Mohon tunggu...
Leony Ashram
Leony Ashram Mohon Tunggu... Guru - Terlahir sebagai Wanita Itu Anugerah, Menjadi Pribadi Kuat Itu Berkah

“I'm selfish, impatient and a little insecure. I make mistakes, I am out of control and at times hard to handle. But if you can't handle me at my worst, then you sure as hell don't deserve me at my best.” ― Marilyn Monroe

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jangan Insyekur, Privilese Itu Milik Semua Orang

26 Agustus 2021   19:07 Diperbarui: 26 Agustus 2021   19:15 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Belakangan ini pembahasan tentang privilese sedang banyak diperbincangkan, terutama di media sosial. Bisa dibilang pembahasannya dipelopori oleh kisah Maudy Ayunda tentang kesempatannya untuk bisa fokus menimba ilmu untuk meraih cita-citanya. Sementara masih banyak anak muda yang terpaksa melupakan mimpinya karena harus bersikap realistis.

Berkompromi dengan nasib, mereka mengambil pekerjaan yang tak sesuai passion, asalkan berpenghasilan. Supaya bisa meringankan beban orang tua dan bantu membiayai sekolah adik-adik yang masih kecil.

Dalam ilmu sosial, antropolog Ralph Linton pernah menyebutkan istilah assigned status dan ascribed status. Assigned status berarti status yang dimiliki seseorang karena lahir dari golongan tertentu, misalnya keturunan bangsawan atau berasal dari keluarga golongan elit. 

Sementara itu ascribed status dimiliki karena usaha seseorang itu dan tak ada hubungannya dengan keturunan. Bisa dibilang, privilese berlaku bagi orang-orang dengan assigned status ini.

Nah, meski keduanya punya definisi masing-masing, toh, Linton pun mengakui bahwa pada praktiknya tidak mudah menentukan apakah status---atau dalam hal ini adalah kesuksesan---seseorang itu didapat karena keturunan atau karena memang diupayakan. Bukan nggak mungkin, lho, yang terjadi adalah perpaduan keduanya.

Pada akhirnya, privilese itu ada dan sebenarnya kita semua punya hak istimewa masing-masing. Seringkali kita terkagum-kagum dengan kesuksesan orang lain. Atau sering jumawa dengan kesuksesan diri sendiri. 

Yang bikin lupa, sukses sering terjadi karena ada privilese tersembunyi yang menyertai. Yang mungkin bukan ingin diingkari, tapi tidak disadari.

Tentu saja bukan berarti mereka yang sukses besar dengan bantuan jadi kurang elok keberhasilannya. Toh banyak juga mereka yang memiliki privilese tapi tak sesukses Bill Gates. 

Disisi lain, orang-orang yang merasa nggak punya privilese dan mengomentari mereka yang orang tuanya kaya tapi berasa paling capek sedunia, itu juga privilese bagi rakyat jelata.

Tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan kesuksesan orang-orang besar, tapi lebih terbuka untuk melihat bahwa ada banyak faktor yang membantu suksesnya seseorang. Yang sering kita lupakan adalah talenta dan kerja keras juga jadi dua faktor yang bisa mengantar seseorang mencapai kesuksesan. 

Contohnya, jejaring relasi orangtua bisa mempengaruhi jenjang karier anak-anaknya. Namun, pasti akan menjadi negatif kalau proses rekrutmen sang anak berlangsung sepihak, tidak adil, atau tak sesuai dengan peraturan.

Salah satu fakta jejaring relasi orangtua tidak serta merta memuluskan jenjang karier anaknya adalah penetapan Agus Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Jarak waktu AHY berkiprah di dunia politik dengan keberhasilannya menjadi Ketua Umum tidak terjadi dalam hitungan bulan. 

SBY menyerahkan tongkat kepemimpinan Demokrat setelah AHY memperlihatkan kapabilitasnya dalam menyelamatkan suara Demokrat dan mengembalikan keyakinan para kader Demokrat untuk kembali membangun "kapal" Demokrat yang hampir tenggelam.

Pada intinya, tak perlu merasa terobsesi dengan kesuksesan orang lain yang diembel-embeli faktor privilese. Sukses datang dalam beragam bentuk dan ukuran. Bagi yang kebetulan tidak memiliki banyak privilese bukan berarti jalan tertutup. Artinya, kerja yang dibutuhkan untuk sukses menjadi lebih keras.

Kita sibuk berdebat soal siapa yang punya privilese dan siapa yang tidak punya. Padahal aslinya kita semua punya. Masalahnya, cuma hak itu mau dipake apa nggak, kan. Ukuran kesuksesan, toh, bukan hanya Bill Gates, atau bos Go-Jek, Nadien Makarim. 

Sukses bisa juga berarti seperti ditunjukkan Raeni, wisudawati Universitas Negeri Semarang dengan predikat cum laude yang datang ke lokasi acara wisuda dengan menggunakan becak yang dikendarai oleh ayahnya, Mugiyono. Atau sesederhana sukses babehojol yang berhasil membelikan laptop untuk anaknya dari keuntungan hasil ngojek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun