Lakotany yang berasal dari Pulau Romang dan Pulau Dai Kabupaten Maluku Barat Daya. Sedangkan tuan tanah di Usliapan adalah marga Letwory. 

Situasi Pantai Pulau Nila (video Buce Serpara)

Ameth sendiri adalah komunitas hidup masyarakat yang terbentuk ketika pendeta asal Nusalaut bertugas di Nila. Sehingga bukan cuma di Pulau Nusalaut terdapat Ameth tetapi di TNS juga terdapat Kampung Ameth.

Adapun 3 kampung lainnya berada di lingkaran teluk indah yang disebut BSW (Bumei, Sifluru, dan Wotay) dan yang mencengangkan terdapat peninggalan pendaratan pesawat pada zaman perang sekutu di wilayah BSW.

TNS pulau -pulau  terselatan dari Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku (sumber: wikimedia.org)
TNS pulau -pulau  terselatan dari Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku (sumber: wikimedia.org)
Di tahun 1978, pemerintah pusat mengevakuasi semua penduduk dari ketiga pulau TNS ke dataran Pulau Seram Kabupaten Maluku Tengah dengan alasan ancaman bencana meletusnya Gunung Lawarkakwa di Pulau Nila.

Dalam pemberitaan Kompas.com tanggal 8 Oktober 2015, Bupati Maluku Tengah menyatakan bahwa Kepulauan TNS adalah pulau kosong. Apakah benar- benar kosong? 

Ternyata pada kenyataannya, hingga saat ini ancaman gunung api itu tidak berwujud dan masih ada orang yang menetap di Pulau Nila. 

Dan menurut penuturan warga ada keluarga yang tidak bersedia pindah ke Waipia wilayah baru di Pulau Seram dan tetap memilih menetap di pulau sebagai hak wilayah adat yang dijaganya hingga saat ini.

Judul melodi dari kesunyian “volcano island”, Nila adalah sebuah cerita kerinduan masyarakat Rumdai Pulau Nila untuk memiliki 1 (satu) buah alat musik keyboard dalam mengiringi mereka beribadah di gereja. Adapun alat musik yang digunakan selama ini adalah suling bambu.

Di Rumdai sendiri menetap 30 KK yang setiap minggunya memanfaatkan bekas gedung sekolah di Snurta Kokroman untuk dijadikan tempat ibadah. 

Adapun gereja Rumdai sudah dalam kondisi rusak dan belum dibangun kembali. Tidak ada pendeta jemaat di pulau yang ada hanya majelis yaitu 2 penatua dan 2 diaken. Salah satu penatua adalah Islanty Lakotany yang biasa dipanggil “Ical” dan sekaligus sebagai Kepala Dusun Kokroman. Sedangkan penatua lainnya yaitu Luis Marantika dan Diaken Krestian Marantika dan Salomi Serpara.

Di bulan Mei 2022, ada persidangan Jemaat Gereja Protestan Maluku( GPM) Rumdai di Waipia, turut hadir Penatua Ical dari pulau guna membahas masalah jemaat Rumdai sektor Gilgal Pulau Nila. Satu harapan yang disampaikan dalam persidangan jemaat bahwa warga gereja di pulau berkeinginan memiliki sebuah keyboard. Namun atensi program dan kegiatan gereja induk belum bisa memenuhi keinginan warga di pulau.

Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan alat musik, penulis berinisiatif untuk penggalangan dana secara terbatas. Puji Tuhan, kerinduan mereka dari tengah kesunyian Laut Banda direspon oleh rekan-rekan komunitas baik Komunitas Kepompong ‘84 maupun Asmansa ‘85 di Jakarta. 

Gayung bersambut terkumpulah sejumlah uang dari Laksda TNI Glady Mailoa,SE, Ir. Agostino Limaheluw, Jacob Tanasale, SE, Ir, Sandra Tapiheru, dr.Anna Pattiasina, Naomi Litaay,MSc dan penulis sendiri.

Akhirnya hari itu dengan uang yang terkumpul dapat membeli 1) Keyboard Yamaha PSR SX 600 2) Speaker Carver KBA 1500 3) Sustain Cherub WTB 005 4) Hardcase Yamaha 5) Stand Keyboard Paladin SK 6)Stand Block Paladin SB 26 7) Cable4m + Jack.

Seperangkat Keyboard, Speaker, Stand block, Stand Keyboard, Hard case dan Sustain bagi GPM Rumdai Pulau Nila ( dokumentasi pribadi)
Seperangkat Keyboard, Speaker, Stand block, Stand Keyboard, Hard case dan Sustain bagi GPM Rumdai Pulau Nila ( dokumentasi pribadi)

Timbul tanya bagaimana semua barang ini tiba di pulau yang begitu terisolir di tengah Laut Banda di Maluku? Tidak ada pilihan, harus menggunakan jasa tol laut yang di layari kapal Pelni dan berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priuk Jakarta.

Dibantu oleh John Wosia, semua perangkat elekronik ini harus di packing rapi dan tidak boleh basah terkena air. Singkat cerita 4 koli barang dinaikkan ke kapal Pelni KM. Ngapulu dengan tujuan Jakarta- Surabaya – Makassar – Bau-Bau dan tiba di Ambon tanggal 28 Mei 2022 pukul 19.00 WIT.

Barang dipacking rapi dilapisi plastik karena memperhatikan proses embarkasi/deembarkasi di setiap pelabuhan  (dokumentasi Poly Salamor)
Barang dipacking rapi dilapisi plastik karena memperhatikan proses embarkasi/deembarkasi di setiap pelabuhan  (dokumentasi Poly Salamor)

Setiba di Ambon barang dijemput oleh Poly Salamor (menantu Patura Nila Sammy Sarioa) dari ABK KM.Ngapulu Bambang. 

Perangkat musik tersebut sempat diinapkan beberapa hari di Ambon sambil menunggu jadwal kapal perintis yang akan melayari TNS kepulauan. Tepat tanggal 6 Juni 2022 barang diberangkatkan bersama KM.Sanus 71 dengan rute Ambon – Amahai – Serua – Nila.

Melalui komunikasi dengan Radio SSB/HF sudah disampaikan agar Kadus Ical mengurus penjemputan. 

Masih ingatkah tulisan penulis sebelumnya bahwa di Kepulauan TNS tidak ada dermaga tempat kapal berlabuh, sehingga proses embarkasi/deembarkasi merupakan sebuah perjuangan tersendiri bertahun-tahun? Semua dilakukan di tengah laut dan dapat dibayangkan harus menurunkan sejumlah alat elektronik yang tidak boleh terkena air apalagi air laut.

Akhirnya dengan kemurahan Tuhan peralatan keyboard, speaker dan alat bantu lainnya tiba dan dapat dimiliki oleh warga gereja Rumdai Sektor Gilgal Pulau Nila. Betapa sukacita tak terkira warga di pulau. Melodi itu lalu berdentang dari tengah kesunyian Laut Banda.

Ruang Ibadah GPM Rumdai di bekas sekolah di Pulau Nila Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku ( dokumentasi Nicodemus Lakotany)
Ruang Ibadah GPM Rumdai di bekas sekolah di Pulau Nila Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku ( dokumentasi Nicodemus Lakotany)

Saat itu bersamaan dalam kapal Sanus 71 ada rombongan Keluarga Kelpitna-Resley yang kebetulan hendak melakukan acara pemindahan tulang jasad orang tuanya untuk dimakamkan ke Waipia. Salah satu anggota keluarga adalah Pdt.Eva Kelpitna (dari Papua) dan diminta kesediaan untuk melayani ibadah minggu di gereja Rumdai.

Untuk pertama kalinya dentingan melodi keyboard memenuhi ruang ibadah sederhana di bekas sekolah Rumdai. Selesai ibadah semua anggota jemaat bersama majelis dan Pendeta Eva membuat sebuah video ucapan terima kasih bagi orang-orang yang terlibat mewujudkan impian mereka.

Pdt. Eva Kelpitna bersama keluarga di Rumdai Pulau Nila Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku ( dokumentasi Eva Kelpitna)
Pdt. Eva Kelpitna bersama keluarga di Rumdai Pulau Nila Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku ( dokumentasi Eva Kelpitna)
Terharu, gembira, bangga dan berterima kasih kepada Tuhan (Uplera) bahwa begitu banyak kemudahan yang diberikan ketika niat baik untuk membantu itu terangkai dalam menjawab doa-doa warga gereja Rumdai sektor Gilgal Pulau Nila dari tengah kesunyian Laut Banda.

Situasi ibadah pertama menggunakan keyboard di GPM Rumdai sektor Gilgal P.Nila (video Junior Paliama)

Apakah sampai disitu cerita ini?

Sebagaimana kehidupan lainnya maka dari Pulau Nila, penulis mendapat pesan lewat radio komunikasi HF/SBB bahwa warga gereja akan mengirimkan 1 plamir Inasua (ikan yang telah difermentasi garam) sebagai ucapan terima kasih kepada semua yang telah membantu merealisasi harapan mereka.

Sebagaimana perjalanan perangkat keyboard dari Jakarta ke Pulau Nila, maka lagi-lagi 1 plamir Inasua akan menjadi barang yang diangkutkan dari sebuah pulau vulkanis di tengah Laut Banda menuju Jakarta. 

Si Kadus Ical menitipkan 1 plamir Inasua ke ABK KM. Sanus 71 berangkat menuju Ambon melalui Nila-Serua -Amahai - Ambon.

Tiba di Ambon, 1 plamir Inasua di urus oleh satu porter pelabuhan asal TNS Zeth Leunufna untuk diberangkatkan dengan kapal Pelni menuju Jakarta. 

Sesampainya di Jakarta, penulis mengemas dan mengirimkan Inasua kepada setiap teman/sahabat/keluarga yang sudah bahu membahu mewujudkan impian warga gereja Rumdai Sektor Gilgal di Pulau Nila.

Melodi dari kesunyian, teruslah berdendang karena Tuhan tidak tidur.

Menutup kisah ini, penulis dedikasikan tulisan ini bagi tokoh-tokoh besar yang berasal dari Rumdai. 

Pulau Nila khususnya telah melahirkan nama-nama besar dan memberi kontribusi pengabdian secara Nasional maupun Internasional seperti Pdt. Ds.Simon Marantika (Tokoh Pembentukan Dewan Gereja Indonesia 25 Mei 1950 dan menjabat Sekum DGI), Pdt.DR Christ Marantika, Th DD (Pendiri YII,UKRIM,STTII), Pdt.Dr.Elisabeth (Lies) C Marantika, STh (Komisioner Komnas Perempuan RI 1998-2006, Aktivitis HAM, Perdamaian dan Perempuan), Broery Marantika (Penyanyi Legendaris Indonesia), Prof.Dr.Juliaans E.R Marantika, MPd (Dosen dan Guru Besar UNPATTI), George Iwan Marantika, MBA (President Indonesia Australia Business Council – IABC periode 2020-2022 dan juga Ketua Komite Bilateral Kamar Dagang dan Industri Indonesia) dan sejumlah tokoh intelektual/musisi generasi terbaru dari Pulau Nila seperti Penyanyi Tony Marantika dan lain-lainnya.

Sekalipun senyap dan terlupakan, melodi itu ternyata telah berdentang bertahun – tahun dan menggetarkan melalui alunan suara nan merdu, dari kotbah-kotbah berkharisma dari kepemimpinan manusia asal Kepulauan TNS.

Orang TNS memiliki jati diri manusia mandiri dari tanah vulkanik yang berlimpah kekayaan alamnya baik di darat maupun di laut. Hidup dengan alam yang sangat menantang, pada pijakan tanah belerang, minim perhatian negara, tetapi kehadiran Tuhan nyata (Uplera Nortarita) dan terus bernafas dalam syukur yang tak terhingga sambil memuji Sang Khalik. Mencapai potensi terbaik dalam berbagai bidang sebuah wujud makna tanggung jawab kemandirian sebagai makhluk Tuhan, pribadi dan sosial

Biarlah kita tetap menaburkan kebaikan sekecil apapun dalam hidup kita. Karena siapa tahu dari warga pulau yang menerima berkat Tuhan dari tangan yang memberi tanpa dikenal akan lahir pemimpin-pemimpin besar bangsa sebagaimana pendahulunya.

Terima kasih kepada semua pihak sahabat, teman dan saudara yang telah terlibat dalam memeriahkan melodi dari tengah kesunyian “volcano island” Nila bagi warga Rumdai.

Kemuliaan hanya bagi Allah. Ebenhaezer. Amin. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun