Mohon tunggu...
Lenterasenja berpijar
Lenterasenja berpijar Mohon Tunggu... Novelis - Wiraswasta

Penulis novel, Editor, Penerbit Indie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mungkin Mereka Lupa

21 Februari 2024   00:18 Diperbarui: 21 Februari 2024   00:32 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Emak bangkit kemudian beranjak pergi. Namun, telinga tuanya masih sempat mendengar ucapan terima kasih dari mulut wanita muda berwajah pucat itu.

Sarinten menghela napas. Sekarang matanya tampak berkaca-kaca. Semua rasa berkecamuk, bercampur jadi satu di dadanya.

Sungguh ia merasa terharu dengan apa yang dilakukan Emak Ipung padanya. Wanita renta yang sebatang kara itu tidak banyak bicara, tetapi langsung ia tunjukkan dengan perbuatan. Selama ini, orang tua itu sudah banyak membantu, meski ia sendiri juga hidup pas-pasan.

"Bu ... Ibu ...."

Terdengar suara Rania memanggil dirinya. Gadis lima tahun itu masih memejamkan mata. Rupanya ia sedang mengigau sambil memanggilnya.

Sarinten bergegas menenangkan putrinya. Benar kata Emak, panasnya sudah turun. Untuk sementara, ia merasa sedikit lega. Namun, tiba-tiba kata-kata Ratih kembali terngiang di telinganya. Ketakutan itu pun kembali menyeruak di hatinya.

Sarinten bukan orang bodoh. Bahkan, dulu di sekolah ia jauh lebih pintar dibandingkan Ratih. Nyatanya, menjadi juara kelas abadi tidak berbanding lurus dengan kehidupannya sekarang.

Sungguh, ia paham tentang semua yang diucapkan Ratih. Siapa sih, yang tidak sayang sama anaknya? Jujur ia sangat mengkhawatirkan keadaan Rania, tetapi ia bisa apa? 

Saat Ratih bertanya, kenapa Rania tidak dibawa ke rumah sakit, hati Sarinten bagai tertusuk-tusuk. Ia ingin sekali, tetapi betul-betul tidak bisa melakukannya. Mungkin Ratih lupa bertanya padanya, apakah dirinya punya uang untuk membayar jasa dokter dan fasilitas rumah sakit yang tentu tidak murah?

Saat Ratih mengingatkan Sarinten agar memperhatikan pola makan Rania, hati wanita itu bahkan lebih berdarah-darah. Sungguh ia ingin, tapi tidak berdaya. Ia berpikir, mungkin Ratih lupa bertanya, apakah Sarinten memiliki beras untuk sekadar mengganjal perutnya? Apakah ia punya garam atau terasi sekadar untuk menemani nasi yang saat ini hanya mampir di dalam benaknya.

Saat Ratih mengingatkan padanya agar lebih fokus pada Rania, tidak melulu kerja, ia hanya bisa tersenyum pahit. Ibu mana yang tidak ingin dekat dan memberikan perhatian penuh pada buah hatinya? Ia ingin, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin Ratih lupa, bagaimana kehidupan rumah tangganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun