Mohon tunggu...
Leoni Marisa Largus
Leoni Marisa Largus Mohon Tunggu... Bankir - Pecinta martabak manis dan menulis

aku adalah gelas kosong yang selalu senang diisi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Salahkah Berpikir Negatif?

3 September 2021   15:37 Diperbarui: 3 September 2021   15:40 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Halo apakabar? Bagaimana hari-hari mu selama perjuangan kita bertahan hidup dalam covid-19 ini? Mudah-mudahan tetap kuat ya.

Memang begitu banyak perubahan yang kita alami selama satu tahun terakhir ini yang mungkin cukup mengaduk-aduk emosi kita. Perasaan atau emosi  yang timbul ini bisa kita rasakan karena berhubungan dengan persepsi dan pikiran dari kejadian atau situasi yang kita alami. 

Emosi bisa menjadi salah satu esensi dari tindakan yang kita lakukan selama ini. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh dari daya pikir dan psikomotorik di otak kita yang mengatur emosi itu sendiri. Tepatnya di dalam sistem limbik di otak kita yang juga mengatur memori jangka panjang dan tergabung dalam saraf-saraf berbentuk almond yang disebut Amygdala.

Amygdala sendiri lebih cenderung pada pikiran dan pengalaman yang biasa di anggap negatif seperti takut, curiga, cemas, kecewa, benci, dan sedih yang juga mempengaruhi pikiran jangka panjang. Sayangnya kita manusia cenderung lebih mudah untuk mengaktifkan pikiran negatif ini. Terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Alison Ledgerwood, seorang psikolog yang pernah melakukan Eksperimen mengenai fenomena pikiran negatif ini.

Alison membagi dan memisahkan dua kelompok, sebut saja A dan B. Kedua kelompok ini di beritahu secara terpisah bahwa akan di lakukan tindakan pembedahan kepada mereka dengan kemungkinan pada kelompok A di beritahu tingkat keberhasilan operasi sebesar 70% dan untuk kemlok B kemungkinan kegagalan 30%. Kelompok A memberi respon positif dan B memberi respon negatif.

Setelah itu eksperimen dilanjutkan dengan masing-masing kelompok diberi informasi tambahan yakni kepada kelompok A  ada kemungkinan kegagalan operasi 30% dan hasilnya mereka berubah respon menjadi negatif. Sedangkan kelompok B di beritahu kemungkinan tingkat keberhasilan operasi 70% dan mereka tidak mengubah respon mereka tetap saja negatif. Hasil Eksperimen ini memberi gambaran yang sangat penting tentang bagaimana otak kita manusia lebih mudah berpikir negatif.

Dulu saya sempat berpikir "seandainya saya tidak memiliki Amygdala saja biar hidup saya lebih tenang dan positif, wah". Sampai akhirnya saya membaca buku "Mendaki Tangga yang Salah" karya Eric Barker. Di buku itu ada bagian yang menceritakan tentang seorang perempuan yang memiliki gangguan pada saraf Amygdalanya yang membuat dia tumbuh sebagai wanita yang ceria dan positif. 

Awal baca cerita itu kata ku "wah luar biasa meyenangkan pasti hidupnya". Tetapi sayangnya di akhir cerita ternyata tidak semenyenangkan itu. Dia sering mengalami pelecehan, cidera, keracunan dan banyak hal yang menyedihkan secara berulang. Kerusakan Amygdalanya menyebabkan ia kehilangan rasa takut, curiga, cemas bahkan memori tentang hal buruk yang pernah dia alami tidak terekam di pikirannya, sehingga hal itu terjadi kembali.

Dari kisah hidup perempuan itu saya jadi bisa melihat bahwa ternyata perasaan atau emosi yang dianggap negatif dan sering saya keluhkan itu sebenarnya tidak begitu buruk tapi seharusnya di syukuri. 

Perasaan-perasaan itu jika di olah dengan baik justru bisa membuat kita lebih siap dan hati-hati dalam menghadapi sesuatu, karena ternyata perasaan negatif itu merupakan alarm alami untuk menghindari bahaya dalam perjalanan evolusi kita manusia. Namun seperti sebuah kalimat yang sering kita dengar bahwa "sesuatu yang berlebihan tentu juga tidak baik" itu juga berlaku dalam emosi apalagi untuk emosi yang sering dilabeli negatif ini.

Emosi negatif jika dibiarkan berkembang dan di perbesar bisa membahayakan mental kita dan juga orang lain. Perasaan curiga berlebihan, marah tak terkontrol dan dendam yang tak berujung akan sangat mempengaruhi kita dalam hubungan dengan manusia lain. Masih ingat bagaimana seringnya pikiran negatif kita menguasai dan memberi persepsi tentang sesuatu yang pada akhirnya terlalu berlebihan dan malah merugikan kita. 

Kita mungkin pernah berpikir tentang sesorang yang rasanya membenci kita atau sepertinya berniat jahat terhadap kita. Mungkin sebaiknya kita pikirkan kembali apakah kita yakin seperti itu atau itu hanya drama yang kita rangkai dalam kepala kita. 

Ketika kita percaya bahwa yang kita persepsikan itu nyata kita akan bersikap seperti apa yang kita pikirkan. Hati-hati karena itu sangat berbahaya. Thich Nhat Hanh seorang Biksu sekaligus penulis buku How to See mengatakan, "sumber segala penderitaan kita berasal dari kesalahan kita dalam mempersepsikan segala hal".

Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan ketika Emosi atau persepsi keliru yang berlebihan itu datang?

1. Menerima
Dari buku Love for Imperfect Things karya Haenim Sunim beliau menyarankan untuk menerima setiap perasaan yang datang, alih-alih melawannya kita di ajak untuk berdamai dengannya, memandangnya, mencari tahu penyebabnya, dan membiarkannya pergi selayaknya berdiri di pinggir sungai kita melihat perasaan itu berlalu pergi bersama dengan aliran air sungai.

2. Mengakui perasaan yang muncul
Ketika pikiran mulai menguasai kita dengan drama-drama dan kenangan perih menyakitkan yang muncul di kepala jangan melawannya. Akui pikiran itu dengan menyebut namamu dan katakan  "wah kau mulai lagi!" misalnya, "wah Mawar kau mulai lagi!". Dengan begitu kita tidak melawan pikiran itu tapi kita akui bahwa itu hanyalah sebuah pikiran dari persepsi tidak nyata  yang kita buat.

3. Bersyukur
Memaksa otak kita untuk berhenti berpikir adalah hal yang mustahil. Dari pada berfokus kepada hal yang menimbulkan perasaan tidak nyaman lebih baik kita melatih pikiran kita untuk mengingat hal-hal kecil dan sederhana yang bisa kita syukuri. Bersyukur akan melatih kita untuk menjadi lebih tenang dan tidak menyesali masa lalu atau mencemaskan masa depan tetapi justru menikmati saat ini.

Jadi dari pada kita mengkotak-kotakan emosi positif dan negatif ada baiknya kita menerima Emosi sebagai bagian dari diri kita. Terlalu bahagia membuat kita tidak siap untuk merasakan sedih dan terlalu larut dalam kesedihan membuat kita kehilangan harapan. Padahal tidak dapat dipungkiri sedih dan bahagia adalah satu paket emosi manusia yang tidak dapat di pisahkan. Sedih membuat kita belajar dan bahagia membuat kita bersyukur.

Tantangan yang kita jalani bersama ini memang belum selesai, tapi tetaplah percaya selalu ada pelangi setalah badai dan selalu ada hikmah dalam setiap peristiwa. Semoga kita semua tetap sehat dan kuat ya. :)

Sumber :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun