Mohon tunggu...
Lestari Ningsih
Lestari Ningsih Mohon Tunggu... Guru - Guru

Penulis; menulis apa yang dilihat, dipikirkan, dan dirasakan. Memberi inspirasi dan manfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rundung

27 Maret 2020   21:12 Diperbarui: 27 Maret 2020   21:55 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Halaman sekolah ini masih basah. Hujan semalam membawa sisa sejuk dan bau tanah karena hujan yang mulai hilang. Berganti harum manis pohon trembesi. Daun berguguran tak kuat menahan air hujan semalam. Lepas meninggalkan dahannya.

Kantin masih sepi. Jajaran kios penjual melambai-lambai menawarkan berbagai makanan. Mie ayam, bakso, dan nasi pecel makanan favorit. Es cendol, es teh, juga ada simon segar ketika dahaga mulai datang. Kue talam, onde-onde, serta gorengan buatan Bu Patmi jagoannya.

Di sudut sebelah kanan dari jajaran kios itu seorang perempuan setengah baya sedang menata kue-kue.
“Bu Dhe, ini kuenya!”, gadis  itu memberikan kranjang berisi kue.
“Iya Sri. Berapa jumlahnya?”, tanya perempuan yang biasa dipanggil Bu Dhe oleh anak-anak.
“Biasa. 300 buah, Bu Dhe!”, jawab Sri sambil tersenyum.
“Sama dengan yang kemarin toh?”, Bu Dhe balik tanya. Sri hanya mengangguk sambil tetap tersenyum.
“Kamu itu lho, senyam-senyum saja. Ya, dah ini uang yang kemarin. 300 ribu, hati-hati kalau ‘naruk’ (meletakkan)!”, Bu Dhe menasihati sambil memberikan uang tiga lembar ratusan. Sri menerima sambil tetap tersenyum.
“O ya, bilang sama ibu kamu, ada orang pesan kue talam 200 buah. Lusa, ya?!”, Bu Dhe menyampaikan berita baik itu.
“Iya Bu Dhe, nanti saya sampaikan. Saya mau piket kelas dulu”, Sri berpamitan sambil bernyanyi kecil.
“Heiii!”, tiba-tiba Bu Dhe teriak menghentikan langkah Sri. Sontak Sri menghentikan langkahnya.
“Kamu jangan lari. Licin. Nanti kamu jatuh!”, terikan Bu Dhe membuat langkah Sri menjadi slow.

Ah, Bu Dhe terlalu khawatir Sri terpeleset. Bagaimana tidak khawatir. Jalan dari kantin yang menurun dan sisa hujan bisa saja mencelakai mereka yang tidak hati-hati.

Sri melewati lorong yang masih sepi. Ada beberapa siswa yang mulai berdatangan. Sengaja dia mampir di sanggar ekskul teater. Berhenti dia membaca pengumuman.

‘Dibuka audisi bagi pemeran utama untuk pagelaran teater. Siap? Hubungi Bu Tantri’

Yes, mau ikut. Aku harus ikut. Mungkin ini kesempatanku ikut audisi ini. Kata hati Sri penuh percaya diri.

Lamat-lamat terdengar lagu “Film Favoritku” milik Sheila On 7 di bibir mikrofon di tiap kelas. Radio sekolah sudah beroprasi, tanda waktu menunjuk 06.30. Penyemangat pagi bagi siswa. Sesemangat hati Sri.

*****

“Bu Tantri, bolehkah saya ikut audisi yang terpasang di sanggar teater?”, Sri datang menemui Bu Tantri.
“Tentu. Silahkan ikuti. Ini naskahnya. Pelajari! Tiga hari lagi kita bertemu di sanggar teater”, jelas Bu Tantri sambil tersenyum.

Sampai rumah Sri langsung masuk kamar. Setelah meletakkan kranjang kue dan menyerahkan uang dari Bu Dhe.

Wow, ini naskah berat. Naskah dengan judul ‘Romeo dan Juliet’, karya besar Shakespeare selain ‘Hamlet dan Macbeth’. Karya besar ini dipotong pada adegan ketika Juliet mulai jatuh cinta kepada Romeo. Dari pandangan pertama ketika pada suatu pesta. Hingga konflik mulai muncul ketika tidak adanya restu atas cinta mereka.
“Sri, mbok ya dipikir-pikir dulu ketika kamu memutuskan ikut audisi itu”, suara ibu menasihati Sri.
“Ayolah Bu, restui!”, pinta Sri sambil memohon.
“Iya, tetapi kamu harus siap jika nanti ada yang mengecewakanmu”, kembali Ibu menasihati.

*****

Tak seperti biasa pagi ini Sri setelah mengambil uang dagangan di kantin langsung berpamitan. Dia menuju taman. Berlatih seorang diri. Berdialog seorang diri. Pumpung masih pagi dan masih sepi.

“Halaah! Tidak akan lolos!”, tiba-tiba ada suara menghentikan suara Sri yang sedang serius berlatih.
“Memang kenapa? Semua orang punya hak untuk bisa ikut audisi itu?”, Sri balik bertanya.
“Lhaaaa? Ngacaaaaa!! Masak ada Juliet bertubuh subur begini?”, tak mau kalah menjawab. Kata-katanya menusuk hati.
“Yang memutuskan layak lolos tidak kan Bu Tantri. Bukan kalian. Kalian siapa?”,  Sri bertanya. Wajar jika Sri tak tahu mereka. Sri yang setiap hari hanya datang dan pergi hanya untuk sekolah. Lainnya bolak-balik kantin hanya untuk cek dagangan ibu. Selesai, pulang.

“Hahaha, masak dia tidak tahu kita?”, tanya gadis cantik itu. Bahkan paling cantik diantara dua lainnya. ‘Geng Criwiis’, begitu sebutan mereka. Geng yang diketuai Noni anak seorang pengusaha kayu. Geng yang beranggota Mia dan Lusy. Geng yang anggotanya hanya tiga orang. Anggotanya tak pernah bertambah sejak geng tersebut berdiri. Lucu memang.

Kata-kata Noni telah membuat Sri berpikir. Lanjut tidak? Lanjut tidak? Pertanyaan yang berulang. Sri yang memiliki berat tubuh 80 kg dengan tinggi 157 cm. Kulit kuning langsat. Mata sipit. Hidung masing sedikit mancung. Lesung pipit menjadi ciri Sri. Sadar betul dengan kondisinya. Ah, yang penting aku harus mencoba. Antara semangat dan patah semangat sebanding 50% .

“Hai Sri! Dang mulio Sri!”, teriak Lusy mengoloknya lagi.
“Kamu punya apa mau bersaing denganku? Mana bisa bersaing denganku. Anak penjual kue talam dengan pengusaha kayu?”, olokan Noni semakin menggila.

Semula Sri tak mau menanggapi ocehan Noni. Tetapi karena sudah menyebut pekerjaan Sang Ibu sontak Sri menjadi tersinggung. Antara marah dan ingin membalas kata-kata Noni. Kalau saja tiba-tiba wajah Ibunya melintas dibenaknya. Wajah yang teduh dengan senyum yang sejuk. Sri berlalu meninggalkan geng itu. Sri pergi membawa luka. Masing terdengar suara mereka menyanyikan lagu Didi Kemot ‘Dang Mulio Sri’.
Dalam hati Sri berkata, kenapa juga Om Didi Kempot bikin lagu itu. Pakai namaku pula?

*****

Sanggar ini masih sepi. Bu Tantri meminta datang setelah jam pulang sekolah. Dari siang hujan masih saja mengguyur bumi. Di mana-mana basah. Suara air turun dari pipa paralon. Alunan musik alami sisa hujan yang baru saja berhenti.

“Romeo, mengapa kau meninggalkan aku? Aku tak dapat hidup tanpamu”,  Sri memerankan Juliet sambil menghunuskan pisau ke ulu hatinya. Adegang dilakukan dengan lambat penuh penghayatan. Terlihat air matanya menetes.

Bu Tantri bertepuk tangan dari tempat duduknya. Bu Tantri mempersilahkan Noni untuk memulai audisinya. Noni yang begitu terlihat siap dengan penampilannya. Tak lupa properti yang dia bawa sangat  lengkap. Gaun kuning lengkap dengan sarung tangan renda kuning. Payung kuning, sepatu  kuning dengan berhag 12 cm. Topi berenda kuning siap menghantar adegannya. Noni sangat cantik. Seperti nonik-nonik Belanda.

*****
 
Sore menuju senja. Audisi baru saja selesai. Keduanya menunggu pengumuman yang akan disampaikan.
“Baiklah, Ibu akan menyampaikan keputusan audisi ini. Dua diantara kalian akan terpilih sebagai pemeran utama Juliet. Dan Ibu memilih kau, Sri!”. Sreeeng, darah Sei sekoyong-koyong mengalir dari pemberhentiannya. Hasil keputusan yang disampaikan Bu Tantri diluar dugaan.

“Apa?! Ibu tidak salah pilih?”, suara Noni memecahkan ruang yang berukuran 10 X 8 meter ini.
“Ibu apa tidak melihat dia itu tidak pantas jadi tokoh Juliet, Bu!”, teriaknya menjelaskan.

Sementara dua anggota geng yang lain berbincang sambil mencibir. Entah apa yang mereka bicarakan.

Sri tidak percaya apa yang disampaikan Bu Tantri. Sebenarnya dia sudah tidak berharap akan peran itu. Apalagi dia mulai sadar diri atas semua kekurangannya. Ditambah lagi ketika Noni dan gengnya telah menghina ibunya. Ah, biarlah Noni saja yang medapat peran Juliet.

“Kamu lagi Sri! Kenapa sih gak mau mundur tidak ikut audisi ini!”, teriak Noni kesal.
“Tidak! Sri berhak atas kemampuan aktingnya. Kamu tidak boleh meremehkan Sri. Jabatan, kecantikan, dan kekayaan bukan menjamin seseorang berhenti berkarya. Kamu bisa latihan lagi, Ibu tunggu audisi tahun depan”. Bu Tantri menjelaskan dengan lembut tetapi tegas.

Bu Tantri sadar betul, bahwa siswa perlu diberi pengertian atas sikap yang tidak baik itu. Sadar betul peran guru harus sabar menuntun mereka yang memiliki karakter kurang bagus.

Tanah masih basah. Pohon Trembesi kokoh. Melindungi siapa saja yang berada di bawahnya. Daun-daunnya rela gugur agar tumbuh daun baru. Seperti hati Sri yang merasa terlindungi oleh Bu Tantri. Kekurangan fisik bukan halangan seseorang untuk berkembang. Dia sama dengan yang lain. Sama-sama punya hak untuk meraih sukses.

#igi
#smsigi
#tantangansmske11
#gurusmkn1gempol
#menulismenyebarkebaikan
#menulisinspirasi
#cintaratatouille
#jalanmbekdiskusiasyik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun