Aku berharap ada sebuah keajaiban Tuhan. Suster yang bertugas mengatakan bahwa Bapak baru saja menghembuskan nafas terakhirnya 15 menit yang lalu, tepat ketika kami masih dalam perjalanan kesini.
beberapa saat kemudian Ibu berhasil membujukku untuk menunggu di luar dengan penjagaan Kanala, khawatir aku kembali menangis dan mengganggu kenyamanan pasien lainnya. Sementara Ibu mengurus barang-barang Bapak yang tercecer akibat insiden kecelakaan.
Disinilah seorang pemuda menghampiri aku dan Kanala. Aku tidak memperhatikan dengan jelas seragam apa yang dikenakannya, pikiranku masih buyar.
"Permisi, Mbak. Yang mana yang namanya Mbak Raina?" tanyanya tanpa basa basi.
Kanala menatapku masih terdiam, dia mengerti aku sedang tidak ingin diajak bicara,"Ada apa ya, Mas?" tanya Kanala.
"Saya perlu bertemu dengan Mbak Raina karena ini menyangkut Pak Rafid," jawabnya.
Tanpa berfikir panjang, aku langsung menjawab,"Saya Raina, ada apa?"
"Boleh tunjukkan kartu identitasnya, Mbak?" pintanya padaku.
Aku pun memberikan kartu identitasku. Kanala mempersilakan pemuda itu untuk duduk di dekat kami, ia kemudian berkata,"Sebelumnya saya mengucapkan turut berduka cita sedalam-dalamnya. Jadi begini, Mbak aina. Pak Rafid adalah nasabah perusahaan asuransi kami sejak sepuluh tahun yang lalu. Dana asuransi kematian Pak Rafid hanya dapat diklaim oleh Mbak Raina selaku ahli waris yang telah dipilih oleh Bapak Rafid." Aku terperangah.
Pemuda itu memberitahu bahwa nominal dana yang selama ini telah Bapak kumpulkan untukku bernilai ratuan juta rupiah. Sesak. Itulah yang pertama kali kurasakan ketika mengetahui kenyataan ini. Prasangka burukku pada Bapak seama ini seolah tersapu ombak, hilang begitu saja.
Bahkan Bapak tidak bisa memberi Kanala uang untuk studi wisata yang diminta Kanala kemarin. Tak kusangka, selama ini ruapanya Bapak selalu memikirkan masa depanku. Bapak tidak pernah sedikitpun melupakan aku.