Kado Ultah untuk Mas Parto
"Mas, ini kado ultah untukmu." Dengan rada takut, Marni menyerahkan bungkusan pipih berukuran A3 itu di hadapan suaminya.
Seperti yang ia duga, lelaki yang sudah lima belas tahun menemaninya itu menatap Marni dengan tajam. Wajah berbintik jerawat itu seketika menggelap. Kerutan di dahinya menunjukkan bahwa ayah dari dua anaknya itu diliputi tanda tanya bercampur rasa tidak suka.
"Hidup sudah susah, kamu malah buang-buang uang percuma. Tidak usah sok-sokan kamu. Kamu ini memang tidak bisa hidup sederhana, sukanya menghambur-hamburkan uang saja. Punya uang 'seuprit' saja sudah bergaya. Mbok ya beli yang seperlunya saja," semprot Parto sambil menuding-nuding muka Marni.
Marni mengelus dada. Baru saja ia ngomong satu kalimat, Parto sudah membombardirnya dengan rentetan kata. Dalam hati ia menggerutu kesal. Bagaimanapun, yang dibuat beli adalah uangnya sendiri, bukan untuk Parto. Ingin sekali ia balik menyerang, tetapi urung karena tahu kalau balasan dari sang suami pasti lebih kejam.
"Mas, jangan marah dulu," ujar Marni buru-buru. "Aku tahu, ini bukan tradisi keluarga kita. Namun, untuk kali ini saja aku ingin memberikan hadiah ini untukmu." Marni mencoba untuk mengalah.
Parto berpaling. Namun, wajah yang tadi merah padam menahan amarah itu kini terlihat agak melunak, membuat Marni sedikit lega. Ternyata rasa penasaran Parto mengalahkan amarahnya.
Parto memang pemarah, terlebih setelah beberapa tahun ia kehilangan pekerjaan. Bahkan, saking lamanya menganggur, sampai ia lupa bagaimana caranya bekerja. Padahal, ia dulu gila kerja. Mungkin saking pelitnya sama Marni, sampai-sampai Yang Kuasa mencabut satu kenikmatan yang membuat seorang lelaki berharga dan terhormat di mata keluarga, yaitu mendapatkan nafkah.
"Kamu ini memang tukang menghabiskan uang, Mar. Coba hasilkan satu rupiah saja kalau bisa, biar tahu bagaimana susahnya cari uang!" Kata-kata itu selalu terngiang di telinga Marni membuat hati wanita itu terluka dan sakit hati. Bagaimana tidak, hanya untuk membelikan anaknya sedikit buah-buahan dan cemilan ringan saja ia dibilang tukang menghabiskan uang.
Saking 'mangkel' dan dongkolnya hati Marni saat itu, sampai-sampai dari bibir tipisnya keluar kalimat sakti orang yang terzalimi.
"Jangan sombong, Mas. Jangan sampai Gusti Allah membalikkan keadaan!"
Marni betul-betul marah. Wanita yang biasanya lemah lembut itu tidak bisa menahan emosi juga.
"Oke ... Aku tunggu. Kita buktikan nanti!" tantang Parto tak mau kalah.
Sekarang Marni merasa bersalah karena doanya menjadi kenyataan. Jujur saat itu ia tidak bermaksud mendoakan yang jelek untuk suaminya. Kalimat itu keluar begitu saja secara spontan, meluncur dari gejolak yang sudah lama terpendam.
Jadilah teman sekamarnya itu pengangguran, hampir lima tahun, jauh sebelum pandemi melanda. Secara otomatis, sebagian besar waktu suaminya  dihabiskan di rumah. Namun, intensitas pertemuan yang lebih besar dengan Marni tidak membuat biduk rumah tangga mereka semakin sakinah. Mereka dekat, tetapi jauh. Marni sibuk dengan seabrek urusan rumah tangga dan pesanan kue untuk mencukupi kehidupan mereka, sementara Parto sibuk dengan permainan game di ponselnya sambil sesekali marah kalau ada yang tidak beres di rumah.
Pernah suatu hari, anaknya sedang mencari atribut sekolahnya yang entah ada di mana. Saat itu, keadaan rumah memang cukup kacau dan berantakan. Marni sendiri sedang rebahan. Ia baru saja selesai memasak setelah sebelumnya merampungkan nasi kotak pesanan tetangga.
"Sudah ketemu, dasinya?" tanya Parto pada anaknya.
"Belum, Pak."
"Makanya, jangan jorok. Bapak kan sering ngajari, kalau naruh apa-apa jangan sembarangan. Kalau campur kayak gini, jadi sulit, kan, nyarinya. Rasakan!"
Diomeli seperti itu, anak-anaknya diam. Mereka sudah hafal dengan tabiat bapaknya.
"Coba cari di sebelah sana!" Perintah Parto lagi. Kepalanya sedikit terangkat menunjuk ke pojok kamar, sementara jari dan pandangannya fokus pada permainan di ponselnya.
"Kamu dari kecil sudah jorok kayak gini, besar, mau jadi apa? Beresin baju dan kamar saja malas, dasar 'kemproh'. Jangan meniru ibumu. Malas kok bangga. 'Kemproh' kok turunan!" Parjo terus mengomel sambil main game.
Sementara, Marni lebih memilih diam. Sebenarnya ia sangat tersinggung, tetapi kalau diladeni, buntutnya akan panjang. Ujung-ujungnya, lelaki yang harusnya bisa bersikap dewasa dan bijaksana itu jadi gondok dan mendiamkannya selama berhari-hari. Kalau amarah itu dibiarkan berlarut-larut, yang menjadi korban adalah anak-anaknya. Marni paling tidak tahan kalau melihat anak-anak dibentak dan dipukul hanya karena sedikit melakukan kesalahan.
Padahal, kalau dipikir-pikir, sebenarnya yang malas itu siapa? Kalau ia malas, ia tidak akan bisa mencari uang, mereka tidak akan bisa makan, tidak bisa bayar sekolah, tagihan listrik, beli bensin, dan yang lainnya.
"Ah, sudahlah," batin Marni menyerah. Kalau dimasukkan ke hati, lama-lama ia bisa stres.
Jujur Marni merasa serba salah. Kalau diingatkan, suaminya tersinggung, kalau dibiarkan, lelaki itu selalu merasa benar.
Pernah suatu ketika mereka tidak punya uang sama sekali karena katring sedang sepi.
"Mar, bensinnya habis, besok anak-anak tidak bisa sekolah. Hari ini juga terakhir bayar listrik," kata Parto.
Marni diam sejenak, kemudian menghela napas.
"Mas, kalau kamu bertanya padaku seperti itu, trus ... aku bertanya pada siapa?" jawab Marni pelan.
"Yo ... embuh!"
"Ya, jangan begitu, Mas. Ini kan kewajibanmu mencari nafkah. Pikirkan, dong, bagaiamana mendapatkan kerja."
"Kamu pikir aku ini hanya diam saja, gak usaha? Mencari kerja itu gak harus keluar rumah. Sekarang banyak lowongan kerja di HP. Memang belum rezekinya saja. Kamu ini jadi orang cerewet banget. Makanya, kamu pikirkan bagaimana usaha katringnu ini bisa maju. Jangan asal-asalan!" cerocos Parto.
"Ya Allah, sebenarnya yang salah ini siapa? Apakah lelaki akhir zaman memang seperti ini, hanya memahami hak tanpa sadar akan kewajibannya? Atau hanya suamiku saja, ya Allah?" bisik Marni dalam hati.
Sungguh, ia tidak tahu harus bagaimana. Satu-satunya yang terpikir di benaknya hanyalah memberikan kado istimewa, tepat di hari ulang tahunnya.
"Kenapa melamun, Mar? Ini apa isinya?" tanya Parto membuyarkan lamunan Marni.
"Buka saja," jawab Marni tenang.
Tanpa pikir panjang, Parto membuka bungkusan itu dan terbelalak melihat isinya.
"Kok cermin? Buat apa?" tanya Parto.
"Biar Mas Parto bisa melihat lebih jelas, seperti apa dirimu sebenarnya, gak hanya pinter menilai orang lain saja. Coba Mas berkaca, Mas akan menyadari bahwasanya orang yang ada di pantulan cermin itu juga bisa salah, bahwa orang yang ada di cermin itu juga punya borok dan nanah, bahwa orang ...."
"Kau ...."
Belum selesai Marni berbicara, Parto sudah memotongnya dengan wajah merah padam menahan amarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H