"Jangan hanya senyam-senyum, Ten. Anakmu itu butuh perhatian ekstra, jangan ditinggal kerja melulu. Tugas seorang ibu itu kan memang menjaga dan mengurus anak. Kamu juga harus memperhatikan pola makannya, Ten. Lagian ya, kalau aku perhatikan, Rania itu sering banget sakitnya. Kalau gak salah, bulan lalu ia juga demam, kan?" Sekali lagi Ratih nyerocos karena merasa kesal dengan sikap Sarinten yang menurutnya kurang perhatian sama anaknya.
 "Ya, kamu benar. Mungkin aku kurang perhatian sama Rania. Terima kasih sudah mengingatkanku." Sarinten tersenyum sambil menatap temannya. Sungguh, di dalam hatinya tidak ada perasaan jengkel ataupun marah. Ratih memang benar, dirinya memang salah.
"Karena Intan tidak ada di rumah, sebaiknya aku pulang sekarang saja, ya, Rat. Sekali lagi maaf, ya, Rat," lanjut Sarinten akhirnya. Hampir setengah jam mereka berbincang.
"Ya sudah. Sebaiknya kamu jagain Rania saja. Jangan lupa, segera bawa ke rumah sakit, loh, Ten, jangan sampai terlambat!" jawab Ratih mengingatkan.
Sarinten mengangguk sambil tersenyum, kemudian bergegas melangkah.Â
Sampai di rumah, wanita berwajah pucat itu langsung menemui Mak Ipung, tetangga sebatang kara yang saat itu sedang menunggu Rania sambil membaca Al-Quran.
"Bagaimana keadaan Rania, Mak?" tanya Sarinten begitu melihat Mak Ipung menyelesaikan bacaan dan menutup mushafnya.
"Alhamdulillah, sekarang demamnya sudah turun, Ten. Tadi sudah Emak kasih kunir sama madu," jawab Mak Ipung lembut menenangkan.
"Alhamdulillah, terima kasih, ya, Mak."
Sarinten merasa sangat lega. Jujur ia merasa sangat khawatir, terlebih setelah mendengar perkataan Ratih tadi.
"Ya sudah, Emak mau pulang dulu. Emak mau bikin lontong untuk jualan besok pagi. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan menghubungi Emak. Oh ya, tadi ada dua bungkus lontong. Sayurnya juga sudah Emak panasi. Kamu dari pagi belum makan, kan? Sekarang kamu makan dulu, mumpung Rania sedang tidur."