[caption caption="Ilust (flickr)"][/caption]
Â
Sulit sekali terpejam mata ini. Pikiran menerawang ke mana-mana. Gelisah, cemas, takut, campur aduk. Nika memejamkan mata, tapi makin dipejamkan makin beragam bayangan muncul silih berganti. Gorden pintu kamar itu terbuka, dan ibu pemilik rumah muncul memegang selimut tebal." Pakai lagi ini ya, di sini dingin," suaranya lembut melembuti keresahan gadis itu.
"Tidurlah istirahat, ini sudah pukul duabelas."
"Aku merepotkan namboru, tapi ini sudah ada selimutnya," kata Nika beringsut duduk.
"Tak apa, biar kamu tidurnya merasa hangat." Ibu itu tersenyum dalam remang lampu kamar. Senyuman itu memupus seluruh galau di hati Nika.
"Jangan terus berpikir, kamu aman di sini, tapi jangan bersuara dulu," bisik perempuan itu.
Kebaikan itu sangat sempurna bagi Nika. Pagi hari, ketika bangun dari tidurnya yang singkat, Nika disuguhi roti kaleng dan segelas teh manis. Bahkan yang bikin kaget Nikana, ketika ibu itu bilang sudah memasak air panas buat mandi. "Kamu bisa kedinginan di daerah ini, saya sudah buatkan air panas. Biar kamu merasa segar."
Nika terpana." Aduh namboru kenapa harus repot begitu, bagaimana aku membalas kebaikan namboru...aku..."
Perempuan itu menghentikan kata-katanya dengan melintangkan telunjuk di bibir.
"Jangan berkata begitu nak, sudah kubilang aku juga punya anak perempuan. Kalau anakku mengalami hal seperti yang kamu alami, bagaimana, apa salah kalau ada yang menolong."
"Sekali lagi terima kasih Bu, namboru...Semoga Tuhan memberkati ibu sampai anak cucu." Hanya itu yang terucap dari bibir Nika.
Lalu, rencana selanjutnya Nika sudah mengatakan pada perempuan itu. "Aku harus secepatnya pergi Bu, harus segera..."
"Kenapa terus pergi, istirahat dulu di sini sampai para penculikmu benar-benar sudah tak di sini lagi."
Nika dengan berat hati menggeleng.
"Tidak Bu, maafkan aku namboru,aku harus ke Tuktuk, aku merasa berdosa dan tak tenang kalau tidak kembali ke sana melihat Riko yang kena tembak."
Perempuan itu mengernyitkan alisnya menatap Nika, sebelum mengangguk.
"Yah aku mengerti perasaanmu, tapi aku juga tak tega kalau kamu mengalami bahaya lagi."
"Aku berulangkali berdoa, agar Tuhan menyingkirkan mereka dariku. Aku harus secepatnya pergi Namboru, aku hanya perlu pertolngan namboru lagi mengantar aku ke setasiun angkutan ke sana."
Perempuan itu menghela nafas panjang, mengelus bahu gadis itu." Yah kalau itu yang terbaik menurutmu aku tak bisa menghalangimu. Aku hanya berpesan agar kamu hati-hati. Ibu nanti akan pikirkan caranya aman ke kota, biar aku sendiri yang antar kamu ke terminal, kebetulan ada keponakanku kerja mandur bus jurusan Samosir."
Nika gembiranya bukan main."Terima kasih namboru, terima kasih sekali."
"Sekarang kamu mandi dulu, itu airnya sudah mendidih."
* * * * *
BAJU kaos dan celana jins yang semalam basah sudah mengering. Nika mengenakannya kembali, usai mandi keramas. Penampilannya begitu cantik cemerlang usai menyisir rambut. Ibu itu terpesona menatapnya." Alangkah cantiknya kamu bisa mengalami nasib buruk seperti ini."
"Aku selalu mengandalkan Tuhan, namboru, aku tulus menerima cobaan ini semua." Nika tersenyum, manis sekali senyum menghiasi bibirnya.
 "Jaman sekarang susah mencari anak gadis macam kamu yang begitu tulus memuji dan mengandalkan Tuhan, aku yakin kamu selalu diperhatikan dan ditolong Tuhan."
"Amiiiinnnn..." Nika kembali tersenyum.
Mereka akan ke kota usai sarapan pagi. Sekitar pukul 11 pagi itu, Nika diberikan sebuah topi kain dan kaca mata hitam yang kebetulan sesuai betul dengan form wajahnya. Tampilannya makin elegan.
"Pakai juga jeket ibu ini, biar kamu makin samar nanti."
Nika memakai jeket itu. "Jeket namboru ini akan melindungiku."
"Kamu punya uang buat ongkos?" tanya perempuan berhati berlian itu hendak merogo dompet di tangannya.
Nika merogo dompet kecil di kantongnya. "Ini masih cukup Bu, aku juga ada ATM..."
Ada niat gadis itu mau mengambil uang ke ATM. Tapi ia ingin langsung ke stasiun, jangan lagi menambah beban singgah-singgah, yang risikonya berbahaya.
Nika terpikir pada tiga buah cincin mahal yang melingkar di jari tangan kirinya. Selain dua cincin bertatahkan berlian murni, ada cincin emas 15 gram berpola ular yang dibeli papanya ketika bepergian ke Yerusalem dulu. Nika menanggalkan cincin antik itu dari jarinya, lalu perlahan dipegangnya tangan kiri perempuan itu.
"Ini aku berikan untuk namboru sebagai kenangan, kita masih akan ketemu lagi ya namboru."
Perempuan itu terperangah, tak sempat menolak ketika cincin itu sudah melingkar di jari manisnya. Ukurannya pas sekali dengan jari manis Nika.
"Jangan tolak namboru, harganya tak sebanding dengan kebaikan namboru, tapi ini bukan sebagai imbalan kebaikan yang namboru persembahkan buatku, ini hanya sekedar kenangan pertemuan kita yang terberkati."
"Aku doakan dirimu selalu, bikin kabar nanti kalau sudah sampai di Tuktuk. Tadi kan sudah kuberi nomor ponselku."
Keduanya beringsut menuruni rumah berkolong cukup tinggi dengan tulisan Anno 1914 pada pintu depan. Di ujung jalan dusun, ibu itu melambaikan tangannya pada sebuah mobil oplet. Penumpang dalam oplet itu terpana melihat gadis secantik itu menaiki angkot.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI