Tubuh kita merupakan tempat bagi triliunan sel darah. Sel-sel darah inilah yang membawa oksigen, zat besi, dan juga nutrisi lain yang diperlukan oleh tubuh kita. Sejak berada di dalam kandungan, sistem peredaran darah kita sudah mulai bekerja. Namun mungkinkah sel darah ibu bertentangan dengan sel darah bayi yang sedang dikandungnya? Jawabannya adalah sangat mungkin, kondisi ini biasa disebut eritroblastosis fetalis. Eritroblastosis fetalis adalah suatu kondisi dimana sistem imun atau antibodi yang dimiliki oleh ibu menyerang sel darah merah bayinya. Penyakit ini juga sering dikenal dengan sebutan hemolitik atau pecahnya sel darah merah pada bayi yang baru lahir.
Namun, apa sebenarnya yang menyebabkan penyakit ini dapat terjadi? Ada dua penyebab utama yang dapat menimbulkan eritroblastosis fetalis. Hal ini memiliki kaitan yang erat dengan golongan darah.
Penyebabnya yang pertama adalah perbedaan golongan darah ABO. Seperti yang kita ketahui, golongan darah dibedakan menjadi empat yaitu golongan darah A, B, AB, dan O. Eritroblastosis fetalis dapat terjadi ketika golongan darah ibu tidak sesuai dengan golongan darah janin yang dikandungnya. Kondisi ini sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi. Akan tetapi, kadang-kadang janin dapat membawa suatu antigen langka yang dapat memperbesar resiko terjadinya eritroblastosis fetalis.
Penyebab yang kedua dan yang paling utama adalah perbedaan faktor Rhesus (Rh). Sistem rhesus membedakan darah menjadi dua golongan yaitu golongan positif dan golongan negatif. Golongan rhesus positif memiliki antigen yang disebut dengan RhD, sedangkan rhesus negatif tidak memiliki antigen.Â
Apabila antigen rhesus pada darah rhesus positif masuk ke dalam sirkulasi darah rhesus negatif, maka tubuh orang rhesus negatif akan membentuk antibodi untuk melawan antigen dari darah rhesus positif tadi. Â Sama halnya dengan eritroblastosis fetalis yang biasa terjadi apabila seorang laki -- laki yang bergolongan darah rhesus positif menikah dengan wanita yang begolongan darah rhesus negatif, maka kemungkinan besar anak yang nantinya dikandung akan memiliki rhesus positif.
Pada dasarnya, sel darah merah pada janin memiliki antigen yang tidak dimiliki oleh ibu. Sehingga janin yang memiliki antigen RhD ini dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya dan memicu tubuh sang ibu untuk menghasilkan antibodi yang berguna untuk melawan antigen tersebut.Â
Apabila anak yang dikandungnya merupakan anak pertama, perbedaan rhesus ini belum menjadi masalah besar dan belum menimbulkan masalah eritroblastosis fetalis. Akan tetapi, ketika bayi dengan Rh positif telah lahir, tubuh sang ibu telah membentuk antibodi yang cukup kuat untuk melawan faktor perbedaan rhesus ini, yang mana akan menyerang sel darah merah janin di kehamilan selanjutnya. Resiko terbentuknya antibodi anti Rh pada kehamilan pertama yaitu sekitar 8%, sedangkan pada kehamilan kedua resikonya meningkat menjadi 16%. Ibu yang memiliki perbedaan rhesus dengan bayinya hanya dapat memiliki 1 dan maksimal  2 anak. Anak yang ketiga dan seterusnya akan meninggal karena antibodi dari tubuh ibunya sudah sangat kuat.
Hal ini tentunya sangat membahayakan bagi bayi yang sedang dikandung oleh ibunya serta berpotensi tinggi mengalami kematian. Maka, ada baiknya apabila kita dapat mendiagnosa penyakit ini terlebih dahulu. Untuk dapat mendiagnosa penyakit eritroblastosis fetalis, dokter akan melakukan tes darah bagi ibu yang mengandung tersebut. Biasanya, tes ini dilakukan pada kunjungannya yang pertama ke dokter kandungan
. Tes ini bertujuan untuk menentukan golongan darah dan juga rhesus yang dimilikinya. Tidak hanya ibu saja yang melakukan tes darah tetapi darah milik ayahnya juga akan dicek. Apabila darah dari ayah memiliki rhesus negatif, tidak diperlukan tes lebih lanjut karena tidak akan menimbulkan resiko eritroblastosis fetalis. Tetapi jika darah ayahnya memiliki rhesus positif, atau ia memiliki antibodi anti Rh, darah sang ibu akan dicek lagi di usia 18-20 minggu kehamilan dan juga nantinya saat usia kandungan menginjak 26 hingga 27 minggu.
Sangat jarang dilakukan tes darah bagi janin yang sedang berada di dalam kandungan. Hal ini sangat sulit dilakukan dan apabila dilakukan akan meningkatkan resiko penyakit komplikasi pada janin. Sebagai gantinya, darah sang ibulah yang akan terus dipantau dengan melakukan pengecekan darah secara rutin selama kehamilan, kira-kira setiap dua hingga empat minggu sekali. Apabila terdeteksi adanya peningkatan antibodi anti Rh pada darah sang ibu, maka dokter akan merekomendasikan untuk melakukan tes terhadap aliran darah bayi dan apakah sel darah merah bayi ada yang pecah.
Lalu pertanyaannya adalah dapatkah kita mencegah dan mengobati penyakit ini apabila terjadi pada bayi kita? Bagaimana cara mengobati penyakit ini? Nah, menurut pandangan penulis sendiri, saya meyakini bahwa penyakit eritroblastosis fetalis ini sangat bisa dicegah dan diobati.Â
Cara pencegahan yang pertama dapat dilakukan apabila bayi yang sedang dikandung hanya memiliki resiko terkena eritroblastosis fetalis. Pengobatan untuk mencegah penyakit ini tentunya harus segera dilakukan. Pengobatan yang dikenal dengan sebutan RhoGAM atau Rh immunoglobulin dapat mengurangi reaksi sang ibu yang memiliki rhesus negatif terhadap antigen dari rhesus positif yang dimiliki bayi yang sedang dikandungnya. Pengobatan ini dapat diaplikasikan melalui suntikan pada saat usia kandungan 28 minggu. Penyuntikan ini dilakukan lagi setidaknya 72 jam setelah melahirkan apabila bayinya memiliki Rhesus positif.Â
Ini akan mencegah adanya reaksi lebih lanjut pada tubuh sang ibu apabila masih ada plasenta dari bayinya yang masih tertinggal di dalam rahim. Tanpa penyuntikan obat RhoGAM ini, bayi hanya memiliki kesempatan hidup sekitar kurang dari 5%. Namun dengan pemberian obat ini, harapan hidup bayi akan meningkat dengan pesat, yaitu sebesar 99%.Â
RhoGAM ini berfungsi untuk menghancurkan sel darah merah janin yang mengalir dalam darah ibu dan mengandung antigen RhD belum hal tersebut memicu pembentukan antibodi yang dapat menyebabkan terjadinya eritroblastosis fetalis. RhoGAM biasanya disuntikkan melalui pembuluh darah ibu, namun satu dosis suntikan RhoGAM yang diberikan pada ibu hanya dapat bertahan selama dua hingga empat minggu saja. RhoGAM aman untuk bayi karena dapat hilang dalam beberapa minggu
namun apabila setelah itu terjadi kebocoran dan darah ibu bertemu dengan antigen dalam darah bayinya, maka eritroblastosis fetalis pun tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan karena RhoGAM tidak dapat diberikan secara terus menerus. Dosis yang biasanya diberikan pada ibu segera setelah melahirkan yaitu 500 unit internasional. Dosis ini dapat berubah disesuaikan dengan kondisi fisik serta respon pasien terhadap obat ini karena obat ini tergolong obat keras.
Cara pengobatan yang kedua dilakukan apabila bayi sudah terlanjur mengalami eritroblastosis fetalis sejak berada di dalam kandungan. Pada kasus ini, dokter akan memberikan transfusi darah untuk mengurangi anemia. Ketika paru-paru dan jantung bayi sudah berkembang dan dapat berfungsi dengan baik, dokter juga dapat merekomendasikan untuk melahirkan bayi lebih awal, biasanya hal ini dilakukan pada saat usia kandungan telah mencapai 32 -- 35 minggu.
Apabila kulit bayi terlihat kuning sesaat setelah dilahirkan akibat peningkatan bilirubin, tetapi tidak terdeteksi adanya perbedaan rhesus, ini mungkin terjadi akibat adanya perbedaan golongan darah ABO. Perbedaan ini terjadi ketika seorang ibu dengan golongan darah O melahirkan bayi yang memiliki golongan darah A, B, atau AB. Hal ini disebabkan karena golongan darah O memiliki antibodi yang bisa menyerang golongan darah bayinya. Meskipun demikian, hal ini pada umumnya lebih ringan dampaknya dibandingkan dengan eritroblastosis fertalis akibat perbedaan Rhesus. Perbedaan ABO dapat dideteksi melalui tes darah yang dapat dilakukan sesaat setelah bayi dilahirkan.
Dampak paling utama dari penyakit eritroblastosis fetalis adalah bayi akan mengalami anemia mulai dari anemia yang ringan hingga anemia berat. Bayi yang terkena eritroblastosis fetalis juga bisa terlihat bengkak, pucat, atau kulit bayi terlihat berwarna kuning. Sang bayi mungkin akan memiliki hati atau limpa dengan ukuran yang lebih besar daripada ukuran normalnya. Dari tes darah yang dilakukan, juga dapat diketahui apakah bayinya terkena anemia.
Sang bayi yang mengalami penyakit ini juga mungkin akan mengalami suatu kondisi yang disebut dengan hidrops fetalis, atau yang merupakan kondisi dimana terdapat cairan berlebihan di tempat -- tempat yang tidak seharusnya memiliki cairan. Tempat ini meliputi jantung dan juga paru-paru. Hidrops dapat terjadi ketika tubuh bayi sudah tidak dapat mengatasi anemia, sehingga hatinya mulai gagal berfungsi dan menyebabkan terjadinya penumpukan cairan di beberapa jaringan dan organ.Â
Keadaan ini tentunya sangat berbahaya karena cairan tersebut dapat memberikan tekanan berlebih pada organ tertentu seperti contohnya pada jantung, hal ini akan mempengaruhi kinerja jantung saat memompa darah ke seluruh tubuh. Paru -- paru yang terisi cairan juga akan berakibat buruk karena dapat menghambat pernapasan sang bayi.
Setelah bayi lahir, transfusi darah lebih lanjut mungkin akan diperlukan. Pemberian transfusi darah melalui pembuluh vena dengan menggunakan infus akan meminimalkan potensi tekanan darah rendah. Sang bayi juga akan membutuhkan bantuan pernapasan sementara apabila terjadi gangguan pernapasan atau kesulitan bernapas.
Adakah perawatan lebih lanjut yang dilakukan terhadap bayi yang terkena eritroblastosis fetalis? Ya, bayi yang lahir dengan eritroblastosis fetalis harus dipantau kondisi kesehatannya setidaknya hingga usianya menginjak tiga hingga empat bulan untuk mengetahui adakah tanda-tanda anemia pada bayi tersebut. Apabila anemia terjadi, bayi akan membutuhkan transfusi darah tambahan. Meskipun demikian, apabila perawatan intensif semenjak dini telah dilakukan, bayi tidak akan mengalami komplikasi lebih lanjut.
Di Asia, terutama di Indonesia sendiri masih jarang ditemukan penyakit eritroblastosis fetalis. Umumnya orang Asia bergolongan darah rhesus positif dan hanya ada 0,5% saja orang yang memiliki golongan darah dengan rhesus negatif. Berbeda dengan orang-orang yang tinggal di negara-negara Barat (Eropa, Amerika) dan Australia yang umumnya memiliki golongan darah yang memiliki rhesus negatif (jumlah presentase sekitar 15% -- 18%). Jadi dapat kita simpulkan bahwa eritroblastosis fetalis sangat beresiko terjadi apabila seorang laki -- laki Asia menikah dengan wanita bule yang umumnya memiliki rhesus negatif.
Maka, ada baiknya apabila kita mengetahui golongan darah serta rhesus kita apakah itu positif atau negatif untuk menghindari terjadinya penyakit eritroblastosis fetalis pada anak kita kelak. Demikian informasi tentang eritroblastosis fetalis yang dapat saya bagikan kali ini. Terima kasih dan semoga dapat bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H