Mohon tunggu...
Lestari Samosir
Lestari Samosir Mohon Tunggu... Mahasiswa - LAW STUDENT

“Kamu mungkin kecewa jika gagal, tetapi kamu akan gagal jika tidak mencoba.” – Beverly Sills

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Realitas Pahit Pengemis Anak di jalan

4 Juli 2024   14:26 Diperbarui: 4 Juli 2024   20:03 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pendahuluan

Anak-anak yang kita harapkan sebagai penerus bangsa,anak-anak yang seharusnya menghabiskan waktunya untuk bermain dan belajar ,namun kenyataan pahit yang kita lihat setiap harinya fenomena pengemis anak dijalanan masih kerap kali terjadi diberbagai jalanan hampir di setiap daerah Indonesia dan hal ini pun sepertinya sudah jadi pemandangan hal yang lumrah atau biasa bagi beberapa orang yang berlalu lalang dijalanan tanpa memperdulikan keberadaan mereka.Fenomena ini menjadi cermin dari ketidaksetaraan sosial, kemiskinan, dan kurangnya perlindungan terhadap anak-anak. Anak-anak yang mengemis di jalanan sering kali menghadapi berbagai bentuk eksploitasi, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.Tentu dalam hal ini pun kita tahu bahwa ada regulasi hukum yang mengatur bentuk perlindungan terhadap anak mulai dari hierarki tertingi hingga undang-undang khusus, yang juga mengatur berbagai bentuk perlindungan terhadap anak.Lantas bagaimana solusi dan tantangan kita dalam mengatasi hal ini terkhusus bagi pemerintah yang menjalankan tatanan negara?Nah!Maka dari itu penulis akan mengupas tuntas Artikel  Realitas Pahit Pengemis Anak di Jalan, dan faktor-faktor yang menyebabkan mereka berada dalam situasi tersebut, serta regulasi hukum yang seharusnya melindungi mereka namun sering kali tidak efektif.

Latar Belakang Sosial dan Ekonomi

Kemiskinan adalah salah satu faktor utama yang memaksa anak-anak untuk mengemis di jalan. Keluarga miskin sering kali tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, sehingga anak-anak dipaksa untuk membantu mencari nafkah. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Persentase penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 9,03 persen, menurun 0,33 persen poin terhadap Maret 2023 dan menurun 0,54 persen poin terhadap September 2022.Atau jika di hitung Jumlah penduduk miskin mencapai sebesar 25,22 juta orang, menurun 0,68 juta orang dan menurun 1,14 juta orang.Dari data yang tehimpun hal ini sangat berbanding terbalik dari realitas yang kita lihat, tingkat kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi, dengan jutaan keluarga hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam kondisi seperti ini, anak-anak menjadi salah satu cara bagi keluarga untuk memperoleh pendapatan tambahan, meskipun dengan cara yang merugikan masa depan mereka.

Eksploitasi dan Kekerasan

Anak-anak yang mengemis di jalan sering kali menjadi korban eksploitasi dan kekerasan. Mereka bisa dipaksa oleh orang dewasa atau sindikat untuk mengemis dan mengumpulkan uang. Anak-anak ini sering kali mengalami perlakuan kasar, baik secara fisik maupun psikologis. Mereka bekerja di kondisi yang sangat berbahaya, tanpa perlindungan atau hak-hak dasar. Banyak dari mereka tidak memiliki akses ke pendidikan atau layanan kesehatan yang memadai, sehingga masa depan mereka menjadi sangat suram.

Dampak Psikologis dan Pendidikan

Pengalaman hidup di jalan dapat memiliki dampak jangka panjang yang signifikan pada perkembangan psikologis anak-anak. Mereka sering kali mengalami trauma, stres, dan gangguan emosional. Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya akses ke pendidikan formal. Anak-anak yang menghabiskan waktu mereka di jalanan sering kali tidak bersekolah, yang mengakibatkan rendahnya tingkat literasi dan keterampilan yang diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di masa depan. Ini menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus.

Regulasi Hukum yang Mengatur:

Undang-Undang Perlindungan Anak

Di Indonesia, perlindungan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Undang-undang ini menggarisbawahi hak-hak anak dan kewajiban negara untuk melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi. Pasal 13 UU Perlindungan Anak, menyatakan bahwa hak dari setiap anak untuk mendapatkan pengasuhan yang sehat dan baik dengan kualitas yang baik pula wajib diberikan oleh setiap orang tak terkecuali keluarga melalui orang tua khususnya ataupun pihak lain seperti kerabat, masyarakat, wali, tempat pengasuhan, atau panti. Sehingga penjamin secara ekonomi sosial pendidikan hingga kesehatan dapat terbebas dari eksploitasi oleh oknum- oknum yang tak bertanggung jawab. Namun pada prakteknya masih terdapat kasus eksploitasi terhadap anak. Bentuk perlindungan yang mengkhusus kepada anak sebagai korban dari eksploitasi ini dapat merujuk pada ketentuan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 pasal 59 yang menyatakan kewajiban pemerintah dalam bertanggung jawab melakukan perlindungan dan mencegah dari adanya eksploitasi anak. 

Konvensi Hak Anak

Melihat peradaban bangsa dijadikan tolak ukur penerapan upaya perlindungan ini, perlu usaha ekstra dalam mewujudkan segala upaya tersebut sehingga hasil yang diperoleh maksimal pula. Setiap perbuatan hukum akan menimbulkan akibat hukum pula tak terkecuali dalam hal eksploitasi anak dan masalah perlindungan anak. Dengan adanya penjaminan terhadap hak serta kewajiban anak dapat diharapkan mampu meningkatkan kesadaran bersama dalam upaya mencapai perlindungan maksimal bagi anak khususnya. Indonesia juga merupakan negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) pada tahun 1990. Konvensi ini menegaskan hak-hak anak di seluruh dunia, termasuk hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau pendidikan mereka. Dalam konteks ini, mengemis di jalanan jelas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak seperti yang diatur dalam CRC.

Implementasi dan Penegakan Hukum

Meskipun sudah ada undang-undang dan konvensi internasional yang mengatur perlindungan anak, implementasi dan penegakan hukum di lapangan sering kali tidak efektif. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, termasuk kurangnya sumber daya, korupsi, dan kurangnya kesadaran di masyarakat. Selain itu, banyak anak jalanan yang tidak memiliki identitas hukum atau akta kelahiran, sehingga sulit untuk memberikan perlindungan hukum kepada mereka.

Upaya Pemerintah dan LSM:

Program Pemerintah

Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk mengatasi masalah anak jalanan, seperti Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) yang bertujuan untuk memberikan bantuan dan layanan kepada anak-anak yang membutuhkan. Program ini mencakup pemberian bantuan keuangan, akses ke pendidikan, dan layanan kesehatan. Namun, efektivitas program-program ini sering kali terbatas oleh berbagai tantangan di lapangan.

Peran LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga memainkan peran penting dalam membantu anak-anak jalanan. LSM seperti Yayasan Kampus Diakoneia Modern (KDM) dan Yayasan Sahabat Anak memberikan dukungan langsung kepada anak-anak jalanan melalui pendidikan, pelatihan keterampilan, dan layanan kesehatan. Mereka juga bekerja untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak anak dan pentingnya melindungi anak-anak dari eksploitasi.

Tantangan dan Solusi:

Tantangan

Beberapa tantangan utama dalam menangani masalah pengemis anak di jalan meliputi:

  • Kurangnya Koordinasi: Tidak adanya koordinasi yang efektif antara berbagai instansi pemerintah dan organisasi non-pemerintah.
  • Keterbatasan Sumber Daya: Keterbatasan sumber daya, baik finansial maupun manusia, untuk menjalankan program-program perlindungan anak secara efektif.
  • Budaya dan Stigma: Adanya budaya dan stigma yang menganggap anak jalanan sebagai masalah sosial yang sulit diatasi, bukan sebagai individu yang membutuhkan perlindungan dan bantuan.

Solusi

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan terpadu, yang mencakup:

  • Penguatan Regulasi dan Penegakan Hukum: Meningkatkan penegakan hukum dan memastikan bahwa regulasi yang ada diterapkan dengan benar.
  • Peningkatan Kesadaran Masyarakat: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak anak dan pentingnya melindungi anak-anak dari eksploitasi.
  • Kolaborasi Multi-Stakeholder: Mendorong kolaborasi antara pemerintah, LSM, komunitas, dan sektor swasta untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi anak-anak.
  • Pemberdayaan Ekonomi Keluarga: Melakukan intervensi yang bertujuan untuk memberdayakan keluarga miskin sehingga mereka tidak perlu memaksa anak-anak mereka untuk mengemis.

Kesimpulan:

Masalah pengemis anak di jalan adalah cerminan dari ketidakadilan sosial yang lebih luas dan kegagalan dalam sistem perlindungan anak. Meskipun sudah ada regulasi yang mengatur dan berbagai upaya dari pemerintah serta LSM, tantangan di lapangan masih sangat besar. Diperlukan komitmen yang kuat dan tindakan nyata dari semua pihak untuk mengatasi masalah ini dan memastikan bahwa setiap anak mendapatkan hak-haknya dan masa depan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun