Mohon tunggu...
Leo Gunawan
Leo Gunawan Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Man Jadda wa Jada

Selanjutnya

Tutup

Politik

No Free Lunch: Gimmick Politik agar Akar Rumput lebih Kondusif

31 Oktober 2023   08:54 Diperbarui: 31 Oktober 2023   09:07 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: Instagram/Jokowi)

Bagaimana dengan makan siang di Istana? Tentu saja sangat positif. Bagus. menunjukkan sebuah jamuan Presiden Jokowi dengan para capres untuk menunjukkan parade politik "netral" karena bisa mendinginkan suasana politik yang kian memanas. Harapannya, para pendukung di akar rumput di bawah ikut terpercik segarnya es jeruk atau menu makan siang tersebut. Tidak gontok-gontokan. Tidak saling serang. Damai. Tentram. 

Namun, politik Indonesia seringkali lebih banyak mempertontonkan perbedaan realita di panggung depan dan panggung belakang. Di depan mempertontonkan keceriaan, di belakang justru saling sikut

Walaupun banyak pengamat politik makan siang bareng kali ini hanya gimmick politik saja dan bukan menjelaskan bahwa para capres ini netral. Padahal Jokowi sebelumnya membahas netralitas pemerintah di Pilpres 2024 ketika bertemu dengan Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Jokowi menjumpai ketiganya saat santap siang di Istana Negara, Jakarta Pusat.

 “Tidak ada makan siang yang gratis” (No free lunch)

Pemenang Nobel Milton Friedman suka mengatakan, “Tidak ada yang namanya makan siang gratis.” merupakan ungkapan menggambarkan bahwa hal-hal yang tampak gratis selalu memiliki biaya yang harus dibayar oleh seseorang atau bahwa tidak ada sesuatu pun dalam hidup yang benar-benar gratis.

Awal ungkapan “No free lunch” rupanya telah ada tahun 1800-an. Menurut laporan New York Times pada 1872, untuk menarik pelanggan, banyak bar di Crescent City (New Orleans), Amerika Serikat menawarkan makan siang gratis.

Tetapi jika ingin minum, mereka harus bayar. Pemilik bar sengaja menawarkan makan siang gratis, di mana biaya makanan tersebut ditanggung dari pembelian minuman. Jadi Meskipun berkedok gratis, sebenarnya pelanggan tetap membayar makanan yang dimakannya.

Lalu, bagaimana jika pelanggan tidak membeli minum? pemilik bar sengaja membuat makanannya tinggi garam, sehingga mau tak mau pelanggan harus membeli minum. Bahkan membeli minum tambahan. Jadi meskipun makanannya digratiskan kala itu, tetapi tetap “Tidak ada makan siang yang gratis”.

Di bidang ekonomi, ungkapan “Tidak ada makan siang yang gratis” menjelaskan konsep biaya peluang. Artinya, untuk setiap pilihan yang dibuat, ada alternatif yang tidak dipilih yang juga akan memberikan beberapa manfaat.

Misalnya, produk dan layanan yang diberikan secara gratis kepada pelanggan tertentu, sebenarnya biayanya ditanggung oleh orang lain. Gampangnya, suatu perusahaan memberikan diskon kepada suatu produk, tetapi di produk lain menaikkan harga produk tersebut sehingga kelihatan satu produk murah sementara produk pelengkapnya menjadi mahal.

(Sumber : google)
(Sumber : google)

Tapi, seiring berkembangnya zaman, ungkapan “Tidak ada makan siang yang gratis” kemudian memiliki makna dalam konteks yang berbeda. Dewasa ini, istilah “Tidak ada makan siang yang gratis” digunakan untuk menggambarkan melakukan sesuatu dengan maksud tertentu. Seperti ada udang di balik batu

Misalnya, kolega Anda mentraktir makan siang atau memberikan sesuatu. Anda dapat makan atau sesuatu gratis tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Tapi, benarkah Anda mendapatkan hal yang benar-benar gratis? Anda memang tidak terbebani dalam bentuk uang, tetapi justru beban moral.

Anda tidak mungkin menolak permintaan bantuan kolega di kemudian hari, yang telah mentraktir makan siang. Artinya, saat Anda berkenan ditraktir, Anda sudah tahu kolega Anda berpeluang mendapatkan bantuan Anda di lain waktu. Karena “Tidak ada makan siang yang gratis”.

Bagi Rakyat Harga Murah dan Stabil itu saja sudah membahagiakan

Kembali ke makan siang para capres melihat cara salaman, nama capres mana yang disebut lebih dulu, foto mana yang dipublish, gestur serta posisi kamera lebih mengarah kemana, juga ditafsir secara menarik.

Karena itu, makan siang di Istana yang positif itu, perlu ditularkan ke akar rumput secara konkret. Supaya, level atas dan bawah bisa sejalan.

Dalam keseharian, rakyat juga perlu ikut merasakan nikmatnya menu-menu lezat tersebut. Tidak sekadar menonton atau membahas.

Apalagi, karena terlalu semangat membahas menu di Istana, rakyat sampai terlibat perdebatan sengit. Jangan sampai, ketika para elite politik menikmati makan siang dengan riang gembira, rakyat di bawah justru pusing dengan harga sembako yang tidak terkendali.

Bagi rakyat, kalau ada yang gratis, itu sudah lebih dari cukup. Tapi, dengan harga-harga yang murah saja, itu sudah sangat membahagiakan. Siapa pun Presidennya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun