N : Padi tanpa mata menari sepi. Air mata menyanyi dalam purba tenun. Kesepakatan hanyalah tradisi yang sakral di ujung Tuak.
 Riak berteriak sesak. Amuk rembulan menatang takdir. Pada petang ada tubuh yang hilang berlumur darah.
( Musik klasik dan suara tapis beras, suasana panggung dengan lampu yang mati hidup mati hidup.)
Org 1 : Oh Angin. Di manakah ibu kami. Di manakah kau sembunyikan napasnya ?
( bunyi suling dari luar panggung nuansa sedih )
Org 3 : Oh sepi..Di manakah tawa ibu kami. Di manakah dongeng malamnya ?.
Ibu...
Di sinikah Doa Katamu?
( lampu padam. Suasana panggung gelap.)
Org 1 : Ibu. Kenapa kau biarkan kami mengemis suara kami sendiri.
( Narator langsung masuk )
N : ( bunyi air mengalir ). Rembulan perlahan menampar malam. Dingin mulai gigil di gigi kota. Jeritan suara tangis membunuh kolong jembatan. Redup langkah mencubit debu.
Cicip pada cawan hitam di batas lengan. Bising menggelepar ke tiang harapan. Dan Liang rahim yang suci, di bakar jutan tangan.
( lampu sorot warna putih perlahan menyala di tengah panggung)
Per 1 : Jika napas kami adalah kehidupan, patahkan. Jika rahim kami mengubah semuanya, bunuhlah.
Jagad anyar kang dumadi
Urip kang sayekti
Jemputlah kami serumah sirih dengan kalian.
( lagu )
Oh..ke manakah arah perahu..
Tiada angin menuntunÂ
Per 2: Masihkah kami berharga?..
Kepada api di sudut sunyi kami bertanya.
Kepada karang di sarang laut kami mengaduh.
Kepada Doa tanpa penggembala kami berseruh.
Kepada matahari kami berlutut mencari Damai.
Kepada kebohongan yang haus akan hidup.
Per 1 : Berikan kami sktesa parade berhala itu Ibu!
Kediri, 29 September 2020
Buah karya: Abdul Azis Le Putra Marsyah
Note:
* Jagad anyar kang dumadi adalah Bahasa Jawa dengan arti: Bumi yang bari akan terjadi
* Urip kang sayekti adalah Bahasa Jawa dengan arti: kehidupan yang sesungguhnya.