"Hari ini kamu terlambat lagi, Ten," kata Ratih setelah melirik jam tangan mahal di pergelangan tangannya.
 "Maaf, Rat, Rania demam lagi, aku tidak tega meninggalkannya sendirian. Tadi aku nunggu Mak Ipung pulang dari pasar dulu," jawab Sarinten pelan.
Jujur, Sarinten merasa tidak enak. Meski Ratih adalah temannya, Sarinten tetap merasa sungkan. Ratih adalah orang yang tegas dan disiplin. Namun begitu, wanita cantik beranak satu itu menurutnya cukup baik. Buktinya, ia masih mau menjadikan Sarinten sebagai guru les untuk Intan, anaknya. Meski Sarinten tahu, sebenarnya si Intan tidak butuh les privat karena ia cukup cerdas. Konon, Ratih mempekerjakannya karena ingin membantu Sarinten.
"Tapi si Intan sekarang di rumah budenya, Ten. Ia lagi ngambek gara-gara nunggu kamu lama banget," kata Ratih terus terang. Wanita itu tampak sedikit kesal.
Sarinten terdiam. Sekali lagi, perasaan tidak nyaman itu kembali menyeruak di dadanya.
"Maaf, ya, Rat," jawab Sarinten akhirnya.
"Ya sudah, kita ngobrol saja dulu kalau gitu," kata Ratih. Sarinten mengangguk, kemudian duduk di kursi yang ada di depan Ratih.
"Sebenarnya Rania sakit apa, Ten?" tanya Ratih penuh minat.
"Kalau pastinya, sih, aku tidak tahu Rat. Cuma ... demamnya sudah empat hari ini tidak turun-turun," jawab Sarinten.
"Loh, apa sudah dikasih obat? Kenapa tidak dibawa ke dokter? Itu bahaya, loh, Ten. Apalagi, ini sudah lebih dari tiga hari. Kalau kenapa-kenapa, bagaimana? Kamu gak sayang, apa, sama anak kamu?" Ratih langsung nyerocos. Wanita cantik itu terlihat khawatir dengan kondisi anak Sarinten. Bagaimanapun, mereka adalah teman.
Mendengar itu, Sarinten hanya tersenyum. Sungguh, ia bisa memahami kekhawatiran temannya.