"Aku juga turun, aku tak tahan lagi," kata Nika. Tapi saat itu otaknya sedang bekerja membuat skenario tersendiri kalau memungkinkan kabur.
"Bagaimana bos,"Ramli minta pendapat.
Tonny masih ragu, mengamati wajah gadis itu. Diliriknya jam tangannya sudah hampir dekat pukul 6 jelang magrib. suasana mulai remang oleh mendung langit.
"Tapi kamu bisa dipercaya kan, jangan neko-neko, aku tak segan menembak seperti menembak kekasihmu." Tonny mengancam dengan nada serius.
"Aku berjanji, atau perlu sumpah?" Nika perdengarkan suara mengomel.
"Ramli kamu ikut turun, awasi dia, biar aku tetap di sini."Â
Ramli turun, membuka pintu. Dan Nika turun pertama kali menginjak tanah setelah sekian jam meringkuk di mobil.
Rumah makan itu agak lengang. Hanya ada seorang lelaki muda sedang makan di meja sudut. Selainnya seorang ibu pemilik kedai dan seorang gadis pelayan.
Dirgo memesan makanan empat bungkus. Sementara ramli mengikuti Nika yang bertanya pada gadis pelayan," Di mana toiletnya dik."
"Di sana, mari aku tunjukkan," gadis itu mendahului ke belakang. Ternyata ke belakang itu menurun, melalui tangga kayu, agak berliku. Ini merepotkan bagi Ramli untuk terus merapat mengikuti gadis itu. Rasanya agak janggal, apalagi lelaki yang sedang makan dan ibu pemilik kedai seperti memperhatikan.
 Ramli terpaksa hanya berdiri di ujung tangga, berlagak melihat-lihat arus sungai yang menjadi pemandangan terbuka dari teras belakang. Lelaki muda yang sedang makan terus memperhatikan.