[caption caption="ilustrasi obat_sumber_lighthouse-indonesia.com_"][/caption](By. Dasa Novi gultom)
Sebagian rakyat Indonesia, termasuk saya, menjadi momok saat berhubungan dengan obat maupun pengobatan. Gelisah, keringat, kerut kening bertambah, bukan karena sakit yang diderita namun lebih disebabkan ketakutan akan biaya pengobatan yang mahal.
Obat sebagai produk farmasi seakan jauh dari anggapan murah di benak masyarakat. Padahal obat dapat dikategorikan produk yang menyangkut hajat hidup orang banyak, bahkan secara harfiah, tanpa obat-obatan tertentu terdapat masyarakat yang dapat segera kehilangan hidupnya.
Jadi, kenapa obat mahal?
Karena produk farmasi di Indonesia dengan sengaja dikondisikan menjadi mahal. Bukan hanya untuk obat medis bahkan obat tradisional dengan kemasan manis ikut-ikutan buang muka dan menjual mahal.
Kondisi ini bukan tanpa sebab, namun tercipta, "By Design Price", secara sengaja didesain demikian.
(1)--- Faktor utama tentunya dari produsen farmasi tentunya. Meski harga produksi obat tak seberapa, namun mereka menerapkan marketing produk yang luarbiasa mahal. Obat mahal bukan karena nilai pembuatannya, namun karena cara jualnya.
Biaya promosi produk farmasi bisa mencapai 20 - 30 persen dari nilai pasar suatu obat. Mahal yang anda bayar untuk obat sebenarnya harga yang anda bayarkan untuk iklan obat di media massa.
Sebagai contoh, pabrik farmasi Indonesia yg kebetulan juga unggul dalam produksi jamu, melakukan promosi besar-besaran produknya dengan biaya mencapai Rp135,14 miliar. Ini merupakan 65,62 persen beban penjualan dan pemasaran produk mereka.
Meskipun demikian, perusahaan ini tetap memiliki untung cukup besar, laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk naik 3,67 persen dari posisi periode sama tahun sebelumnya menjadi Rp326,03 miliar. Bayangkan, besaran promosi produk lebih 40 persen dari keuntungan bersih.
Tentu saja perusahaan farmasi lain, menganut sistem yang tak jauh berbeda, padahal pada akhirnya konsumenlah yang membayar untuk semua biaya promosi tersebut.