Mohon tunggu...
Ahmad Rusdian
Ahmad Rusdian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan jadi Guru, Jangan Jadikan Anakmu jadi Guru

29 Januari 2016   09:32 Diperbarui: 29 Januari 2016   11:29 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

sebenarnya tulisan ini adalah komentar pada tulisan Saudara "Ninoy N Karundeng". tetapi saat saya baca lagi kok lebih mirip "curhat". jadi saya posting aja. terimakasih kepada saudaraku Ninoy atas tulisannya. 

Salam Kenal, Salam Sejahtera.

mohon maaf sebelumnya. terimakasih sudah dibaca, silahkan ditanggapi, semoga tidak di-bully.

saya guru, tak dapat sertifikasi, tanpa prestasi dan tidak membanggakan. entah kenapa ya, saya selalu miris setiap membaca tulisan yang membahas guru, atau mendengar obrolan yang berbau guru.

dulu saat saya baru bisa berpikir, saya melihat bapak saya yang hanya guru sd, harus banting tulang untuk sekedar menghidupi keluarga, pagi bangun jam 3 untuk mengurus sawah, jam 6 siap2 mengajar, jam 1 pulang ngajar lalu mencari "tambahan" dari ngelesi, jam 4 lepas memberi tambahan kembali ke kebun, malam sibuk mencari apapun untuk dijual kembali, mulai TV, Motor, apapun asal bisa dijual kembali (makelar lah istilahnya).

saya miris melihat bapak saya sebagai guru kala itu, setelah mengabdi mulai tahun 1980 dan hidup serba kekurangan itu. sekitar tahun 2008 bapak mulai mendapat sertifikasi. Angin segar bagi bapak karena katanya mendapat tunjangan 1x gaji.

Bapak benar-benar bersemangat bercerita tentang itu. tentang harapan terlepas dari hutang karena untuk membeli rumah, membiyai sekolah anak dan kebutuhan lain bapak saya terlilit hutang di bank. Bagaimana bapak sudah menjanjikan saya untuk kuliah dimanapun, karena bapak akan dapat sertifikasi, sungguh bapak benar-benar bahagia.

bagaimana dia memuja pemerintah yang mengeluarkan kebijakan yang maha mulai."SERTIFIKASI GURU DAN TUNJANGAN PROFESI PENDIDIK". saya sungguh bahagia, sungguh. saat itu saya benar-benar bahagia.

Ditunggu, ditunggu tunjangan yang diharap tak kunjung turun, "ternyata keluarnya tiap 3 bulan Le", kata bapak sambil tetap tersenyum, bayangan lepas dari hutang dan menguliahkan saya sungguh membuat bapak lupa diri.

pada awal pertama turun, bapak sungguh bahagia. uang itu langsung dibagi.

-zakat dan shodaqoh

-membayar hutang yang tidak di bank

-modal menggarap sawah.

TPP pertama bapak habis, saya pun meski tak kebagian apa-apa sungguh sangat bahagia melihat bapak membagi uang dan memasukkannya ke amplop-amplop. Dengan wajah puas dia menjanjikan saya untuk diajak makan sate kambing.

TPP selanjutnya bapak masih sibuk membayar hutang dan memperbaiki rumah, yang selama ini bisa dibilang tidak layak, mulai lumayan, sudah ada 2 kamar, meski saya tetap tidak kebagian jatah kamar, saya bahagia.

TPP selanjutnya bapak tak sebahagia yang dulu , karena bapak dituntut untuk bisa komputer, untuk bisa On Line, untuk bisa ini dan itu, melihat bapak membeli komputer baru (meski ketipu) saya bahagia, tiap hari beliau sibuk didepan komputer untuk belajar dan mengerjakan administrasi.

Setelah sekian tahun berselang, saya melihat bapak tak lagi bercerita tentang TPP, entah kenapa, tiap saya tanya selalu menghindar.

akhirnya saya jadi guru. sekarang saya megerti. bagaimana guru tua (sekelas bapak saya selalu dibully oleh banyak pihak karena TPPnya. dituntut untuk mengikuti performa anak muda karena TPPnya.

saya akhirnya mengerti, kenapa bapak pernah bilang, "lebih baik tidak dapat TPP". karena tanggungan moral yang begitu tinggi.

Apapun tentang guru selalu dikaitkan dengan TPP. Kepercayaan wali murid kini berganti dengan kecurigaan, dimana-mana dibahas TPP. sungguh saya prihatin.

APAKAH GURU TAK LAYAK "DISEJAHTERAKAN"?

APAKAH GURU YANG SUDAH BERJUANG PULUHAN TAHUN dan SERBA KEKURANGAN TAK LAYAK MENDAPAT "PENNGHASILAN LEBIH"? ya jangan ditanya kemampuan dan profesionalismenya, mereka kebanyakan berumur kepala 5. tapi yang perlu diingat, pada jamannya, mereka pernah berjaya loh....

APAKAH SELAMANYA PENGABDIAN HARUS DI IDENTIKAN DENGAN HIDUP SERBA KEKURANGAN? KINI SAYA TAHU, KENAPA TEMAN-TEMAN SMA SAYA YANG NOTABENE "KUALITAS 1" MEMILIH UNTUK JADI DOKTER, TENTARA, BEKERJA DI BUMN, BEKERJA DI PERUSAHAAN INTERNASIONAL. dan kini tertinggal manusia kualitas 3, kualitas 4, bahkan manusia KW super kayak saya, yang "terjebak" jadi guru. apakah ini baru sekarang, atau sudah dari dulu, saya tak tahu. saya kini tahu alasan mereka, karena mereka sudah mampu menganilisis bahwa guru akan selalu hidup dalam keadaan kekurangan, dulu kekurangan materi, kini kekurangan materi, kekurangan kepercayaan dan kekurangan kepercayaan diri. terimakasih,

mohon maaf, salam kenal, semoga tuhan senantiasa memberkati.

Selengkapnya: Guru Sertifikasi dan Rusaknya Dunia Pendidikan Dulu dan Kini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun