Mohon tunggu...
Lenny Adam Nofriyani
Lenny Adam Nofriyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengguna Bahasa

Hakunamatata'

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sudahkan Frasa "Tanpa Persetujuan Korban" Melindungi Korban?

31 Mei 2024   01:45 Diperbarui: 31 Mei 2024   01:58 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 Frasa "tanpa persetujuan Korban" mengimplikasikan bahwa persetujuan korban adalah sebuah elemen kunci dalam menentukan apakah tindakan tersebut dianggap sebagai kekerasan seksual atau tidak. Ini berarti bahwa jika ada persetujuan, tindakan tersebut mungkin tidak akan dianggap sebagai pelanggaran.

Implikatur konvensional

Memperlihatkan alat kelamin dengan sebagaja tanpa persetujuan korban.

Jika korban menyetujui maka tidak tergolong kekerasan seksual

 Meskipun frasa "tanpa persetujuan korban" memiliki niat yang baik dalam melindungi korban, namun ketika diperhadapkan pada penerapannya dalam kerangka hukum bisa saja menimbulkan potensi kekosongan hukum.

Dalam konteks hukum, "tanpa persetujuan korban" merujuk pada tindakan yang dilakukan tanpa izin eksplisit dan jelas dari pihak korban. Status persetujuan ini harus diberikan secara bebas tanpa adanya tekanan, paksaan, atau manipulasi atau dibawah pengaruh obat-obatan, alcohol maupun narkoboy. Implikatur dari frasa ini adalah bahwa segala bentuk hubungan seksual atau tindakan yang bersifat seksual harus didasarkan pada persetujuan yang aktif dari kedua belah pihak.

Implikasi penting yang timbul dari persyaratan persetujuan ini adalah perlindungan terhadap otonomi tubuh individu. Frasa ini mengakui bahwa setiap orang memiliki hak untuk menentukan apa yang terjadi pada tubuhnya sendiri. Selain itu, frasa ini juga menekankan bahwa kekerasan seksual tidak hanya mencakup tindakan fisik yang memaksa, tetapi juga mencakup situasi di mana korban mungkin merasa tidak mampu memberikan persetujuan secara bebas.

Kita tahu bahwa Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 ini adalah langkah progresif kongkret dalam upaya melindungi mahasiswa dari kekerasan seksual dan salah satu aspek kunci dari regulasi ini adalah frasa "tanpa persetujuan korban" yang menjadi pusat dalam mendefinisikan tindakan kekerasan seksual. Namun, frasa ini membawa implikatur tertentu yang berpotensi menimbulkan kekosongan hukum jika tidak diinterpretasikan dan diimplementasikan dengan cermat.

Ketidakjelasan dalam Definisi Persetujuan: Tanpa definisi yang jelas dan rinci tentang apa yang dimaksud dengan persetujuan, interpretasi hukum dapat sangat bervariasi. Persetujuan yang "aktif, sukarela, dan berkelanjutan" perlu didefinisikan dengan jelas agar tidak terjadi kebingungan dalam penegakan hukum. Tanpa panduan yang konkret, ada risiko bahwa kasus-kasus kekerasan seksual dapat ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai pihak, termasuk penegak hukum dan institusi pendidikan. 

Definisi Persetujuan ini juga harus dibahas lengkap dengan bentuknya, apa harus eksplisit atau cukup implisit. Ini menjadi krusial agar tidak lagi perlu ada pihak yang dirugikan hanya karena definisi dari bentuk persetujuan mana yang sah dalam hal ini. Contoh: Jika Diam diartikan menyetujui maka seorang mahasiswa yang tidak berteriak ketika mengalami kekerasan seksual oleh dosen atau tenaga kependidikan dianggap bukan pelanggaran??? Lalu jika persetujuan harus kongkret dan berupa verbal observable maka tangisan atau bahkan gelengan bukan merupakan bentuk penolakan?? Ada banyak hal dapat diinterpretasikan melenceng dari apa yang dimaksud demi keuntungan pihak tertentu.

Ketidakjelasan ini dalam hukum biasanya bisa diselesaikan dengan 2 dua metode, yakni metode penafsiran hukum (interpretation method) dan metode konstruksi hukum atau penalaran (redeneeruweijizen)  (dikutip dari Manan, 2013). Kedua metode ini digunakan dalam waktu yang berbeda. Penafsiran hukum (interpretasi) digunakan apabila terdapat ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat ditetapkan pada peristiwa konkret yang dihadapi sedangkan konstruksi hukum digunakan apabila tidak ditemukan undang-undang yang secara langsung dapat diterapkan pada masalah hukum yang dihadapi, atau dalam peraturannya tidak ada sehingga terjadi kekosongan hukum (recht vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum) ( Jazim Hamidi, 2011).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun