"Aku tahu rasa yang kumiliki ini salah karena aku harus menyakiti seseorang, tapi semua tidak bisa dikendalikan, ini tentang perasaan bukan tentang hal lain yang bisa dipikirkan dengan logika. Aku tidak ingin menyakitinya, tetapi semua rasanya tidak mungkin jika perasaanku padanya sudah tidak seperti dulu," lanjut Andre menatapku iba.
       Tatapan kasihan dari sorot matanya begitu jelas ditunjukan padaku. Aku sudah bisa menebak jika orang yang dia maksud adalah aku. Aku bisa terima jika memang perasaannya padaku sudah berkurang tapi kenapa ada Irene yang berstatus sahabatku berada di obrolan kami.
       "Aku mengerti," jawabku lirih. Menahan segala kesakitan dalam hatiku atas ucapannya.
       Andre menggeleng pelan, "Kamu tidak akan mengerti," ucapnya.
       Aku menautkan kedua alisku. Sungguh aku tidak mengerti ucapannya saat itu. Irene masih terdiam tidak berkata apapun. Kediaman Irene membuatku semakin bingung. Ada apa dengan mereka? batinku saat itu.
       "Maaf jika aku dan Irene saling menyimpan rasa, dan menjalin hubungan lebih dari teman dibelakangmu selama dua bulan ini," jelas Andre dengan senyum samar. Tatapan penuh kasihan.
       Seluruh hatiku luruh detik itu juga. Tubuhku mendadak lemas. Napasku tercekat begitu sesak. Aku tidak tahu seperti apa mereka melihatku saat itu. Melihat tatapan mereka padaku saat itu mengisyaratkan betapa menyedihkannya kondisiku. Lidahku kelu tidak mampu menjawab ucapannya saat itu. Aku masih mencerna setiap kata yang Andre ucapkan. Andre pria yang mampu menembus benteng pertahananku, pria posesif yang menyita seluruh waktuku hanya untuk berinteraksi dengannya.
       Mereka begitu tega mengatakan semua hal yang begitu teramat menyakitiku. Aku tidak ingin mengetahui fakta bahwa mereka sengaja saling menggoda sejak lama. Seorang pria yang begitu kucintai dan sahabat yang sudah kuanggap saudari tega mengkhianatiku seperti ini. Aku hancur saat itu. Aku sendiri lagi didunia ini setelah kehilangan kedua orang tuaku akibat kecelakan belasan tahun lalu. Sekarang aku harus menerima sebuah pengkhianatan. Nasib buruk selalu berpihak padaku.
       "Sayang kok melamun?" suara yang begitu kukenal menyadarkanku dari masa lalu.
       Aku menoleh, "Ah, hanya mengingat masa lalu," jawabku, "kamu sudah pulang?" tanyaku.
       Dia mengangguk. Berjalan kearahku dengan senyum berbinar. Steven. Dia adalah pria yang mengantarkanku pada dunia baru yang begitu berwarna. Sekali lagi aku diselamatkan oleh seseorang. Sekali lagi, dengannya aku seperti mendapatkan kembali perasaanku yang telah mati. Aku bersyukur bertemu dengan Steven saat itu.