Ritual seperti ini memang terasa sangat berbeda bagi penulis yang datang dari Jakarta. Kekhusukkan acara di bawah terang bulan dan nyala obor sekalipun dipasang lampu sorot dibeberapa titik yang diarahkan ke arena acara.
Penulis merasakan menyatu dalam pergumulan bersama masyarakat Mesa.
Kita harus bangkit, api kebangkitan itu sudah dipantik dan harus menggerakkan ketiga pulau bahkan ke seluruh tanah air.
Tiba saatnya pemberkatan laut dan darat. Adapun kedua pendeta masuk ke laut yaitu Pdt. Maryon Hukom dan Pdt. Decky Wurlianty berdiri menghadap ke darat dengan tangan terangkat untuk memberkati pulau. Sedangkan 3 pendeta lainnya ( Pdt. Febby Picaulima, Pdt. Alex Relmasira dan Pdt. Oscar Yalmaf) menghadap ke laut untuk penumpangan tangan ke arah laut sebagai tanda memberkati laut.
Doa Berkat atas Pulau dan Laut oleh Pdt. Febby Picaulima ( dokumentasi Buce Serpara)
Wouw ! dalam hati penulis berkata pemberkatan ini sekaligus memberi makna bahwa kita sebagai penghuni, anak cucu Mesa loyasatomay bertanggungjawab kepada Uplera untuk mengusahakan baik laut dan darat demi kesejahteraan bersama.
Harus menjaga lumbung laut dan darat yang Uplera titipkan guna keberlanjutan kehidupan dalam bingkai NKRI.
Seluruh rangkaian acara ditutup dengan doa oleh Pdt.Decky Wurlianty, sementara masyarakat membentuk lingkaran sambil bergandeng tangan dan menyanyikan lagu “Hanyalah Dia” dan disusul lagu “Gandong e”.
Warga menyanyikan lagu "Hanyalah Dia" (dokumentasi Buce Serpara)
Obor kebangkitan itu telah dinyalakan, api Mesa Bergerak Nustratelu Bangkit sudah dibagikan, tibalah pada penghujung acara pemberkatan laut dan darat yaitu pelepasan lampion terbang.
Dari Jakarta, penulis membawa lampion terbang yang dapat dinyalakan dengan sumbu lilin malam sebanyak 50 buah. Bergegas masyarakat ke tepi pantai menyalakan lampion terbang dan menerbangkannya.
Simbolisasi ini seolah berkata bahwa api itu sudah menyala dan kami siap membawa keluar pulau.