Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tak Kubiarkan Cintaku Berakhir di Tuktuk (116)

16 Desember 2015   12:00 Diperbarui: 16 Desember 2015   12:00 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

NIKA sadar berapa berbahayanya jika ia bersikap pasrah meringkuk terus di antara ilalang dalam remang malam dan guyuran gerimis. "Mereka pasti sudah kalang kabut mencariku."

Ia tak tahu hendak ke mana dan bagaimana. Yang penting,harus segera menjauh dari tempat itu. Baju dan celananya mulai lengket di badan,basah oleh gerimis. Rasa gatal juga makin mengganggu. " Tuhan sedang memberi ujian berat padaku, ajari aku Tuhan  jangan biarkan aku sendiri sehingga aku tersesat."

Nika mulai merangkak. Telapak tangannya menggapai rerumputan dan tanah basah. Aroma malam menyergap penciumannya. Dia larak-lirik ke kiri kanan mencoba menebak posisinya. Ada cahaya lampu di sekitar bantaran sungai itu, pertanda rumah penduduk tak jauh dari rumah makan tadi. Nika berdiri dan melangkah hati-hati mengarah menuju sumber cahaya itu. Kakinya terpeleset oleh tanah becek yang licin, dan ia nyaris mnjerit karena terperosok ke sebuah lobang. Untung tak begitu dalam. Dengan menahan diri tidak memperdengarkan rintihan, ia meraba-raba dengan menggenggam rerumputan agar bisa keluar dari tanah berlobang itu. Dihimpunnya tenaga untuk terus menapaki tempat yang begitu asing baginya. Saat itu yang membentur sebuah pohon. Dan pohon itu ternyata berada di pinggiran jalan beraspal. Nika menarik nafas lega. Menatap lampu-lampu rumah di depannya. Tapi tampaknya jalan itu sepi. Mungkin ini jalan desa, pikirnya sesaat.

Dari arah rumah makan yang jaraknya berkisar 150 meter, terdengar suara-suara percakapan,atau mungkin itu letupan kemarahan.

Nika terkesiap. Ketiga pria penyandera itu sedang mencarinya dari arah dapur rumah makan.

Tak guna terpaku kecemasan dan bimbang, Nika meraba kegelapan di depannya dengan kaki seraya berpegang pada dahan pohon yang menjuntai kebawah. Ada parit kecil yang harus dilangkahi sebelum menginjakkan kaki ke jalan beraspal.

Jalan itu tak begitu terang, lampu jalan hanya terlihat di kejauhan. Nika berdiri sejenak memetakan posisi lokasi. Letak rumah makan ada di sebelah kanan, dan Nika memastikan mobil yang parkir di depan itu adalah mobil orang yang melarikannya dari Samosir. 

"Lari secepatnya Nika, jangan balik ke kanan tapi ikuti jalan lurus ke depan," hati kecilnya yang bicara.

Tak perlu lagi berpikir lama, kaki Nika bergerak mengikuti jalan tikungan di depannya. Langkahnya makin cepat sambil bberapa kali menoleh ke belakang. Hujan geirimis makin menderas. Ia tak lagi merasakan tubuhnya kuyup. Yang penting harus secepatnya menjauh dari ketiga bajingan itu.

Di belakangnya dalam jarak dua ratusan meter ia mendengar suara omelan, hardikan atau luapan kemarahan. Tapi ia tak mendengar jelas apa kata-kata yang mengikutinya dari belakang.

Langkah Nika pun makin cepat, hampir setengah berlari, makin jauh tak tahu mau ke mana. Ada beberapa kenderaan melintas dari depan dan belakang. Cahaya lampunya menyoroti wajahnya, dan Nika melindung matanya yang silau dengan kedua tangannya yang basah.

Suara suara di belakangnya masih terdengar, tapi makin sayup. Nika tahu itu suara ketiga pria itu tapi Nika tak pernah tahu apa yang mereka ucapkan.

"Gara-gara kamu Ramli brengsek," Tonny terus meletupkan amarah. Sepatunya sudah bergelimang lumpur tebal . Kebenciannya memuncak karena ahirnya basah kuyup.

"Aku mengaku salah bos," kata Ramli yang mulai kecut atas kemarahan Tonny.

"Kalau dia tak ditemukan, kutembak bokonggmu." Suara Tonny meninggi. Dan Ramli tahu Tonny tak main-main.

