Tapi, seiring berkembangnya zaman, ungkapan “Tidak ada makan siang yang gratis” kemudian memiliki makna dalam konteks yang berbeda. Dewasa ini, istilah “Tidak ada makan siang yang gratis” digunakan untuk menggambarkan melakukan sesuatu dengan maksud tertentu. Seperti ada udang di balik batu
Misalnya, kolega Anda mentraktir makan siang atau memberikan sesuatu. Anda dapat makan atau sesuatu gratis tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Tapi, benarkah Anda mendapatkan hal yang benar-benar gratis? Anda memang tidak terbebani dalam bentuk uang, tetapi justru beban moral.
Anda tidak mungkin menolak permintaan bantuan kolega di kemudian hari, yang telah mentraktir makan siang. Artinya, saat Anda berkenan ditraktir, Anda sudah tahu kolega Anda berpeluang mendapatkan bantuan Anda di lain waktu. Karena “Tidak ada makan siang yang gratis”.
Bagi Rakyat Harga Murah dan Stabil itu saja sudah membahagiakan
Kembali ke makan siang para capres melihat cara salaman, nama capres mana yang disebut lebih dulu, foto mana yang dipublish, gestur serta posisi kamera lebih mengarah kemana, juga ditafsir secara menarik.
Karena itu, makan siang di Istana yang positif itu, perlu ditularkan ke akar rumput secara konkret. Supaya, level atas dan bawah bisa sejalan.
Dalam keseharian, rakyat juga perlu ikut merasakan nikmatnya menu-menu lezat tersebut. Tidak sekadar menonton atau membahas.
Apalagi, karena terlalu semangat membahas menu di Istana, rakyat sampai terlibat perdebatan sengit. Jangan sampai, ketika para elite politik menikmati makan siang dengan riang gembira, rakyat di bawah justru pusing dengan harga sembako yang tidak terkendali.
Bagi rakyat, kalau ada yang gratis, itu sudah lebih dari cukup. Tapi, dengan harga-harga yang murah saja, itu sudah sangat membahagiakan. Siapa pun Presidennya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H