(By. Dasa Novi Gultom)
Memang sepantasnya kita mendukung segala usaha untuk melindungi keberlangsungan lingkungan hidup, menjaga agar tak tercemar yang kemudian rusak, dan akhirnya merugikan umat manusia.
Namun dalam memutuskan satu kebijakan terkait lingkungan hidup, seharusnya pemerintah cerdas dan bijak, bukannya hanya mengikuti trend topik semata. Akhirnya terbitlah aturan yang jelas konyol bin menggelikan.
Kementrian Lingkungan Hidup membuat aturan bahwa konsumen akan didenda Rp 200 - Rp 500 setiap penggunaan satu kantong plastik, karena plastik dianggap bahan utama yang mencemari lingkungan hidup. Nyengir sendiri memikirkan aturan ini.
Sebaiknya kita gunakan logika sederhana, seandainya pabrikan/ produsen kantong plastik mencetak 1 juta ton kantong plastik tahun ini, maka digunakan atau tidak, hasil produksi tersebut sudah menjadi beban limbah untuk lingkungan.
Jadi jelas, karena sumber masalahnya si kantong plastik sudah terbentuk, telah berwujud, menjadi suatu bentuk yang konkrit. Bukan karena penggunaan oleh konsumen, namun karena secara riil, jumlah limbah tersebut sudah diproduksi.
Menjadi sumir kemudian konsumen menjadi pihak yang salah, dianggap melakukan pelanggaran, kemudian dikenakan denda. Besaran denda sendiri mungkin tak seberapa, namun esensi bahwa negara menyalahkan konsumen bukannya produsen dalam masalah limbah kantong plastik.
Posisi konsumen adalah pihak yang memilih, sementara pabrikan dan tempat perbelanjaan adalah pihak yang menyediakan pilihan. Negara sendiri tidak keberatan pada pihak yang memberikan pilihan yang salah kepada konsumen.
Kontradiktif memang, pembuatan kantong plastik adalah legal, dikenakan pajak, perusahaannya dilindungi undang-undang, namun ketika hasil produksi tersebut digunakan oleh konsumen sesuai peruntukan, kemudian menjadi 'ilegal', bentuk dari pelanggaran. Konsep yang aneh.
Aturan denda Rp 500 bagi penggunaan kantong plastik oleh konsumen, merupakan wujud pembebanan kesalahan oleh negara kepada warga negara/ konsumen. Padahal sangat jelas faktor utama atau pihak yang paling bertanggungjawab adalah pabrikan/ produsen kantong plastik serta tempat perbelanjaan yang memberikan pilihan kantong plastik.
Mungkin pantas kita menggunakan analogi lain, yakni rokok. Produksi rokok tidak ilegal, menjualnya tidak ilegal, mengkonsumsi rokok juga tidak ilegal. Namun dalam kondisi tertentu dapat menjadi tindakan pelanggaran, seperti menjual rokok tanpa pita pajak, penjualan pada anak bawah umur, ataupun pelanggaran karena merokok ditempat umum yang ditetapkan sebagai areal bebas rokok.
Di sini jelas konteks pelanggarannya, misalnya merokok ditempat yang dilarang merokok, karena dapat mengganggu kesehatan orang lain. Namun untuk penggunaan kantong plastik sesuai peruntukannya oleh konsumen di mana konteks pelanggaran lingkungan?
Bila denda terkait karena warga membuang kantong plastik tidak pada tempat disediakan, kemudian didenda oleh negara, itu jelas konteksnya. Karena membuang kantong plastik pada lingkungan sekitar akan menjadi pencemaran.
Konteks penerapan menjadi keutamaan. Apakah didenda membeli kendaraan bermotor karena dapat mengakibatkan orang kehilangan nyawa dalam kecelakaan lalulinta? Ya tidak, karena konteks pelanggaran jelas, lalai berkendaralah yang menyebabkan kecelakaan.
Disinilah sebenarnya kita dapat melihat betapa pemerintah mengambil jalan pintas untuk melepaskan tanggungjawab negara atas penggunaan kantong plastik. Jika denda terkait warga membuang kantong plastik, maka konsekuensinya negara harus menyediakan tempat pembuangan khusus plastik, pengolahan, perangkat, sistem, mekanisme, serta aparatur.
Hakul yakin negara belum siap menerima 'persampahan' sebagai problem prioritas pembangunan lingkungan nasional. Menempatkan warga dalam posisi terdakwa, sementara pengambil kebijakan sendiri cenderung masa bodoh. Bagaimana tidak, untuk ukuran ibukota saja, sampah bisa jadi bahan perang saudara antara Jakarta - Bekasi - Bandung.
Menurut studi badan dunia, sekitar 8 juta ton plastik dibuang ke lautan. Terdapat lima negara berkontribusi utama, China, Indonesia, Philipina, Thailand, dan Vietnam, yakni bertanggungjawab 80 persen atas jumlah sampah plastik tersebut.
Indonesia sendiri pada posisi dua setelah China, dengan produksi limbah plastik 3,2 juta ton pada 2010, dari jumlah tersebut sekitar 1,29 juta ton berkahir di laut. Sedangkan China menghasilkan 8,8 juta ton sampah plastik, sekitar 3,5 juta ton berakhir di laut.
Secara keseluruhan, tampak yang menjadi problem adalah ukuran jumlah produksi bahan plastik, serta prilaku penanganan limbah plastik yang keliru. Hukum sebab akibat, jika produksi plastik dibatasi, maka limbah plastik pasri berkurang. Begitu juga jika sanksi diberikan pada prilaku keliru penanganan limbah plastik, maka maka sampah plastik lebih terkontrol.
Kesimpulannya, bila pemerintah memang meniatkan menjaga lingkungan hidup melalui pengontrolan limbah plastik, maka kebijakan yang diambil harus bertitik berat pada sumber masalah, yakni produksi plastik dan prilaku keliru penanganan sampah plastik.
Janganlah pemerintah mensasarkan konsumen yang menggunakan kantong plastik sesuai peruntukan, namun produsen dan tempat perbelanjaan memiliki tanggungjawab yang jauh lebih besar, karena mereka yang menyediakan pilihan pada konsumen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H