Mohon tunggu...
Lestari Zulkarnain
Lestari Zulkarnain Mohon Tunggu... Guru - Berusaha menjadi lebih baik di setiap moment dalam hidup.

Menulis itu menyenangkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jimat Perdagangan

14 November 2022   11:56 Diperbarui: 14 November 2022   21:00 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dina kie dagangane nyong laku kabeh, ora percuma nyong maring Mbah Subur njaluk jimat penglaris," ucap Mang Kartam kepada istrinya sambil menyerahkan uang seratus ribuan enam lembar kepada istrinya.

Memang semenjak Mang Kartam meminta jimat ke Mbah Subur, dagangannya bertambah laris. 

"Iya, Bah, kudune awit gemiyen, ya, ben uripe awake dewek ora nelangsa," ujar Srinten, istri Mang Kartam. Wajahnya tampak bahagia karena memiliki banyak uang. 

"Iya, Mak, tapi syarate abot, awake dewek ora bisa duwe anak maning."

"Ya, ora papa, sing penting wis due anak siji, si Wawan." 

Setelah mengobrol, kedua suami istri itu saling diam dalam pikirannya masing-masing.

Mang Kartam adalah seorang penjual ayam potong. Awalnya hanya dijajakan dari rumah ke rumah. Namun semenjak meminta jimat pada Mbah Subur, usahanya semakin berkembang hingga sekarang memiliki kios sendiri dan mempunyai banyak langganan. 

Semakin hari usahanya semakin maju hingga mereka dapat membeli rumah besar serta mobil. Wawan pun dapat mengenyam pendidikan di sekolah swasta favorit.

Suatu hari ketika Wawan berangkat sekolah, mobil jemputan yang Wawan kendarai mengalami kecelakaan. Mobilnya bertabrakan dengan mobil dari arah berlawanan, sehingga menyebabkan nyawa Wawan tidak tertolong. Betapa sedih kedua orang tuanya. Anak semata wayang tercinta kini telah tiada. 

Baca juga: Memory Kereta Api

Secara materi, kehidupan Mang Kartam dan Srinten sangat mewah, tetapi terasa hampa tanpa adanya anak. Mereka berencana untuk memiliki keturunan kembali. Mereka mendatangi dokter spesialis kandungan untuk berkonsultasi, memastikan keadaan kedua suami istri itu masih bisa menghasilkan keturunan.

Setelah diperiksa, ternyata mereka masih sangat subur karena memang Bu Srinten belum menopause. Hari demi hari, bulan demi bulan kehamilan mereka tak kunjung datang. 

"Bah, nyong ka durung meteng maning ya, Bah, nyong pingin duwe anak," ucap Srinten. Wajahnya tampak sedih. 

"Sabar, Ten. Sing penting awake dewek subur," jawab Mang Kartam menenangkan. Tak berapa lama mereka terbelalak dan saling pandang, keduanya saling memanggil.

"Abah!" panggil Srinten.

"Srinten!" panggil Abah.

Mereka menangis ingat perjanjian yang mereka lakukan dengan Mbah Subur beberapa tahun lalu, bahwa mereka tidak dapat memiliki anak ketika telah menggunakan jimat pesugihan. Tangis keduanya pecah.

Mereka merasa tidak bahagia, tidak nyaman, tidak tenang meski kehidupan mereka bergelimang harta. Setelah berpikir keras, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Mbah Subur. 

"Mbah, kayong nyong wis cukup sakmene bae, nyong pingin duwe anak maning, Mbah," ucap Mang Kartam kepada Mbah Subur. 

"Ora bisa, perjanjian ora bisa dibatalna," jawab Mbah Subur.

"Tapi, Mbah, percuma nyong sugih dunya tapi ora duwe anak," Srinten menimpali.

"Mbiyen kowen wis setuju perjanjiane kaya kuwe, trus miki pan dibatalna iku ora bisa. Ari pan dibatalna, mengko ana akibate maring kowen dewek."

Srinten dan Mang Kartam saling pandang. 

"Akibate apa, Mbah?" tanya Mang Kartam.

"Nyong ora ngerti, sing uwis-uwis, usahamu bangkrut, melarat maning kaya gemiyen. Ari ora, salah siji ana sing kena penyakit."

Untuk kesekian kalinya, Srinten dan Mang Kartam saling pandang. Mereka menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. 

"Piben, Mak, siap apa ora ari kaya gemiyen maning?" tanya Mang Kartam kepada Srinten. 

"Piben, ya, Bah. Angger nyong bisa duwe anak maning, nyong siap. Pambelih mlarat sing penting duwe anak," jawab Srinten mantap.

Setelah berdiskusi, akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan jimat yang diberi Mbah Subur. Mbah Subur menerima jimat tersebut dan mulutnya komat-kamit membaca mantra. 

"Jimate wis tak tampa, aja kaget ari ana kejadian sing ora diduga."

Kedua suami istri mengangguk dan akhirnya berpamitan untuk pulang. Belum sampai rumah, dia mendengar bahwa semua kios di pasar telah ludes dilalap api, entah apa penyebabnya yang jelas kerugiannya ratusan juta. 

"Piben kie, Bah, sesok piben? Awake dewek pan dagang apa? Kiose ludes nembe bae jimate dibalekna, kejadian langsung ana bae," ujar Srinten sembari menangis. Mereka menuju ke pasar dan melihat kios yang terbakar. 

"Awake dewek esih duwe mobil box , mengko didol nggo mbeneri kios," jawab Mang Kartam menenangkan. 

Mereka menawarkan mobilnya kepada rekan kerja, tetapi belum laku karena menjual mobil itu tidak seperti mereka menjual makanan. Akhirnya dengan terpaksa mobil dijual murah karena butuh. Uang hasil penjualan mobil untuk merenovasi kios, tetapi tidak cukup karena ada lima kios yang harus dibetulkan. Srinten menjual semua perhiasan yang dia miliki. 

Dalam kurun waktu beberapa bulan, hasil penjualan mereka menurun. Mereka sering rugi bahkan pernah ditipu oleh langganan mereka sendiri. Karena sering merugi hingga akhirnya mereka menjual rumah, tanah, dan juga semua harta hingga berada di titik awal saat dulu sebelum memiliki jimat. Harta mereka ludes tak bersisa, tabungan tidak ada, sejengkal tanah pun tak ada bahkan sekarang mereka menyewa rumah. 

"Bah, nyong nyesel, pambelih ora duwe anak angger uripe aja kaya kie maning," ujar Srinten. 

"Huss! Aja kaya kue, sing njaluk dibalekna sapa?"

"Abah, Owh, jarene Abah pingin duwe anak maning."

"Kowen be pingin, owh, ya, aja nyalahna enyong."

Terjadilah pertengkaran antara keduanya. Mereka saling menyalahkan, tidak ada yang mau mengalah hingga puncaknya Mang Kartam pergi dari kontrakan dan meninggalkan istrinya. Srinten menangis tersedu-sedu mengutuk nasibnya yang kini menjadi miskin papa.

Sementara itu, Mang Kartam pergi menemui sahabat karibnya yang bernama Amad. Dia menceritakan semua kejadian yang dialami dalam hidupnya. Amad kaget dengan apa yang menimpa Mang Kartam. Dia menyarankan agar Mang Kartam meminta maaf pada istrinya, begitu pula sebaliknya. 

Amad juga menyarankan agar keduanya bertobat dengan sebenar-benarnya dan tidak akan mengulangi perbuatannya serta segera dirukiah agar pengaruh jin pada saat menggunakan jimat dahulu bisa hilang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun