Mohon tunggu...
Leny Anila
Leny Anila Mohon Tunggu... Penulis - Introvert

Menjadi seorang content writer adalah mimpi dan tujuan saya saat ini. Tulisan saya belum bisa dikategorikan bagus, tetapi semoga informasi yang saya berikan bisa menjadi sangat berguna bagi pembaca. Saya seorang INTP setelah mengikuti survei 16 kepribadian dari MBTi. Selamat datang dalam dunia saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

My Love Story

10 Februari 2021   17:13 Diperbarui: 10 Februari 2021   17:28 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat kamu sedang menjalin hubungan dengan seseorang yang biasa disebut kekasih. Kamu akan dipaksa menaruh rasa padanya seorang. Perasaanmu seolah hanya terfokus pada satu orang saja. Tidak boleh menyukai atau mengagumi siapapun. Egois.

             Aku adalah Anastasya Melodi dan nama panggilanku Acha atau Tasya. Orang terdekat sering sekali memanggilku Acha. Katanya lebih mudah dan lucu gitu.  Ini adalah kisah dari perjalananku menjalin hubungan dengan seorang pria seangkatan di dunia perkuliahan. Lebih tepatnya ini hubungan yang menguras seluruh energiku, tapi membuat hatiku semakin jatuh padanya. Hubungan yang masih baik-baik saja sebelum ada 'dia' diantara kita.

             Aku masih ingat dan tidak mungkin hal semenyakitkan itu bisa dengan mudah kulupakan. Setahun lalu, hari dimana semua hal tentangnya menjadi sangat menyakitkan. Perjalanan panjang kami harus berakhir karena ada benang merah diantara kami. Hadirnya orang ketiga merampas segala yang kupunya dan cinta yang selama ini hanya untukku. Aku memaklumi akan keegoisannya, segala hal harus berkaitan dengannya. Melarangku melakukan hal-hal yang membuat kami jarang berkomunikasi. Selalu mengantarku kemanapun aku pergi. Posesif.

             Jika waktu itu aku tidak terlena akan semua keposesifannya, mungkin luka yang menancap tidak akan sedalam ini. Di balik sifat egois dan posesif yang ia tunjukkan ada rahasia yang sengaja disembunyikan dariku. Bodoh adalah satu kata yang tepat menggambarkan diriku saat itu. Terlalu dibutakan oleh harap padanya yang terlalu berlebih hingga aku merasakan luka teramat begitu dalam. Aku mencintainya dan berakhir dengan perih yang begitu menyakitkan. Berhenti menjalin komitmen dengan seseorang, anggap saja aku tengah trauma. Kejadian satu tahun lalu mengantarkanku pada gerbang kematian perasaan.

             "Kamu kenapa jadi pendiem sih, Ndre?" tanyaku pada Andre saat itu.

             Seperti biasa aku dan Andre duduk saling berhadapan di kafe langganan dekat kostku. Andre memesan robusta coffee kesukaannya dan seperti biasa aku memesan juice. Ada beberapa makanan ringan sebagai camilan diatas meja. Oh, kami memang jarang sekali duduk bersandingan selain makan. Mengobrol lebih enak menatap lawan bicara bukan?

             Malam itu saat duniaku runtuh kami sempat bertemu seperti rutinitas di malam minggu. Suasana yang tidak cukup ramai membuat kami lebih merasa nyaman untuk mengobrol, biasanya. Anehnya hari ini saat kami bertemu, aku merasa ada yang berbeda dengannya. Andre lebih fokus pada ponselnya dan terkadang tersenyum tipis. Aku sangat penasaran dengan sikapnya, karena sudah lebih dari 15 menit kami hanya duduk berhadapan tanpa berbicara. Aku merasa ada yang salah.

             "Andre sayang. Diem mulu ih," rengekku padanya.

             Andre mengangkat kepalanya menatapku. Meletakkan ponsel di meja. Menyesap pelan kopinya. "Irene akan kemari," ucapnya. Meletekkan gelasnya kembali dengan begitu santai.

             Irene adalah sahabatku. Kami sangat dekat karena selain satu jurusan, kamar kostku bersebelahan dengannya. Hari ini aneh rasanya jika pacarmu mengatakan jika sahabatmu akan datang padahal dia tidak mengatakan apapun atau mengirim pesan akan datang.

             "Irene?" tanyaku, "dia menghubungimu?"

             Sebelum berangkat aku sempat berpapasan dengan Irene, tapi ia tidak mengatakan apapun saat kami bertemu. Dia hanya tersenyum ramah dan berlalu menuju kamar mandi kost. Hatiku semakin resah dibuatnya.

             Andre kembali berkutat dengan ponsel miliknya. Senyum itu kembali terbit di sudut bibirnya. Aku benci senyum Andre seperti itu, dia seperti seorang pria yang tengah jatuh cinta.

             "Lagi chatan sama siapa sih? Kayaknya asyik sampai tersenyum sendiri," godaku saat itu.

             "Chatan dengan Irene," jawabnya enteng tanpa melihatku.

             Detak jantungku seolah berhenti saat itu. Ada rasa nyeri tepat di hatiku. Berbagai pernyataan terbesit sesudahnya. Begitu mudah kalimat menyakitkan keluar dari mulut itu. Tidakkah berpikir aku akan tersakiti? Tidakkah merasa bersalah setelah menjawab itu?

             "Bagaimana bisa ka...." ucapanku terpotong oleh suara yang begitu kukenal.

             "Hay Andre, Acha," sapa Irene begitu ramah.

             Wanita yang kusebut sahabat waktu itu langsung mengambil tempat duduk disebelah Andre. Hatiku semakin sakit melihat mereka saling bertukar senyum ramah. Lebih tepatnya senyum seseorang yang sedang jatuh cinta. Mereka menatapku dengan senyum kikuk. Paling aneh adalah Irene, ia tidak biasanya bersikap canggung seperti ini. Rasanya seperti ada rahasia yang akan mereka ungkapkan malam itu. Detak jantungku memompa dua kali lebih cepat. Aku paling takut menghadapi situasi macam ini. Di tatap dengan senyum penuh arti.

             "Maafin aku, Cha," ucap Andre dengan senyum tipis. Irene masih terdiam seolah memberikan celah Andre untuk menjelaskan.

             "Maaf untuk apa, Ndre?" tanyaku bingung. Jangan mengatakan hal-hal yang membuatku hancur batinku saat itu.

             "Kita bisa memilih menjalin komitmen dengan siapapun, tapi kita tidak bisa memilih dengan siapa akan jatuh cinta dan menyimpan rasa," Andre menjeda ucapannya.

             "Aku tahu rasa yang kumiliki ini salah karena aku harus menyakiti seseorang, tapi semua tidak bisa dikendalikan, ini tentang perasaan bukan tentang hal lain yang bisa dipikirkan dengan logika. Aku tidak ingin menyakitinya, tetapi semua rasanya tidak mungkin jika perasaanku padanya sudah tidak seperti dulu," lanjut Andre menatapku iba.

             Tatapan kasihan dari sorot matanya begitu jelas ditunjukan padaku. Aku sudah bisa menebak jika orang yang dia maksud adalah aku. Aku bisa terima jika memang perasaannya padaku sudah berkurang tapi kenapa ada Irene yang berstatus sahabatku berada di obrolan kami.

             "Aku mengerti," jawabku lirih. Menahan segala kesakitan dalam hatiku atas ucapannya.

             Andre menggeleng pelan, "Kamu tidak akan mengerti," ucapnya.

             Aku menautkan kedua alisku. Sungguh aku tidak mengerti ucapannya saat itu. Irene masih terdiam tidak berkata apapun. Kediaman Irene membuatku semakin bingung. Ada apa dengan mereka? batinku saat itu.

             "Maaf jika aku dan Irene saling menyimpan rasa, dan menjalin hubungan lebih dari teman dibelakangmu selama dua bulan ini," jelas Andre dengan senyum samar. Tatapan penuh kasihan.

             Seluruh hatiku luruh detik itu juga. Tubuhku mendadak lemas. Napasku tercekat begitu sesak. Aku tidak tahu seperti apa mereka melihatku saat itu. Melihat tatapan mereka padaku saat itu mengisyaratkan betapa menyedihkannya kondisiku. Lidahku kelu tidak mampu menjawab ucapannya saat itu. Aku masih mencerna setiap kata yang Andre ucapkan. Andre pria yang mampu menembus benteng pertahananku, pria posesif yang menyita seluruh waktuku hanya untuk berinteraksi dengannya.

             Mereka begitu tega mengatakan semua hal yang begitu teramat menyakitiku. Aku tidak ingin mengetahui fakta bahwa mereka sengaja saling menggoda sejak lama. Seorang pria yang begitu kucintai dan sahabat yang sudah kuanggap saudari tega mengkhianatiku seperti ini. Aku hancur saat itu. Aku sendiri lagi didunia ini setelah kehilangan kedua orang tuaku akibat kecelakan belasan tahun lalu. Sekarang aku harus menerima sebuah pengkhianatan. Nasib buruk selalu berpihak padaku.

             "Sayang kok melamun?" suara yang begitu kukenal menyadarkanku dari masa lalu.

             Aku menoleh, "Ah, hanya mengingat masa lalu," jawabku, "kamu sudah pulang?" tanyaku.

             Dia mengangguk. Berjalan kearahku dengan senyum berbinar. Steven. Dia adalah pria yang mengantarkanku pada dunia baru yang begitu berwarna. Sekali lagi aku diselamatkan oleh seseorang. Sekali lagi, dengannya aku seperti mendapatkan kembali perasaanku yang telah mati. Aku bersyukur bertemu dengan Steven saat itu.

             Aku mungkin pernah hancur. Begitu hancur hingga merasa tidak pantas untuk hidup. Hadirnya Irene diantara hubunganku dengan Andre saat itu adalah sebuah petunjuk, kupikir. Petunjuk bahwa Andre bukanlah seorang yang pantas kuperjuangkan. Aku tidak lagi membenci mereka. Karena berkat mereka aku menemukan kebahagian lain yang lebih aku syukuri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun