Suara suara di belakangnya masih terdengar, tapi makin sayup. Nika tahu itu suara ketiga pria itu tapi Nika tak pernah tahu apa yang mereka ucapkan.
"Gara-gara kamu Ramli brengsek," Tonny terus meletupkan amarah. Sepatunya sudah bergelimang lumpur tebal . Kebenciannya memuncak karena ahirnya basah kuyup.
"Aku mengaku salah bos," kata Ramli yang mulai kecut atas kemarahan Tonny.
"Kalau dia tak ditemukan, kutembak bokonggmu." Suara Tonny meninggi. Dan Ramli tahu Tonny tak main-main.
Jengkel dan benci atas menghilangnya gadis itu sungguh menerakai benak Ramli.Mau ke mana mencari di tempat asing begini. Apa lagi dalam kegelapan malam berbaur gerimis.
Ramli menyusuri jalan bersama Dirgo. Ini seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Kemana dicari? Jalan itu sebuah jalan desa yang tak begitu ramai. Saat malam bergerimis seperti ini terasa lengang. Hanya sesekali ada sepeda motor dan mobil lewat. Di kiri kanan jalan sawah terbentang luas, dan perkampungan. Hanya ada beberapa rumah sudah berdiri di pinggir jalan.Â
"Tonny marah besar, itu wajar," kata Dirgo sambil menyalakan rokok. Ia melindungi kepala dengan sapu tangan seraya menyorotkan cahaya senter ke tempat gelap. Â Â
Ada beberapa pejalan kaki juga disenter, bisa bikin orang tersinggung. Untung pejalan kaki itu ibu-ibu yang pergi melayat orang monding (meninggal). Itu pun sudah keberatan wajahnya kena cahaya senter. Ibu merepet mengecam.
"Setan betina, ke mana perginya," Ramli tak hentinya menggerutu. Dia membayangkan amarah Tonny jika gadis itu tak ditemukan.
* * * * *
NIKA terus melangkahkan kaki menyusuri arah jalan yang ia tak tahu mau ke mana. Ia berhenti sejenak mengatur nafas. Menoleh ke belakang, membayangkan ketiga bandit  itu mengejar dengan amarah selangit.