Mohon tunggu...
Inovasi Pilihan

Tolak Semen Ungguli Tolak Sawit

15 April 2016   09:34 Diperbarui: 16 April 2016   00:35 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salut untuk para ibu yang berjuang menolak pabrik semen di wilayah pegunungan Karst, Kendeng, Jawa Tengah. Puncak aksi penolakan ini tentunya aksi pasung kaki dengan semen oleh 9 (sembilan) ibu di depan Istana Negara, teatrikal fenomenal, ironi jelata, sketsa dramatis nan apik tentang penindasan.

Tak dapat dipungkiri, aksi tolak semen oleh para ibu tersebut jauh mengungguli aksi tolak perkebunan sawit di banyak daerah nusantara. Media cetak, penyiaran, bahkan radio mendesiskan aksi oleh 9 ibu, belum lagi status di-wall media sosial alias Medsos, yang bertaburan komentar persemenan.

Sudah tahunan para petani di Kendeng Jateng menolak pabrik semen, aksi tenda penolakan telah 667 hari pula dilakukan di Rembang. Begitu pula sawit, bahkan sejarahnya sejak 1848 jaman kompeni Belanda.

Tentunya peninggalan kompeni ini kemudian mekar dan mengekspansi sebagian besar wilayah nusantara sejak rejim Orde baru, Orba, berkuasa. Sejak itu pula aksi penolakan telah dimulai, meski hanya penolakan bisu saat itu.

Pabrik semen merusak lingkungan, demikian pula perkebunan sawit. Jika petani Kendeng merasakan banyak mata air yang hilang, maka sawit dampaknya lebih parah lagi, tak hanya sumber air menipis, namun juga keanekaragaman hayati yang hilang, pemaksaan monokultur, hilangnya hak tanah, terinjaknya adat dan budaya lokal, represifitas pada masyarakat "kampungan", adu domba, lenyapnya hutan, hadiah kabut asap, dan banyak lagi.

Namun kenyataannya, setelah puluhan tahun, aksi tolak sawit ternyata tak sekeren dan sefenomenal aksi tolak semen. Mungkin, dan hanya mungkin, masyarakat yang tolak sawit harus melakukan aksi serupa di depan Istana Negara.

Jujur, akan menjadi sesuatu yang awkward alias canggung. Teatrikal gantung diri pada pohon sawit di depan istana? Yang pasti pikul sawit ke istana tentu tercium Secret Service-nya istana.

Berbeda sekali dengan peran 9 ibu yang memasung diri dengan semen, pengaktualan wajah Indonesia, perempuan dengan kebaya, petani lembah pula, tentu menyita perhatian mayoritas anak bangsa.

Namun membayangkan aksi tolak sawit, khususnya dari Kalimantan, dengan berpakaian adat, pasti memberi gambaran berbeda. Sudah beberapa sih rekan yang melakukan beragam aksi dengan pakaian adat Kalimantan di Jakarta, namun anehnya, masyarakat Bhineka ini bahkan cenderung mencibir, dipoles sindiran, orang pedalaman, primordial katanya.

Jujur, terhenyuh melihat aksi para ibu yang pasung diri dengan semen, perjuangan melawan penindasan globalisasi pundi rupiah. Terhenyuh yang melahirkan rasa terhenyuh lainnya, betapa kaburnya perjuangan lain, aksi tolak sawit. Rangkaian rasa terhenyuh tak mengurangi rasa hormat pada ibu-ibu yang melakukan aksi pasung menolak pabrik semen.

Hanya saja, betapa tolak semen menjadi lekuk yang sangat Indonesia, sementara tolak sawit seantero nusantara dicap sebagai antek asing. You know, para kompeni sejatinya tidak pernah pergi dari negeri ini, devide at impera.

Semen dan Prahara Sawit

Selain hilangnya sumber mata air, pabrik semen jelas akan mempengaruhi kualitas udara, polusi CO, NO2, SOx, HC, dan beberapa lainnya. Belum lagi partikulat debu dan limbahnya. Terpapar dalam waktu tertentu akan berdampak pada kesehatan, paru-paru, iritasi kulit, iritasi mata, alergi.

Penambangan sejenis tanah liat untuk bahan baku semen, mengubah kontur kesuburan tanah, mengganggu aliran air, lenyapnya mata air, dan pastinya akan merubah ekosistem secara drastis. Jadi sangat reasonable jika warga, terutama petani menolak pabrik semen.

Bagaimana dengan sawit? Konversi hutan tropis menjadi perkebunan sawit jelas berdampak buruk pada sistem ekologi. Banyak yang sudah paham, hanya saja not my concern, seperti pembabatan hutan, pembakaran lahan, kabut asap, konflik sosial, abuse of power melalui kokang senjata, pertikaian, penyerobotan lahan, dan itu sangat nyata, senyata genggaman remot saat menyaksikan berita di televisi.

Luas perkebunan sawit Indonesia diperkirakan mencapai 10 -13 juta Ha, bayangkan saja 13 juta Ha! Lebih besar dari luas pulau Jawa yang memiliki luas 126.700 Km2/ 12.670.000 Ha alias 12,67 juta Ha. Ya, bahkan Presiden Jokowi terkejut mengetahui perkebunan sawit lebih besar dari hutan produksi yang hanya 11 juta Ha.

Apa terlintas, jika setiap pohon sawit itu dipindahkan ke Jawa, maka tiap jengkal tanah jawa akan penuh oleh sawit, tak tersisa untuk penghuninya. Kemudian para oknum menyampaikan bahwa pengubahan hutan rimba yang lebih luas dari Pulau Jawa tidak memiliki pengaruh sosial dan lingkungan? absurd level dewa.

Perseteruan jelas tak bisa dihindari, terutama masalah tanah atau agraria. Komisioner Komnas HAM, Dianto Bachriadi, pada januari lalu, menyatakan bahwa terdapat 6,94 juta Ha lahan yang bersengketa karena ekspansi bisnis sejak tahun 70-an. Sementara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), menyatakan sekitar 6,942 juta Ha yang bersengketa agraria, dengan rincian 50 % karena sektor perkebunan.

Mengerikan! KPA mencatat untuk 2015 saja terdapat 252 konflik, yang mengakibatkan 5 orang tewas, 39 warga ditembak aparat, 124 luka, dan 278 orang ditahan. Meski konflik yang masif, namun keserakahan rupiah membuat ekspansi sawit semakin luas.

Sawit Meregut Nyawa

Saat lonceng emas sawit berbunyi, bahkan nilai kemanusiaan pun akan diinjak. Mongabay Indonesia pada 2013 menulis tentang penggusuran paksa oleh PT Asiatic Persada Jambi kepada Suku Anak Dalam, 2.000 jiwa kehilangan hutan tempat tinggal.

Luar biasa saat korporasi sawit menjadi punggawa, mengusir penduduk hutan yang sudah berada di sana berabad-abad. KPA mencatat sedikitnya 11 orang Suku Anak Dalam yang tewas kelaparan selama ini, akibat tersesat karena diusir. Yup, sawit menghilangkan nyawa, bung!

Tak berbeda di Sungai Sodong, Mesuji, Ogan komering Ilir, Sumsel, pada 2011 lalu, 7 warga desa harus kehilangan nyawa karena konflik sawit dengan perkebunan Sumber Wangi Alam . Cukup maklum jika kemudian menjadi bibit dendam warga kepada perusahaan sawit.

Korban nyawa yang berjatuhan seakan tak miliki makna, terus berlanjut, pada April 2013, sengketa lahan PT Palma di Riau, menyebabkan 2 warga meninggal dunia.

Demikianlah bagaimana korporasi dengan pundi rupiah sawit menindas, mengadu domba, mengusir, dan membunuhi anak bangsa. Dengan segala ketamakan, kemudian suara-suara munafik menyebut, para penolak sawit adalah antek asing. Nyawa-nyawa yang melayang itu hanya dihargai sebagai antek asing oleh para penindas.

Kokang Senjata Aroma Sawit

Jika korporasi sawit sudah bertitah, maka deru peluru menjadi hal lumrah dalam konflik dan penolakan sawit. Entah seragam coklat ataupun hijau, keduanya intens dalam menjaga kepentingan persawitan.

Terkadang cukup bingung, apakah rakyat pemilik aparatur atau kebalikannya aparat yang memiliki rakyat. Keberpihakan pada korporasi terasa begitu kental, sebagai contohnya, Markas Brimob di kabupaten Sambas, Kalbar, berdiri tegak ditengah luasnya rimbun kebun sawit.

Pernah melihat keberadaannya, saat itu kebetulan seorang Menteri sedang berkunjung ke perbatasan kabupaten Sambas dengan tetangga Malaysia, perjalanan menuju batas sempat dihiasi bangunan markas Brimob di tengah perkebunan sawit.

Lucu, kebun sawit merupakan aset strategis dibanding pusat pemerintahan, gedung bupati. Bayangkan saja bagaimana perasaan warga kampung sekitar yang sebagian rumah beratap daun, tunduk pada intimidasi psikologis tersebut.

Maklumlah, markas tersebut dibangun dengan kemurahan hati pengusaha sawit. Kapolda Kalbar saat itu Erwin TPL Tobing tegas menyanggah bahwa keberadaan Markas Brimob di tengah rimbun sawit terkait kepentingan perusahaan dan pemilik perkebunan sawit.

Kekonyolan Sistematis

Tahukah anda di Kalimantan Barat memiliki lahan sawit seluas 1,3 juta Ha? Dari luasan itu menghasilkan sekitar 1,17 juta ton CPO, setidaknya itulah data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).

Kemudian tahukah anda? jika data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalbar tidak terdapat sawit atau CPO sebagai komoditas ekspor Kalbar. Inilah yang disebut kekonyolan sistematis, saat memiliki 1,3 juta Ha lahan sawit namun tidak termasuk komoditas ekspor.

Ini jelas merugikan Kalbar, alasannya karena Kalbar tidak memiliki pelabuhan kelas samudera yang menangani ekspor komoditas, akhirnya dikirim ke provinsi lain yang memiliki pelabuhan tersebut. Otomatis pajak ekspornya tak dapat dinikmati Kalbar.

Ketua Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI) Kalbar, Ilham Sanusi, pernah menjelaskan bahwa Kalimantan Barat kehilangan setidaknya Rp 300 miliar dari pendapatan ekspor komoditas sawit. Kerugian sebenarnya jauh lebih besar, karena pajak ekspor CPO sebesar $ 50/ ton, apa lagi dengan kurs Dolar saat ini.

Dengan asumsi Ilham, pajak ekspor CPO sebesar Rp 300 / Kg CPO, maka 1 juta ton saja kalbar telah kehilangan pendapatan sebesar Rp 300 miliar. Benar-benar dalam kondisi konyol, sudahlah konflik sawit yang tak pernah berhenti, kenyataannya secara sistematis posisi Kalbar sangat dirugikan, itu berlaku sama dengan belasan provinsi sentra sawit lainnya.

Pelabuhan Indonesia yang memiliki wewenang ekspor ada sekitar lima, yang utama tentunya Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, yang menangani 70 % bongkar muat secara nasional.

Luar biasa dari sekitar 18 provinsi sentra sawit, 70 % ekspor CPO melalui Jakarta, itu logikanya. Produksi CPO nasional pada 2015 adalah 30,8 juta ton, dengan pajak $ 50/ ton atau sekitar Rp 650.000/ ton.

Tanpa sejengkalpun kebun sawit, melalui hitungan fariabel di atas, Jakarta memperoleh sekitar Rp 14,014 triliun dari pajak ekspor sawit pada 2015. Perasaan tak enak, seakan jadi sapi perahan pusat. Itu baru CPO belum produk turunan sawit lainnya. Benar-benar konyol.

Kesimpulan, sawit merusak lingkungan, hancurkan ekologi, membuat tanah kering, monokultur, akibatkan pembabatan hutan, konflik sosial, sengketa tanah, berikan kabut asap, meregut nyawa masyarakat, dan kekonyolan menjadikan daerah sebagai perahan pusat, yang pasti daftar kekonyolan sawit belum habis, hanya begitu lelah untuk dilanjutkan. Pembaca budiman bisa menelaah sendiri.

(By. Dasa Novi Gultom)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun