Sekilas lalu tak ada yang istimewa dari Kampung Ledo. Kampung ini, sama seperti kampung-kampung lainnya di Kalimantan Barat, panas dan berdebu. Wajar saja wilayah Kalbar tepat berada di garis khatulistiwa. Coba saja keluar siang hari tanpa perlindungan, kulit bisa-bisa luka bakar derajat satu dibuatnya.
Kalau panas mungkin sudah biasa, namanya juga alam. Tapi debu lain cerita, dulu tidak seperti ini karena banyak pohon. Sekarang juga masih banyak pohon, hanya saja berganti menjadi pohon sawit.
Kampung Ledo, hampir 1000 kilometer dari Jakarta. Kalau dari Pontianak, sekitar 202 kilometer. Perlu sekitar 6 jam perjalanan darat menuju kampung ini. Makanya orang-orang lokal lebih sering pergi ke Malaysia daripada Ibukota.
Meski begitu, bendera Indonesia masih berkibar perkasa, Presiden pun diperlakukan hormat.
Jangankan menghujat, mencoret-coret foto Presiden saja mereka enggan. Menjelang 17 Agustus, seluruh warga selalu memasang tiang di depan rumah untuk mengibarkan bendera Merah Putih.
Terhitung sejak tamat SMA, sudah lebih dari satu dekade saya tidak lagi berdomisili di Kampung Ledo, dan hanya sedikit saja kesempatan untuk mengunjungi Kampung kecil tempat saya dibesarkan itu. Untunglah lebaran kemarin sempat pulang kampung walau sekejap.
Berada di sana penuh nostalgia, padahal belum juga terlalu tua. Nongkrong bersama teman-teman lama, bertukar cerita, tidak lupa menggosipi teman-teman lain yang tidak turut hadir. Asik...
Malamnya, sambil menonton pembukaan Piala Dunia, saya bertemu dengan seorang laki-laki berwajah seram, tubuh penuh tatto dan tindik.
Sempat terlintas dalam pikiran, bahwa orang itu belum keramas tiga bulan, ternyata memang rambutnya gimbal.
Bang Anton, saya tidak tahu persis nama belakangnya, tapi orang-orang mengenalnya dengan sebutan Anton Kuno, kependekan dari kurang normal.
Entah kapan dimulainya gelar itu. Tapi dilihat dari sisi manapun, gelar itu cocok-cocok saja.