Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Tak ada jawaban. Empat detik. Pintu pun terbuka setengah. Dalam gelapnya malam aku tak bisa melihat dengan jelas  apa yang ada di dalamnya, dikarenakan minimnya pencahayaan di sekitar itu. Aku hanya melihat anak kecil yang berada di depan pintu.
Setelah pintu terbuka sepenuhnya dan disinari lampu remang, terlihat jelaslah semuanya.
Aku tercengang. Takut. Kaget.
"Cepat sini!, kasih ke gue!, kalo lu gak mau, gw gorok ni pala bocah."
Bapak-bapak berbadan besar, tinggi, dan berkumis terlihat dari pintu itu, dengan membawa goloknya, dan mengarahkannya ke kepala anak kecil itu, dan sepertinya itu adalah anaknya.
"Buruan. Lu mau anak ni mati?!"
Dia berteriak kepadaku. Aku panik. Aku takut. Tak mungkin aku memberikan barang tersebut kepadanya secara gratis, karena nantinya Tante Gita akan marah kepadaku, dan akan menyuruh algojonya untuk membunuhku lalu mengambil semua organ-organku. Tapi, aku pun juga tidak bisa membiarkan anak kecil itu mati di tangan bapaknya sendiri.
Aku pun teringat Alea. Aku membayangkan bagaimana jika Alea berada di posisi seperti anak kecil itu. Pasti ia akan meminta tolong kepadaku agar aku memberi barang itu secara percuma.
Aku pun kalah. Aku akhirnya memberikannya secara percuma. Tamatlah riwayatku.
"Gitu dong! Ya udah pergi lu sana!'
Akhirnya aku pun pergi. Selama perjalanan pulang aku takut. Gemetar. Aku tak tahu harus pergi kemana. Jika aku pulang pasti Tante Gita akan menemukanku dan akhirnya pun membunuhku. Tapi di sisi lain ada Alea yang menungguku di rumah. Maafkan aku Alea, aku harus pergi terlebih dahulu.