Membaca artikel Poernamasyae, tentang istilah “cina” yang dicabut oleh SBY, http://sosbud.kompasiana.com/2014/03/20/sebegitu-pentingkah-pembedaan-istilah-china-dan-tionghoa-sehingga-perlu-keppres-642747.html
Saya berpendapat lain dengan Poernamasyae dan Anton Medan. saya pikir Poer dan Anton Medan adalah seorang Tionghoa yang tidak mengerti budaya Tionghoa, dan dewasa dalam sirepan ideologi maling negara suharto.
Mengapa pada jaman Bung Karno kita memakai istilah Tionghoa dan Tiongkok, dijaman order baru dirubah menjadi “cina”?
pada rapat internal AD pada tahun 1967, untuk menutup hasil kejahatan suharto, yaitu pada tahun 1965 membunuh Yani dkk, serta 11 Maret 1966 mengkudeta Bung Karno, pangabean, seorang jenderal yang menurut pengawal bung Karno, mengacungkan pistolnya ke kepala bung Karno ketika 11 Maret 1966, ingin memutihkan suharto yang telah membunuh Yani dkk, serta mengkudeta bung Karno. Dia bilang, G-30-S adalah tindakan PKI yang disuruh PKT(iongkok), sehingga kita harus membuat rakyat membenci Tiongkok dan Tionghoa, maka, sebutan Tiongkok dan Tionghoa harus dirubah menjadi “cina”. Dan suharto menyetujui dengan membuat sirat edaran no 6 pada tahun 1967.
suharto memang sudah biasa nipu, kalo G-30-S dia bilang itu tindakan PKI, saya ingin membongkar kenyataan ini, DIDUNIA MANA, ADA KUDETA YANG HANYA MEMBUNUH PANGLIMA AD DAN TIDAK MEMBUNUH PRESIDEN? Bahkan Bung Karno nyuruh AU pakai pesawat AU mengirim Aidit ke Madiun! Ini terbukti tidak ada masalah antara PKI dengan Bung Karno! Ketika mahasiswa atas hasutan suharto menekan Bung Karno membubarkan PKI, Bung Karno MENOLAKNYA! maka suharto melakukan kudeta pada tanggal 11 Maret 1966 atas dukungan amerika.
suharto memang sudah biasa nipu, jenderal yang dibunuh oleh Untung dia bilang dicincang sama PKI dan Gerwani, dia suruh dokter membuat visum palsu. setelah suharto runtuh, orang yang meneken visum berkata bahwa ia dipaksa oleh suharto (tertulis dalam otobiografi Soebandrio setelah dia keluar dari penjara). Maka suharto menghasut rakyat Indonesia melakukan pembunuhan masal seperti yang dibuat oleh “The Act of Killing” yang mendapat film dokumenter terbaik di Inggris pada tahun 2013, dan masuk nominasi di Oscar 2013. baca :
http://politik.kompasiana.com/2014/01/25/kita-analisa-mendalam-budaya-malu-kita-terhadap-film-the-act-of-killing-630480.html
Poernamasyae, Anton Medan adalah orang-orang Tionghoa yang telah dicuci otak oleh rejim suharto, sehingga dia merasa lumrah sebutan “cina”! Dia tidak mewakili suku Tionghoa, dan mereka tidak ngerti sopan santun bernegara serta bukan apa-apa.
Bayangkan, karena tindakan suharto membunuh jutaan orang, jika ada suatu negara memanggil Indonesia dengan istilah negara pembunuh, dan merubah sebutan tersebut secara resmi menjadi republik pembunuh wajarkah? Sesuatu nama harus diterima dan dibuat oleh yang bersangkutan, bukan oleh pemanggil. Korea selatan merubah nama ibukota HANCHENG (kota Tionghoa, Han=Tionghoa) menjadi Seoul, karena ini keinginan negaranya, seluruh dunia mengikutinya. hanya bajingan barbar yang mau sehendak hatinya merubah nama negara dan nama suku orang lain. Bagaimana kalau nama pak Poer saya panggil dengan pak Bagong? tentu anda marah!
Karena dirubah oleh “presiden hasil kudeta” suharto, maka harus direhabilisasi oleh seorang presiden, tidak heran pak SBY yang harus turun tangan.
Anggota DPR dari PD, pak Eddy Sadeli, pada suatu hari diundang (termasuk saya) oleh Antara, mendiskusi masalah soal panggilan “cina”. karena pak SBY juga merasa tidak enak dan tidak wajar, sesama negara sahabat, tidak pantas memanggil negara yang bukan nama “cina” dengan istilah “cina”. Didalam rapat, pak Eddy Sadeli bilang, pada tahun 1928, pada sumpah pemuda, waktu itu belum ada Indonesia, koran SINPO mewakili Tionghoa membuat perjanjian dengan para pemuda Indonesia, bahwa tidak memanggil orang Indonesia dengan sebutan “inlander”, dan para pemuda Indonesia juga tidak memanggil orang Tionghoa dengan istilah “cina”.