Malam Takbiran Terakhir
Oleh Lesterina Purba
Rambut yang sudah memulai memutih meskipun sepuhan rambut setiap tiga purnama berusaha membuat rambut itu hitam kembali. Mata yang sayup penuh harap menatap dengan nanar ke jalan raya. Rumahnya terletak di pinggir jalan raya yang dilewati berbagai daerah manapun. Hingga hari ini harap-harap cemas. Apakah anak menantu beserta cucunya pulang kampung?
Alangkah bahagianya dirasa apabila anak-anak berkumpul di hari lebaran. Namun tiada kabar dari anak-anaknya. Sungguh malang nasib Nenek Saidah. Padahal tetangganya sudah dari dua hari yang lalu sudah pada di rumah, semua anaknya yang di rantau pada pulang ke kampung. Menikmati hari lebaran bersama orang tua selagi masih bernyawa.
 Kembali mengkristal pelupuk mata nenek tua renta itu. Di masa tuanya anak-anaknya sangat sibuk bahkan sudah hampir 6 tahun mereka tidak pulang kampung.
Nenek Saidah ditinggal sendirian di rumah yang luas namun sepi. Hanya lampu temaram dan foto keluarga yang menemani. Yang menjadi pelipur lara hanya foto lima tahun lalu bersama kekasih jiwa serta kedua anaknya. Kedua anaknya tak sedikit pun mau meluangkan waktunya untuk melepas rasa rindu yang mencokol di dada. Hanya lewat udara mereka mengucapkan selamat hari lebaran. Dan mengirimkan uang sebagai obat kangen. Nenek Saidah tidak butuh itu, meskipun makan ala kadarnya tapi berkumpul bersama merayakan hari lebaran. Kebahagiaan yang dinanti. Kedua anaknya hanya berjanji, diusahakan pulang.
Namun sudah hari H, besok sudah lebaran. Malam ini sudah banyak yang lalu lalang kendaraan, malam takbiran. Suara petasan bersahut-sahutan. Nenek Saidah masih menunggu di beranda rumah.
Bu Mariah menyapa Nenek Saidah, tetangga yang selalu peduli keadaannya. Seperti biasa selalu menyapa dan peduli padanya.
"Kapan anak-anak pulang, apakah mereka sudah di jalan Nek," ujar Bu Mariah, mereka sudah dekat rumah Nenek Saidah.
"Tidak berharap Bu Mariah, anak-anak sudah mengirimkan uang minggu lalu sebagai pengganti obat kangen," dengan suara terbata-bata menahan rasa rindu dan kesepian yang mendalam Nenek Saidah mulai terisak.
"Sabar ya Nek, anggap saja kami keluarga terdekatmu, rumah kami selalu terbuka untukmu," Bu Mariah menenangkan Nenek Saidah sambil memeluk dan menyemangatinya.
Bu Mariah pulang ke rumahnya selang dua rumah dari rumah Nenek Saidah. Semua warga kampung Pulo mengerti keadaan Nenek Saidah. Terkadang beberapa tetangga sering menemani Nenek Saidah. Hidup sendiri tanpa keluarga terdekat. Hanya tetanggalah yang dianggap Nenek Saidah keluarganya. Anak-anak, menantu serta cucunya tidak pernah datang.
 Sepertinya Nenek Saidah sudah tidak sanggup lagi. Tiada harapan baginya. Lebaran berlalu begitu saja. Malam ini adalah malam takbiran. Nenek Saidah masih berharap anak-anaknya datang meskipun besok sudah lebaran. Tetapi itu hanya harapan. Di tengah kesepiannya, hanya langit-langit rumah yang kusam termakan usia bahkan sudah ada yang bocor jika hujan melanda. Rumah terasa besar namun lengang. Makanan sudah tersedia di meja makan. Nenek Saidah tidak berselera.
Dalam kesendirian dan kesepiannya dia berdoa memohon kekuatan dan kesehatan pada Yang Kuasa. Nenek Saidah berserah, sudah siap berpulang, duduk bersama dengan Dia di taman firdaus. Nenek Saidah tersenyum indah dan Tuhan menjemputnya dari kesepian yang telah beberapa tahun ini dilewati.
Malam takbiran yang terakhir, mengantarkan Nenek Saidah ke peristirahatan terakhir.
Bekasi, 21042023
Selamat hari raya idul Fitri mohon maaf lahir dan batin bagi yang merayakannya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H