Jengkel dan benci atas menghilangnya gadis itu sungguh menerakai benak Ramli.Mau ke mana mencari di tempat asing begini. Apa lagi dalam kegelapan malam berbaur gerimis.

Ramli menyusuri jalan bersama Dirgo. Ini seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Kemana dicari? Jalan itu sebuah jalan desa yang tak begitu ramai. Saat malam bergerimis seperti ini terasa lengang. Hanya sesekali ada sepeda motor dan mobil lewat. Di kiri kanan jalan sawah terbentang luas, dan perkampungan. Hanya ada beberapa rumah sudah berdiri di pinggir jalan. 

"Tonny marah besar, itu wajar," kata Dirgo sambil menyalakan rokok. Ia melindungi kepala dengan sapu tangan seraya menyorotkan cahaya senter ke tempat gelap.   

Ada beberapa pejalan kaki juga disenter, bisa bikin orang tersinggung. Untung pejalan kaki itu ibu-ibu yang pergi melayat orang monding (meninggal). Itu pun sudah keberatan wajahnya kena cahaya senter. Ibu merepet mengecam.

"Setan betina, ke mana perginya," Ramli tak hentinya menggerutu. Dia membayangkan amarah Tonny jika gadis itu tak ditemukan.

* * * * *

NIKA terus melangkahkan kaki menyusuri arah jalan yang ia tak tahu mau ke mana. Ia berhenti sejenak mengatur nafas. Menoleh ke belakang, membayangkan ketiga bandit  itu mengejar dengan amarah selangit.

Di sebelah kiri ada sebuah jalan kecil, tampaknya jalan setapak ke sebuah dusun tak jauh dari jalan aspal. Tampak cahaya lampu dari teras bberapa rumah. Dusun itu kecil dan gelap tanpa penerangan lampu jalan.

Kakinya membawanya masuk ke arah salah satu rumah. Rumah berkolong tinggi sepertinya knstruksi jaman dulu. Terasnya dipagari dengan potongan-potongan papan yang disusun rapi. Tangganya terbuat dari potongan kulit kayu tusam yang didesain dengan bentuk antik.

Nika tertegun di sisi gelap rumah itu, tak tahu  mau berbuat apa. Gerimis makin deras. Suasana sepi sekeliling dusun mencekam. Nika was-was andaikan tiba-tiba ada anjing binatang yang paling ditakutinya. Ia ingin berlindung sambil menunggu kalau ketiga pria yang mengejarnya lewat. 

Tiba-tiba Nika tegang. Seekor anjing hitam cukup besar muncul dari rimbun pohon bambu di halaman rumah. Anjing itu mndekatinya tapi tidak menggonggong. Hanya mengendus-endus arah kaki gadis itu. Nika gemetaran nyaris pingsan ketakutan. Ia bergeser ke arah tangga, tapi anjing itu mengikutinya sambil terus mengendus. Dia melangkahkan kaki menaiki tangga. Anjing itu tiba-tiba menggonggong. Nika menutup mata menanti apa yang akan dilakukan anjing itu padanya. Nafasnya tertahan dalam ketakutan hebat. Dan saat itu suara perempuan terdengar dari dalam," Hesss bruno... ada apa bruno..."

Nika membuka mata menoleh ke pintu. Tampak pintu terbuka dan sosok seorang ibu paruh baya muncul di sana, menatap heran ke arahnya. 

Nika merasa kepalanya pusing. Tubuhnya menggigil kedinginan. Ia terduduk lunglai di tangga. Dan mendengar suara ramah ibu itu bertanya," Kamu kehujanan ya, masuk ke rumah ayo,"

Nika menatap wajah lembut keibuan itu tapi kerongkongannya seakan tersekat beberapa saat.

"Singgah ke rumah dulu, dari mana malam-malam begini kehujanan lagi. Bah kamu basah kuyup begini, bisa sakit nanti."

Nika ingin berdiri, tapi ia seakan kehilangan tenaga. Perempuan pemilik rumah mencermati penuh tanda tanya.

"Tolong Bu, aku dikejar orang jahat bu," Nika bersuara sayup tapi cukup jelas.

"Bah, kalau begitu ayo ke rumahku dulu, ayo cEpat masuk," kata ibu itu sambil memegang tangan gadis itu. Nika mensyukuri keramahan itu. Tuhan telah campur tangan menoolongku, bisiknya dalam hati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun