Kehidupan manusia sudah berjalan beratus-ratus abad lamanya. Manusia telah berkembang sebagaimana mestinya. Lahirnya seorang manusia yang berawal dari buah kesenangan manusia lain memicu hasrat untuk mengulangi siklus kesenangan tersebut.Â
Lahirnya seorang anak yang normal dan sebagaimana manusia umumnya merupakan anugerah Tuhan.Â
Entah suatu kebetulan, keniscayaan, maupun ketidaksengajaan terlahir manusia dengan wujud yang "beragam". Mulai keberagaman penglihatan, pendengaran, pikiran, tingkah laku, atau keberagaman genetik menjadikan kita sebagai manusia berpikir bahwa kebutuhan manusia perlu kebutuhan khusus.
Entah suatu disengaja oleh Tuhan atau disengaja oleh nasib, Amrih terlempar dari dunia pendidikan yang semestinya Amrih ikuti. Bertahun-tahun Amrih telah berlatih menjadi seorang seniman tiada tanding. Sejak taman kanak-kanak hingga sekarang sekolah dasar, Â Amrih begitu giat masuk ke sanggar lukis dan bersemangat ketika berpameran. Hari-harinya dipenuhi oleh warna, baik warna dari dunia nyata atau dunia asyiknya sendiri.
Amrih sedari kecil sudah menjadi juara melukis berbagai tingkatan. Ayahnya yang seorang pengembara kerap kali memberikan bacaan-bacaan pelukis mulai dari Vincent van Gogh, Monet, Affandi, hingga Raden Saleh. Ayah Amrih yang mendidik sedemikian rupa menjadikan Amrih terobsesi untuk menjadi seniman murni sampai pada puncaknya Amrih menolak bersekolah.
Pernah pula suatu saat Amrih kerap kali mengurung dirinya di kamar hingga waktu cukup larut. Pernah sekali kamar Amrih dibuka oleh ibunya, ibunya begitu terkejut ketika melihat Amrih tertawa dan mengobrol sendiri dengan pensil warna.Â
"Kau kenapa tertawa sendiri Amrih?" ujar ibu
"Lihat bu, aku sedang bersama Vincent van Gogh, dia bercerita kalau telinga tumbuh terus-menerus ketika dipotong"
"Mengapa kamu begitu Amrih? Cepat kesekolah!" bentak ibu dengan lantang.
"Tidak mau!. Lingkungan sekolah terlalu kaku dengan segala aturan-aturannya. Memakai seragam, harus mengikuti perkataan guru, harus mencatat materi dari guru, hingga hukuman ketika melanggar peraturan sekolah itu merupakan bentuk kekakuan sistem pendidikan kita. Amrih sudah bosan dengan segala itu bu, terlalu monoton dan seakan hanya diulang-ulang saja. Teman-teman Amrih juga tidak menghargai Amrih di sekolah, mereka seperti memberi Amrih label anak aneh. Guru seolah menjadi super power dan murid-muridnya hanyalah sapi yang dipelihara yang kelak diperas susunya. Ibu tidak pernah sekolah sih, makanya tidak tahu" ujar Amrih dengan lantang seperti pemimpin demo.
Suatu hal yang cukup mencengangkan ketika anak menempuh pendidikan dasar kelas akhir, berkhayal bertemu Vincent van Gogh dan mengobrol dengan pensil warna. Kekritisan terhadap sistem pendidikan menjadikan ibu terkejut dan takut. Segala yang dilontarkan oleh Amrih seperti jarum yang menusuk hati ibu. Bagaimana mungkin buah hati yang dijaga sejak kecil menjadi berani dan bertingkah seperti itu hingga berani berbicara lantang kepada ibunya sendiri. Secara tidak sadar air mata ibu turun dan ibu meninggalkan Amrih sendirian.
Kekhawatiran itu semakin kuat ketika Amrih tiba-tiba berjalan sendiri mengelilingi desa hingga waktu cukup malam. Amrih membayangkan bahwa di desa tersebut sedang ada pameran tunggal atas karya-karyanya dan dia sedang berkeliling dengan Barack Obama. Suatu keganjilan yang menjadikan ibu Amrih takut dan akhirnya  bercerita kepada suaminya.
"Ayah kemarin Amrih berkeliling desa hingga larut malam lagi"
"Bukankah itu bagus, bu? Amrih memiliki pengetahuan dan bakat luar biasa"
"Masalahnya yah, umur Amrih yang masih cukup belia tidak seharusnya begitu dan sejenius-jeniusnya Albert Einstein, ia tidak pernah mengobrol dengan rumusnya sendiri"Â
"Pokoknya besok Amrih tetap masuk di sanggar dan biarkan dia berkembang dengan bakatnya" Ujar ayah yang mendesak ibu.
Ibu Amrih yang seorang ibu rumah tangga dengan status lulusan SMP hanya bisa menurut kata dari suaminya. Ayah Amrih yang sering mengembara seakan acuh dengan pendidikan anaknya. Dia hanya pulang seminggu sekali dengan membawakan buku-buku dan seperangkat alat gambar untuk Amrih. Semakin hari kelakuan Amrih semakin menjadi-jadi. Pernah suatu ketika di pojokan gang rumahnya, Amrih dengan lantang bersuara seakan-akan berjualan di pasar.
"Dijual dengan cepat lukisan tahun 1920 zaman penjajahan belanda ukuran 50x60 cm. Pernah dipajang di kamar Ratu Wihelmina dan menjadi koleksi istana kerajaan Belanda." Amrih bersuara lantang di depan tetangga-tetangganya.
Sepenglihatan Amrih dia seperti sedang berada di panggung badan lelang yang cukup besar. Dihadapan para raja-raja maupun para jenderal bintang lima. Amrih menawarkan dagangannya yang diperoleh dari berkelana selama di eropa.Â
Dia banyak menyinggahi kerajaan hingga negara-negara. Sementara penglihatan dari orang lain, Amrih sedang berteriak-teriak di depan tong sampah yang masih kosong. Para tetangga menjadi kebingungan dan melihat Amrih penuh curiga. Para tetangga mulai menyimpulkan bahwa Amrih sudah gila dengan usianya yang masih belia. Kata-kata belas kasihan hingga hujatan turun dari mulut tetangga.Â
Ibu Amrih yang pulang dari pasar cukup terkejut atas apa yang terjadi di desanya itu. Secara tidak langsung peristiwa tersebut memengaruhi dagangan Ibu Amrih. Omzet penjualan mendadak turun lantaran para tetangga takut bertemu Amrih.
Setelah kejadian tersebut, Ibu Amrih semakin yakin bahwa anaknya tidak seperti anak normal pada umumnya. Amrih menjadi semakin sering mengurung diri ditambah ayah yang semakin sering memberikan bacaan-bacaan berat untuk anak seumuran Amrih.Â
Ibu Amrih masih tidak percaya atas kelakuan Amrih sekarang ini. Padahal di sekolah Amrih terkenal sangat pintar hingga guru yang mengajarinya kalah pintar. Hal tersebutlah yang menjadikan Amrih jarang masuk sekolah. Amrih masuk sekolah hanyalah sewaktu pelajaran seni budaya dimana dia begitu bebas menggambar dan setelah pelajaran seni budaya usai dia kembali pulang.
Atas dorongan dari pihak sekolah dan berbagai kebimbangan secara diam-diam Ibu Amrih membawa anaknya ke dokter spesialis kejiwaan. Segala pasrah dan ikhlas menyelimuti hati Ibu Amrih.Â
Segala persiapan baik batin, mental, dan yang utama jiwa telah dipersiapkan ketika mendengar putusan dokter bahwa Amrih mengalami gangguan kejiwaan. Setelah berkonsultasi dengan dokter, akhirnya Ibu Amrih mengetahui bahwa anaknya mengalami superior intelligence.Â
Kondisi dimana anak memiliki bakat atau kecerdasan melebihi anak pada umumnya sehingga menyebabkan anak sulit berinteraksi dengan teman sebaya yang memiliki IQ dibawahnya dan cenderung hanyut pada kreativitasnya sendiri.Â
Peristiwa yang dialami Amrih memerlukan perlakuan khusus dengan penanganan lebih menekankan pada soft skill dan interaksi sosial. Secara tidak langsung, Amrih menjadi anak berkebutuhan khusus dengan kemampuan yang melebihi anak seumurnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H