Mohon tunggu...
Lentera Andalus
Lentera Andalus Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Santri Putra SMA IT Al Andalus Jonggol

Santri-santri yang gemar menulis, berimajinasi, dan bermimpi menjadi lentera bagi kejayaan Islam

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tak Kasat Mata

17 November 2023   16:58 Diperbarui: 17 November 2023   17:07 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Iya,"jawab aku singkat.

Dilanjutkan dengan salam dari Bapak,"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam,"jawab kami bersamaan.

Waktu menunjukkan pukul empat pagi ketika getaran ponselku membangunkan aku. Panggilan itu datang dari nomor yang tidak dikenal.

"Halo, betul ini Raina?" suara di seberang sana menyapaku.

Masih setengah sadar aku menjawab,"Iya ini dari mana ya?"

Dijawabnya lagi,"Kami dari PT Kereta Api Jaya memohon maaf sebesar-besarnya, bapak Anda adalah salah satu korban kecelakaan kereta api dini hari ini." Aku terbelalak, terkejut bukan main.

Pihak kereta api langsung menginfokan mengenai keberadaan Bapak. Aku segera membangunkan Ibu dan Kanala, bersiap untuk menemui Bapak. Aku masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi, tak tahu apa yang harus kulakukan.

Perjalanan menuju rumah sakit dihiasi oleh tangisan Kanala yang tak henti-hentinya. Kulihat Ibu memandang jauh ke luar jendela. Aku masih terdiam, masih tidak memahami batinku sendiri. Kami akhirnya sampai ke rumah sakit yang dituju, sesuai dugaanku suasana disana sangat ramai, penuh orang menangis. Ibu bertanya kesaa kemari menanyakan keberadaan Bapak.

Kanala masih saja menangis. Sedangkan aku masih seperti orang bodoh. Seorang suster menghampiri kami dan menuntun Ibu menuju sebuah kamar rawat, di pintunya bertuliskan Anggrek 209. Ibu membuka pintu itu memeriksa satu persatu bilik disana, tetapi tidak juga menemui keberadaan Bapak. Hanya ada satu kasur yang belum kami lihat, tetapi kasur itu telah ditutup oleh kain putih. Dengan langkah gemetar ibu mendekati pasien itu, memeriksa siapa yang ada di balik kain tersebut. Aku baru menangis dengan sekeras mungkin ketika kulihat Bapaklah orang yang ada di balik kain putih itu.

Aku jatuh terduduk seolah-olah hatiku patah sepatah-patahnya. Bapak telah pergi meninggalkan kami, meninggalkan aku. Tanpa pernah kuberikan senyum terbaikku padanya. Ibu langsung memelukku, berusaha menenangkanku. Aku tidak peduli lagi tempat ini rumah sakit, yang kumau adalah Bapak kembali bernafas. Lemas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun