Menyibukan diri di akhir pekan dengan bersepeda adalah tren yang masih berlangsung sampai saat ini. Hal tersebut juga sangat mempengaruhi harga jual sepeda. Yang sebelumnya harga sepeda 1,7jt, sekarang hampir 5jt.
Namun orang yang namanya suka, seberapapun harganya pasti juga akan dibeli. Sedikit ada unsur gengsinya sih ya walau sesama teman gowesnya.
Setiap hari sabtu dan minggu. Jalan raya selalu dipenuhi oleh orang-orang yang bersepedah. Katanya sih biar sehat.
Sama halnya dengan saya yang ikut bersepedah kemarin. Menghirup udara segar pedesaan yang masih dibilang asri. Juga penataan artistik yang pas sehingga enak dipandang.
Berbeda dengan yang lain. Saya bersepedah menggunakan sepedah kuno, orang jawa menyebutnya sepedah onta. Ya, karena saya salah satu orang yang suka kejawaan.
Di tengah asyiknya saya bersepedah dan menghirup udara segar. Saya dikejutkan dengan aksi 3 pemuda. Â Akhir-akhir saya tahu umurnya sebaya dengan saya, 23 tahun.
Kali ini bukan aksi demo RUU yang lagi marak di Indonesia. Melainkan aksi bakti sosial yang dia berikan kepada masyarakat. Dengan memberikan baju gratis dan membuka lapak baca buku jalanan.
Setelah saya melihat-lihat baju yang disediakan. Saya memberanikan diri untuk bertanya.
"Mas, kok ada ide seperti ini dari mana?"
"Ya dari kita bertiga ini mas, dari pada menganggur mendingan saya berbagi" jawabnya.
Saya tertarik dengan jawabannya. Dengan tanpa pamit dahulu, saya ke warung yang berdekatan dari lapak. Saya pesan 4 cangkir kopi dan satu piring gorengan.
"Kalian gak kerja mas, kok tadi bilang dari pada nganggur?"
"Kami ini dulu satu pabrik mas di Sidoarjo, ya karena pandemi ini saya dan teman-teman di liburkan"
Perbincangan saya lanjut untuk menelisik motivasi apa yang mereka munculkan. Sambil menyruput kopi di pagi hari. Juga sambil melayani orang yang tertarik terhadap lapaknya.
"Mas, orang kita ini juga lagi kesusahan cari kerja. Uang jajan minta ke orang tua, uang dari mana saya bisa mengumpulkan buat berbagi sembako?"
"Iya mas, lagi pula kalau berbagi sembako, saya pribadi takut salah sasaran. Karena saya pernah mengeluh juga perihal BLT salah sasaran" sambung jawaban temannya.
"Lalu dari mana buku-buku ini mas? Juga baju sebanyak itu?" Saya bertanya lagi.
"Oh ini mas, saya kan emang hobinya membaca. Buku ini kumpulan punya saya, saya membelinya saat masih sekolah dan bekerja kemarin mas"
Terbukti sih ada beberapa jenis buku, dari pengetahuan, budaya, novel, puisi dll.
"Kalau baju itu kumpulan punya kita bertiga mas, punya saudara yang sudah tidak terpakai saya minta"
"Ya saya sebagai penikmat pembaca sangat gelisah mas, Kediri masih jarang ada rumah baca atau perpustakaan umum. Makanya saya berinisiatif seperti ini, jaga-jaga kalau ada orang yang mempunyai pikiran sama dengan saya. Suka membaca tapi terbatas oleh uang untuk membeli"
Jawaban terakhir dari 3 pemuda tersebut membuat saya kaget ke 2 kalinya. Perihal saya dan beberapa kenalan saya di WAG, juga ada beberapa kompasianer terkenal. Berbincang masalah taman baca atau rumah baca yang masih belum bisa ditemukan di beberapa kota.
Sangat disayangkan kondisi seperti ini. Ternyata masih banyak juga para peminat baca buku di era milenial. Yang dengan mengklik klik HP kita sudah bisa membaca dengan luas.
Tapi hobi dan kegemaranlah yang membuat semua itu tidak mengenal zaman milenial. Saya sebagai peminat baca buku juga ikut prihatin dengan apa yang dicurahkan oleh ke 3 pemuda tersebut.
Ya semoga di Kediri bisa diadakan beberapa rumah baca. Agar tidak ada lagi hal sedemikian. Yang harusnya fokus mencari kerja, tapi berbagi karena kondisi sekitar.
Akhir pesan saya kepada teman-teman: "Semoga kegiatan kalian kali ini bisa dipandang oleh orang-orang yang ingin mendirikan taman baca ya mas, tetap semangat"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H