(By. Dasa Novi Gultom)
Genting dan sengitnya keadaan dunia saat ini, terutama kawasan Timur Tengah dan Eropa Timur. Perang militer berdarah yg terus berkecamuk, membuat kawasan tersebut tidak stabil, dan berbahaya bagi negara2 di sekitarnya.
Sadar akan bahayanya situasi ini, setidaknya bagi eksistensi pengaruh geopolitik masing2, Amerika Serikat bersama sekutu utama arabnya, Saudi Arabia, menggaungkan perang ekonomi.
Apapun motivasi dua negara akrab ini, mudahan dapat menghentikan pembantaian berdarah yang terus terjadi di wilayah yg bergejolak.
Baik USA dan Saudi, sepertinya sudah sepakat untuk membuat harga minyak dunia turun ketitik minimum. Dengan harapan dapat menghancurkan perekonomian para rival mereka.
Titik kritis keputusan USA menjajal minyaknya ke pasar dunia adalah setelah Rusia dengan kekuatan militernya menganeksasi Crimea milik Ukraina, dan sebelumnya juga negara beruang merah itu telah menganeksasi wilayah Osetia milik Georgia.
Aksi Rusia cukup membuat Fakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang dikomandani USA cukup gelagapan, pencaplokan wilayah eropa tersebut tak dapat diterima. Namun, balasan militer terbuka terhadap Rusia tentu saja dapat mengakibatkan perang global.
Begitu pula Saudia Arabia, yang menyimpan kegeramannya pada Rusia dan China yang mendukung kekuatan lawannya, Iran. Meski demikian, Saudi tetap melakukan komunikasi dengan kedua kekuatan Veto di dewan keamanan PBB tersebut.
Bagi monarki Saudi, sebenarnya campur tangan Rusia dan China sangat kentara, memberikan pasokan senjata serta bantuan keuangan bagi Iran untuk memperkuat pasukan garda revolusi negeri para mullah.
Belum lagi, Rusia yg terang2an mengirimkan kekuatan militer membantu rejim Suriah. Kekuatan finansial Rusia dan china melalui Iran, disebarkan pada lawan Saudi, seperti Hezbulloh Libanon dan pasukan Al Houthi Yaman.
Dua kekuatan besar ini, dianggap Saudi, berperan membuat Timur Tengah tidak stabil seperti saat ini. Arab Saudi berusaha membendung dengan kekuatan militer, namun Al Saud melihat bahwa tindakan ini akan membuat perang sektarian yang lebih besar.
Opsi yang paling mungkin adalah perang sunyi yakni perang ekonomi, dan kampanye penurunan harga minyakpun dimulai.
Amerika Serikat membanjiri dunia dengan produksi energinya seperti minyak bumi, gas alam, dan lainnya. Padahal sejak 1975 USA mengeluar kebijakan tidak mengekspor energi, administrasi Obama mencabut larangan tersebut.
Alhasil, dunia kebanjiran minyak, hargapun turun, Amerika didaulat sebagai eksportir energi terbesar di dunia.
Banyak yang tak menyadari perang ekonomi tersebut, organisasi penghasil minyak dunia (OPEC) sangat kelimpungan. Namun yang membuat mereka terkejut adalah Saudi Arabia bersama Uni Emirat Arab dan Kwait tidak memotong kuota produksi untuk menggenjot harga minyak dunia.
Dampaknya pun segera dirasakan, Rusia mengalami krisis ekonomi, nilai mata uang Rubel jatuh sangat jauh dibandingkan Euro. Negara tersebut kehilangan sekitar 38 miliar dolar dari pendapatan energi akibat gelombang pertama perang ekonomi ini. Putin Dipaksa memotong anggaran belanja Rusia sekitar 10 persen.
Kajatuhan harga minyak sungguh dramatis, tidak sampai setahun komoditas ini nilainya telah turun lebih dari 50 persen. Ketika kejadian yg sama terjadi di era 1980-an, imperium Uni Soviet pun runtuh.
Mantan kepala perusahaan minyak BP, Nick Butler, menyatakan bahwa kejatuhan harga minyak dunia saat ini akan bertahan lebih lama jika dibanding era 1980-an.
Hal ini karena, lanjutnya, dalam dekade panjang harga minyak yg tinggi, hampir semua negara penghasil energi menginvestasikan keuntungannya untuk membangun ladang energi baru. Ini mengakibatkan produksi energi akan terus kontinyu dalam jumlah besar meskipun harga yg jatuh.
Pengamat lain, Leonardo Maugeri, mantan kepala perusahaan minya ENI Italia, bahkan dengan yakin menyatakan tidak ada yg dapat menghentikan fenomena terus jatuhnya harga minyak dunia.
Sebab utama terang Maugeri, karena negara kunci, Saudi Arabia, tidak berniat mengurangi produksi. Dia melanjutkan, keuangan Saudi akan sedikit berimbas, namun lawan2 Saudi akan berdampak jauh lebih buruk. Sekutu Arab USA mampu bertahan dalam kurun waktu beberapa tahun dalam harga energi yang anjlok karena kuatnya cadangan devisa luar negeri mereka.
Sementara untuk USA, Maugeri menyatakan bahwa tidak terlalu berdampak, karena Amerika menerapkan teknologi dan manajemen bisnis cerdas, untuk bermain dalam jatuhnya harga minyak dunia. Apa lagi pendapatan energi hanya berkontribusi sekitar 1 -2 persen dari pendapatan Amerika Serikat.
Keadaan minyak yg anjlok, juga disasarkan untuk mendongkrak ekonomi sekutu USA di Eropa, yg mayoritas adalah negara eksportir industri. Efeknya sangat cepat dan dramatis, bahkan Yunani yg gelagapanpun sudah bisa bangkit lagi.
Perang ekonomi yang digaungkan membuat Putin berpikir dua kali akan kebijakan luar negerinya. Popularitas Putin di Rusia selama ini didongkrak dari pendapatan energi, ia dengan mudah mengalokasikan subsidi. Saat ini semuanya berbeda.
Pertumbuhan Rusia diperkirakan akan berkurang 3,4 poin tahun ini, dampak harga minyak sangat berpengaruh karena hampir 50 persen pendapatan Rusia berasal dari energi. Laksana hantaman topan, pendapatan raksasa gas Rusia, Gapron, kehilangan 30 persen pendapatan mereka.
Manuver USA terus berlanjut, beberapa analis menilai, ditembak jatuhnya pesawat tempur Rusia oleh Turki yg memasuki wilayah udara Turki, setidaknya dalam batasan tertentu mendapat restu NATO.
Insiden ini mengakibatkan hubungan Ankara dan Moscow memburuk, tak hanya perang komentar antara pemimpin keduanya, pemutusan hubungan dagangpun terjadi. Namun hal ini mengakibatkan kerugian dipihak Rusia yg alami inflasi tinggi, karena sebagian besar kebutuhan domestik didatangkan melalui Turki.
Lebih luar biasa lagi, dialog Barat - Iran, atas ambisi nuklir negeri mullah tersebut, yang alot hampir satu dekade, tiba2 mencair. Lembaga Atom Internasional IAEA, mengeluarkan laporan bahwa Iran telah memenuhi kesepakatan yg dimintakan.
USA dan Uni Eropa segera saja mencabut embargo ekonomi atas Iran. Kebijakan ini sedikit menguntungkan Iran, yg secara otomatis dapat menggunakan 30 miliar dolar aset yang dibekukan, dari total sekitar 100 milar dolar yg dibekukan. Dengan sisa aset yg segera aktif.
Namun tujuan utama perubahan kebijakan ini adalah agar Iran dapat kembali membajiri pasar dunia dengan hasil energi mereka. Iran sendiri telah menyatakan siap untuk menjajal sekitar 38 juta barel minyak mentah ke pasar global.
Segera aktifnya suplai energi Iran, menurut analisis IMF, akan akibatkan harga minyak dunia dapat turun mencapai 5 - 15 dolar per barel pada 2016, saat ini minyak dunia terus turun dan sedang berada dalam kisaran 30 dolar per barel. Sangat jauh dibanding puncak kejayaan komoditi minyak yg pernah menyentuh 150 dolar per barel pada 2008 silam.
Kenyataan ini membuat Rusia dan China cukup panik, keduanya berusaha mengantisipasi segala skenario ekonomi yg mungkin terjadi, jika minyak terus turun. Sadar atau tidak, sampai awal 2016, baik Rusia maupun China belum mengeluarkan kebijakan untuk keluar dari perang ekonomi tersebut.
Begitu pula China dominasi ekonominya mulai digugat. Mengapa China dirugikan? bukankah, sebagai konsumen minyak seharusnya diuntungkan dengan anjloknya harga energi dunia.
Semua sulit diantisipasi China, sebagian besar hasil lonjakan ekonomi China diinvestasikan untuk pembangunan ladang energi di hampir seluruh Afrika, beberapa negara arab,perairan internasional (Laut China Selatan termasuk dalam peta energi China) dan lainnya. Tentu saja nilai serta hasil investasi energi China juga ikut turun.
Belum lagi, dengan turunnya nilai minyak dunia, maka sekutu USA yg dominan dalam ekspor industri, mampu bersaing harga produksi industri dengan China.
Sekutu terdekat USA yg berada di serambi China, yakni Jepang, langsung saja menguat. Dengan memanfaatkan anjloknya harga energi dan nilai tukar Yen yg rendah (Abenomic), ekspor Jepang tak terbendung, bahkan mencetak sejarah.
Ini tidak berbeda dengan sekutu Paman Sam, Korea Selatan. Negara ginseng ini mendapat keuntungan besar dari rendahnya nilai energi dunia. Hasil industri korea bertaburan seantero dunia, mengimbangi Jepang.
China harus terpuruk, pertumbuhan ekonominya saat ini terburuk dalam 25 tahun terakhir, setelah kehancuran pasca gagalnya reformasi Tian Nan Men 1990 lalu, yg berujung pada embargo barat.
Seperti pedang yg tajam di dua sisi, perang ekonomi membuat terpuruknya ekonomi China, semakin memperparah kejatuhan harga minyak.
Dengan perlambatan ekonomi yang dramatis, permintaan kebutuhan minyak Tiongkok akan turun, ini membuat harga minyak semakin tertekan. Asal tahu saja, sejak 2013 China merupakan negara dengan kebutuhan energi terbesar di dunia melampaui USA.
Perang ekonomi ini, tentunya membuat negara penghasil energi yg belum mapan, apalagi berafiliasi kuat dengan Rusia dan China, seperti Venezuela dan beberapa negara amerika Selatan, saat ini juga diterpa topan perekonomian.
Venezuela diambang kebangkrutan, pendapatan hasil minyak mentahnya tidak mampu lagi digunakan untuk membayar utang luar negeri. Minyak merupakan 96 persen pendapatan ekspor Venezuela, namun tidak dapat lagi diandalkan. Presiden Nicolas Maduro akhirnya mengeluarkan dekrit negaranya darurat ekonomi.
Tampaknya duet USA - Saudi dalam menggaungkan perang ekonomi melalui kejatuhan harga minyak, masih jauh dari akhir, dan bahkan baru tahap permulaan. Yang pasti manuver terus dilakukan keduanya untuk mempertahankan dominasi geopolitik.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H