Mohon tunggu...
Leny Damayanti
Leny Damayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IAIN Langsa Prodi PMA Fakultas FTIK

Leny_damayanti24

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kampung Bali di Tanah Melayu

29 Maret 2021   19:55 Diperbarui: 4 April 2021   14:53 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gapura Rumah Warga Kampung Bali / brilio.net

"Emang ada ya Kampung Bali di Tanah Melayu ? ".

" Kok bisa sih ada Kampung Bali disana ?".

Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, baik itu dari segi adatnya, bangunan serta sejarahnya. Salah satunya di Sumatera Utara, yang terdapat banyak kekayaan alam dan budaya yang bisa ditemukan di salah satu provinsi di Pulau Sumatera Utara.

Ledakan Gunung Agung pada Februari 1963 silam adalah awal mula bagaimana Suku Bali bisa mendiami Tanah Melayu yakni di dataran Sumatera Utara.

Berawal dari bencana alam itulah yang kemudian membuat dampak yang sangat besar bagi masyarakat Bali. Tanah pertanian saat itu menjadi tandus, berbagai aspek perekonomian pun menjadi terdera. Sehingga tak sedikit masyarakat Bali yang harus kehilangan mata pencahariannya. Bisa dibilang masa-masa itu adalah masa tersulit dalam sejarah masyarakat Bali.

Kemudian, pemerintah pada saat itu tidak tinggal diam. Mereka merencanakan program transmigrasi bagi masyarakat Bali keluar pulau Dewata, agar mendapat pengganti lahan pekerjaan dan kehidupan yang baik. Setelah menunggu rencana tersebut, akhirnya muncul tawaran dari perusahaan perkebunan karet (PPN Karet) selama 6 tahun. Pulau Sumatera termasuk daerah tujuan mereka bertansmigran, mengingat sumber daya alam dan lahan yang masih luas. Dari situlah, banyak suku Bali yang kemudian tinggal dan bekerja di Sumatera.

Jalan panjang pun dilalui oleh masyarakat Bali yang melakukan kontrak kerja tersebut. Daratan Bali ditinggalkan dan menempuh perjalanan darat ke Tanjung Priok, Jakarta. Dari Tanjung Priok perjalanan dilanjutkan dengan kapal laut menuju ke Belawan, Medan. Sesampainya di daratan pertama di pulau Sumatera ini, selanjutnya mereka dibawa ke perkebunan karet di Bandar Selamat, Asahan. Selama perjalanan panjang tersebut, ada beberapa dari saudara sesama warga Bali yang meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke tempat tujuan. Tanggal 3 Nomvember 1963, adalah kali pertama keompok warga Bali tersebut tiba di Bandar Selamat.

Setelah kontrak pertama selama 6 tahun selesai, sebagian masyarakat Bali yang tinggal di perkebunan Bandar Selamat, memohon untuk mundur dengan hormat sebagai buruh perkebunan, dan kembali ke tanah leluhurnya di Bali. Sementara sebagian yang ingin terus menetap di Sumatera, berencana untuk membentuk suatu perkampungan Bali, di mana masyarakat Bali perantauan ini dapat melalukan ritus dan budayanya persis seperti di Bali dengan sesama masyarakat Bali lainnya. Maka melalui organisasi Parisada Hindu, masyarakat Bali ini diperbantukan untuk dicari sebuah lahan kosong yang dapat ditemoati oleh masyarakat Bali. Akhirnya pilihan tersebut jatuh ke wilayah hutan belantara yang berstatus Tanah Negara Bebas. Masyarakat Bali yang akan mendiami wilayah ini diharuskan membayar ganti tanah tersebut sebagai milik warga, yang dapat mereka olah sebagai kebun pribadi.

Awalnya yang mendiami wilayah tersebut hanya terdiri dari 5 Kepala Keluarga saja. Kelima kepala keluarga tersebut adalah generasi pertama yang mendiami wilayah Paya Tusam pada tahun 1974. Dua tahun berikutnya, sebagian masyarakat Bali lainnya yang bekerja sebagai buruh di perkebunan Tanjung Garbus, Deli Serdang , datang dengan jumlah yang lebih besar ke desa ini, maka jumlah penduduk Bali bertambah menjadi 60 Kepala Keluarha, akhirnya desa Paya Tusam dikenal sebagai Kampung Bali.

Kedatangan suku Bali ke Pulau Sumatera, khusunya daerah Sumatera Utara, menambah ragam suku dan budaya nusantara yang mendiami provinsi ini. Meskipun suku Bali merupakan suku perantauan, tidak membuat mereka merasa terkucilkan di tanah orang. Suku Bali mampu menjalin kehidupan bertetangga yang rukun dan damai dengan masyarakat yang ada di sekitar kampung mereka. Bahkan, tak jarang terjadi pernikahan antara suku Bali dengan orang asli desa tersebut. Namun biasanya, jika ada warga suku Bali yang menikah dengan warga suku Jawa sekitarnya, suku Bali akan mengajak pasangan untuk memeluk agama suku Bali.

Dalam hal pendidikan mereka juga tak mau tertinggal, meskipun tak sama seperti di Pulau asalnya, namun warga kampung Bali ini tidak lengah terhadap pendidikan anak-anaknya. Mereka bersekolah di tempat sama seperti anak-anak warga kampung asli tersebut. Hanya saja dalam pelajaran agama, mereka hanya mendengarkan saja apa yang diajarkan guru disekolahnya. Dan dalam kesehariannya, anak-anak suku Bali tetap bisa bermain dengan anak-anak lainnya.

Warga suku Bali yang tinggal di Kampung Bali ini juga masih memegang teguh tradisi dan adat mereka, sama seperti yang dilakukan umat Hindu di Pulau Bali pada umumnya. Salah satunya yaitu upacara Ngaben. Upacara Ngaben adalah upacara pembakaran mayat, yang dilakukan setiap kali ada warga yang meninggal dari suku Bali. Tak hanya itu, upacara-upacara lainnya seperti Upacara Meracu dan merayakan Nyepi juga masih mereka lakukan.

Selain masih melakukan tradisi upacara mereka, masyarakat suku Bali juga masih memakai pakaian yang sama seperti suka Bali di pulau Dewata dengan sindur seperti beras di keningnya. Bentuk rumah yang khas dengan Pura didepan rumahnya. Sesajen dibawah-bawah pohon besar, dan ritual sesajen yang dihanyutkan ke sungai terdekat.

Hal seperti ini sudah sepatutnya dihargai tentang bagiamana suku Bali mempertahankan terus tradisi dan budaya luhur mereka di tanah perantauan. Keyakinan untuk terus mempertahankan budaya dan tradisi di manapun mereka berada seperti bunyi pepatah Bali,  " tak kering pleh panas, tak basah oleh hujan'. Makna dari pepatah ini bahwa, dimanapun suku Bali berada maka budaya dan tradisi luhur mereka terus dijaga. Om Santih Santih Santih Om, ( Om Sang Hyang Widhi anugerahkan kedamaian, kedamaian, kedamaian, selalu ).

Dengan tidak lunturnya tradisi suku Bali di Langkat yang identik dengan tanah Karo dan Kesultanan Melayu, membuat daya tarik untuk mengunjungi kampung tersebut. Tak sedikit wisatawan lokal berdatangan, hanya untuk melihat-lihat Kampung Bali, berfoto-foto dan menyaksikan ritual-ritual suku Bali disana.  Bagaimana tidak, wisatawan dapat merasakan kearifan suku Bali, walaupun tidak pergi langsung ke Pulau Dewata.

Namun, untuk sampai di Kampung Bali, butuh waktu satu setengah jam dari jalan lintas Sumatera. Karena harus melewati medan yang berbatu, jalan berbukit menanjak, menyeberangi sungai dengan menaiki getek, melewati kebun sawit dan karet menjadi pemandangan yang menyejukkan mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun