Bisa sekolah atau kuliah atau memperoleh pengalaman belajar ke luar negeri mungkin menjadi salah satu impian bagi beberapa orang di Indonesia. Impian itu diperoleh oleh Gwendolyne Theophila. Mahasiswa manajemen komunikasi di Jawa Barat ini baru saja menyelesaikan perjalanan IISMA di Boston University (BU), Amerika Serikat (AS). IISMA merupakan program Kemdikbud yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar di luar negeri.
Selama empat bulan terakhir di 2024, ia menghabiskan waktu di negeri Paman Sam untuk mempelajari mata kuliah bisnis. Bersama dengan teman-teman Indonesia lainnya, memori baru yang berkesan diukirnya. Gue pun tertarik untuk mendapatkan cerita dari Weng (sapaan akrabnya) selama di AS.
Keinginan menimba ilmu di luar negeri sejatinya direncanakan Weng saat melanjutkan studi S2, tetapi kesempatan datang lebih cepat, dan tidak disia-siakannya.
“Jadi awalnya aku ikut IISMA itu karena beneran ingin punya pengalaman kuliah di luar dan itu sebenarnya S2, tapi ketika ada kesempatan untuk keluar di S1, aku pasti ambil. Dan itu udah jadi rencana aku dari semester pertama banget. Jadi semua hal yang aku lakukan dari semester satu sampai empat itu udah mengarah ke keputusanku buat daftar IISMA,” ucap Weng.
Singkat cerita, selain memilih kampus yang memiliki mata kuliah bisnis dan dianggap masih hubungan dengan komunikasi, alasan Weng memilih Boston adalah lingkungan di sekitar BU. Menurutnya, faktor itu menjadi salah satu pertimbangan.
"Bukan karena univnya juga, tapi karena lingkungannya. Di situ aku dekat dengan kampus-kampus yang bagus juga. Aku tetanggaan dengan MIT, bisa ke Harvard kapanpun aku mau, terus kualitas hidup di Boston salah satu yang terbaik di US. Jadi Boston kota yang sempurna untuk aku,” ujarnya.
Setiap tempat, negara, wilayah, kota, hingga tempat diri kita injak, pastinya memiliki budaya serta kehidupan yang berbeda. Meski dalam waktu singkat di AS, berbagai pelajaran diserap dan dipelajari Weng.
Dalam proses belajar di BU, dirinya merasa banyak mendapatkan pengetahuan. Terlebih, pihak kampus serta profesor di sana yang sangat mendorong mahasiswanya untuk mau belajar di luar, di samping cuma mengerjakan tugas yang diberikan.
Dorongan yang didapat, meningkatkan keinginan untuk eksplor hal-hal baru. Gwen mengaku selama di AS, ia lebih sering membaca sehingga membuat punya refrensi lebih banyak sebelum masuk ke kelas dan membantu untuk lebih banyak dalam berdiskusi dengan rekan-rekannya.
Fleksibilitas jadwal kuliah yang didapatnya juga menjadi anugerah. Weng bercerita selama di BU mulai kelas paling cepat setengah tiga sore dan sisa kelas lainnya banyak dimulai jam enam sore.
Banyak kelas dimulai setelah jam makan siang, menciptakan banyak waktu luang di pagi hari. Waktu di pagi hari kerap digunakan untuk me time, olahraga, memasak, hingga menyiapkan banyak hal sebelum kelas.
Salah satu hal yang paling berkesan didapatkannya ketika mengikuti kelas di BU adalah soal menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam belajar maupun mengerjakan tugas-tugas.
"Aku ngerasa Boston University sangat nge-drive kita untuk memanfaatkan AI dalam tugas-tugas kita, bahkan untuk belajar. Jadi aku diperkenalkan dengan sangat banyak AI di sana, bukannya malah dibatasin engga boleh pake AI. Jadi aku ngerasa sangat futuristik dan aku ngerasa semua hal yang aku pelajari itu dibantu dengan AI, selain dibantu profesor-profesor itu sendiri. Jadi aku beneran diajarin untuk live step by side with artificial intelligence,” kata mahasiswi komunikasi tersebut.
Budaya mahasiswa nongkrong engga ada
Ga nongkrong maka engga kenal. Kegiatan nongkrong atau kumpul bersama teman sehabis kelas kuliah, kerap menjadi kebiasaan yang dilakukan mahasiswa di Indonesia. Biasanya, kumpul sama teman untuk mengisi waktu luang hingga menghilangkan rasa penat selepas kelas. Bukan hanya mahasiswa saja, dari semua kalangan umur di Indonesia, sering melakukan hal tersebut.
Namun, kebiasaan nongkrong sehabis kelas, tampaknya jarang terjadi bagi mahasiswa di BU atau mungkin juga di AS. Weng menilai mahasiswa di sana, engga punya kebiasaan tersebut.
"Di sana aku ngerasa ga punya budaya nongkrong, kayak abis kelas nongkrong tuh ga ada. Dan benar-benar lebih individulis aja kali ya, bukan ada yang genk-genkan di kampus."
Meski begitu, Weng menilai ada hal positif yang bisa diambil dari orang-orang di sana. Salah satuya adalah mereka gampang memuji orang lain walaupun tidak dikenal.
"Aku ngerasa yang bisa dipelajarin juga adalah bagaimana mereka ini sangat-sangat ramah kepada semua orang, walaupun mereka engga kenal. Mulai dari se-simple bukain pintu buat orang lain misalkan mau masuk dan nyapa, misalnya tatap-tatapan kayak senyum segala macam. Lebih friendly aja sih aku ngerasanya dalam hidup. Bukan cuma di kampus doang, ketemu orang dimanapun sangat gampang untuk menyapa, sangat gampang memuji orang, sangat gampang membantu orang walaupun kita ga kenal itu siapa," lafal Weng.
Trotoar yang ramah untuk pejalan kaki
Kini, Weng sudah kembali ke Tanah Air dan melanjutkan studinya. Rutinitas sehari-hari kembali lagi seperti yang sudah lama ia lakukan.
Kembali menjumpai kesibukan ramainya kota Jakarta dan sekitarnya hingga melihat realitas kondisi trotoar tidak sebagus serta seramah saat di Boston.
Selama di sana, Weng banyak berjalan kaki. Alasannya karena trotoar di sana sangat ramah untuk berjalan kaki. Beda dengan kota-kota besar di Indonesia, di mana trotoar ukurannya kecil, lalu kerap digunakan untuk mendirikan tenda jualan, dilewati oknum pengendara sepeda motor, bahkan hingga memarkirkan kendaraan pribadi. Aktivitas tersebut mengambil hak pejalan kaki serta bagi mereka yang membutuhkan.
“Kalau yang bisa diimpelementasikan (dari Boston ke Indonesia) adalah sistem pembuatan jalan yang pedestrian friendly. Engga peduli sejelek apapun sudut kotanya, tetap selalu ada trotoar yang ramah untuk pejalan kaki, karena ini akan menyelesaikan banyak masalah. Pertama bikin kita ingin lebih jalan untuk pergi ke tempat-tempat. Bukan cuma jalan-jalan olahraga doang, yang berarti mengurangi polusi, lalu bisa mendorong keberlanjutan di kota dan orang-orang juga lebih sehat karena mereka terdorong jalan kaki. Di sana, gue kemana-mana jalan kaki, mau dekat mau jauh apapun, kalau bisa jalan, mending jalan. Jadinya sehat gituloh karena selalu ada jalanan yang mendukung, ga merasa terintimidasi kalau mau jalan, ga takut ketabrak, dan emang nyaman aja buat jalan kaki," jelas Gwen.
Peziarahan selama empat bulan di AS merupakan suatu titik balik bagi Weng. Segala yang sudah terjadi, menjadi pengalaman berkesan di dalam hidup. Baginya, anugerah pengalaman yang sudah didapatkannya merupakan permulaan untuk menuju perjalanan yang lebih jauh lagi.
Sebagai penutup Weng memiliki harapan serta pesan bagi Gen Z yang ingin memperoleh kesempatan untuk bisa studi di luar negeri.
"Kalau udah dapat kesempatan, belajar manfaatin peluangnya untuk ketemu orang-orang baru, orang-orang yang mungkin ga tahu ke depannya bakal butuh atau engga. Ke depannya mungkin kita akan berhubungan banyak dengan orang ini, bisa membuka banyak kesempatan buat kita. Jadi pakai aja kesempatannya semaksimal mungkin. Satu lagi, ingin doang ga cukup. Kalau ingin, usaha harus maksimal, tetap harus berdoa terus karena kalau kita ingin sesuatu, kita bisa kok masukin itu ke life trend kita, tapi seberapa determine dan dedicate kita aja untuk bikin itu sebagai sebuah kenyataan bukan keinginan doang," tutup Gwen.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI