Â
Mengejutkan memang, saat raksasa elektronik asal Jepang, Panasonic, memilih hengkang dari Indonesia. Meninggalkan sekitar 1.700 karyawan yang di PHK dari pabrik Panasonic di Bekasi dan Pasuruan.
sejatinya Panasonic sudah hadir di Indonesia sejak era 1990-an. Namun apa daya, sejak ekspansi ekonomi China membesar, daya saing perusahaan Jepang ini cukup turun.
Sebenarnya pasar Indonesia sangat menjanjikan, apa lagi dengan dibukanya batas-batas pasar pasca masuknya kesepakatan Masyarakat ekonomi Asean (MEA), total pangsa pasar menjadi lebih dari 600 juta konsumen.
Namun kenapa Panasonic memilih hengkang? Sangatlah tidak lazim korporasi multi nasional sekelas Panasonic untuk menutup produksinya, terutama di Asia, pasar terbesar dunia.
Umumnya, jika terjadi kemunduran keuntungan, perusahaan internasional seperti Panasonic, akan melakukan pengetatan anggaran dengan menggabungkan divisi produksi, atau memangkas sebagaian personil.
Menutup keselurahan produksi merupakan langkah besar, kehilangan investasi yang telah ditanam lebih 2 dekade. Apakah Panasonic merasa tak nyaman berinvestasi di Indonesia? Apakah masalah upah buruh? Mungkin ya, tapi itu bukanlah alasannya.
Dalam 10 tahun terakhir, Panasonic telah memantau tren pasar akan kebutuhan teknologi. Persaingan elektronik rumah tangga sangatlah ketat, merek Panasonic hanya terlihat remang-remang diantara banjirnya merek antah berantah di pusat perbelanjaan.
Jelas hengkangnya Panasonic merupakan bagian dari pengamanan masa depan perusahaan tersebut. Korporasi Jepang ini hanya mempertahankan sebagian saja dominasi elektronik rumah tangganya di pasaran.
Panasonic telah beralih, melirik, jatuh cinta pada Smart Technology, Smart Energy, dan apapun ilmu terapan yang didasari kecerdasan buatan. Panasonic harus mendahului para rivalnya untuk penguasaan bidang ini.
Yang terbaru, raksasa Panasonic menginvestasikan 1,6 miliar dolar pada pada Tesla Company, milik Elon Musk, yang bergerak dalam produksi mobil listrik cerdas.
Namun investasi besar itu bukan terkait mobil buatan Tesla, namun spesifiknya adalah untuk Gigafactory, pabrik penghasil satu bentuk batere ion lithium, yang menurut Panasonic adalah penyimpanan energi masa depan.
Kazuhiro Tsuga, President Panasonic, menyatakan bahwa jika penerapan batere tersebut dapat sempurna digunakan pada mobil listrik cerdas Tesla, maka itu akan menjadi sebuah revolusi dalam dunia perangkat elektronik.
Panasonic sangat serius untuk menguasai pasar energi dalam bentuk batere berkekuatan raksasa, ini simbiosis dengan divisi pengembangan Panasonic yang gencar melakukan riset mengenai photovoltaic cell, mengubah energi cahaya matahari menjadi energi yang tersimpan.
Tak hanya itu, pada Desember 2015 lalu, Panasonic mengumumkan pembangunan pabrik batere baru di Dalian China. Investasi senilai 428 juta dolar itu diharapkan dapat memulai produksi pada 2017, yang didekasikan untuk batere kendaraan listrik/ electronic vehicle (EV).
Paradigma bisnis Panasonic memang bergeser, semua peluang teknologi masa depan kini menjadi sasaran korporasi tersebut. Bahkan Panasonic melakukan langkah besar dengan masuk ke dunia teknologi agrikultur.
Ketidak stabilan suplai makanan masa depan, membuat Panasonic membangun portofolio teknologi pangan yang efesien. Siapapun yang dapat menguasai hal ini, menurut Panasonic, bearti menguasai masa depan.
Menurut data PBB, proyeksi pangan dunia pada 2050 adalah kebutuhan pangan akan naik 70 persen dari konsumsi saat ini.
Sistem baru Panasonic, telah menempatkan jaringan robot di ladang tomat buatan, yang bisa secara otonom memanen dengan penilaian warna kematangan secara akurat. Bahkan seluruh proses pemanenan dilakukan secara otomatis, termasuk tranport hasil panen.
Selain agrikultur, Panasonic juga merambah teknologi kesehatan, yang dapat dipastikan terkait teknologi masa depan.
Panasonic membeli bisnis perawatan diabetes milik Bayer, senilai 1 miliar dolar. Bisnis tersebut akan mandiri dari Bayer dengan nama Ascensia Diabetes Care (ADC). Dibawah Panasonic, usaha ini akan mengembangkan, berproduksi, dan memasarkan perangkat monitor sel glukosa darah, pada 125 negara.
Pimpinan divisi kesehatan Panasonic, Hidehito Kotani, menyatakan inovasi tersebut akan didasari dengan kualitas teknologi tinggi.
Jadi, tampak dari langkah-langkah bisnis yang diambil Panasonic, bahwa konsep mereka tentang penguasaan pasar teknologi sudah bergeser. Langkah tak jauh berbeda juga telah diambil raksasa elektronik lainnya seperti, LG, Samsung, Toshiba, dll.
Dari kenyataan tersebut, penutupan pabrik Panasonic di Indonesia merupakan dampak peralihan strategi bisnis teknologi. Memang pahit, apalagi bagi karyawan yang di PHK, namun pemerintah Indonesia harus cermat dan jeli, untuk memanfaatkan paradigma baru bisnis teknologi ini.
Bukan tidak mungkin, peralihan bisnis teknologi dunia, bahkan memberi peluang lebih besar bagi Indonesia untuk mendapat manfaatnya, secara penyerapan tenaga kerja, investasi dan transfer teknologi.
Teknologi cerdas bermanfaat bagi Indonesia, mobil listrik cerdas mengurangi konsumsi BBM dan ramah lingkungan, teknologi pangan memberi jaminan stabilitas, teknologi kesehatan merevolusi produktifitas.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H