Mohon tunggu...
Lenny Adam Nofriyani
Lenny Adam Nofriyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengguna Bahasa

Hakunamatata'

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sudahkan Frasa "Tanpa Persetujuan Korban" Melindungi Korban?

31 Mei 2024   01:45 Diperbarui: 31 Mei 2024   01:58 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Kami ingin menegaskan kembali bahwa Permendikbud ini hanya menyasar kepada satu jenis kekerasan, yaitu kekerasan seksual dengan definisi yang sangat jelas," tegas Pak Nadiem dalam acara Merdeka Belajar Episode14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual pada Jumat, 12 Desember 2021.

Tiga tahun berlalu sejak disahkannya Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi namun tidak serta merta memotong laju perkembangan kasus kekerasan seksual khususnya di lingkup perguruan tinggi. Kehadiran Peraturan ini semata menjawab keresahan dan juga kegelisahan akan banyaknya kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan setiap tahunnya. 

Menurut Catatan Akhir Tahun (catahu) yang dirilis Komnas Perempuan, setidaknya ada 291.677 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2020 dan dari data itu, disoroti adad sekitar 6.480 kasus atau 79% merupakan kasus dimana korban dan pelaku saling kenal (biasa disebut kekerasan di ranah personal). Dan tragisnya 27% dari kasus-kasus itu adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di jenjang pendidikan (Komnas Perempuan, 2021). 

Penelitian juga menyebutkan sebanyak 77% dosen menyatakan bahwa ada kekerasan seksual yang pernah terjadi di kampus tempat mereka mengajar, dan 63% korbannya tidak berani melaporkan kasus yang mereka alami secara terbuka ke pihak kampus (Kemendikbud.go.id, 2022). Data-data ini memperlihatkan sebegitu tidak amannya tempat menimba ilmu di negeri ini.

Mungkin sebagian dari kita tidak lagi asing dengan kasus-kasus yang pernah viral di media pemberitaan terkait kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi ini. Masyarakat ramai berkomentar di media social seperti tiktok dan Instagram ketika kasus mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Agni (bukan nama sebenarnya) mencuat. 

Agni diceritakan mengalami kekerasan seksual saat menjalani program KKN UGM Tahun 2017. Kekerasan seksual yang dialaminya dikabarkan dilakukan oleh temannya sendiri. Kampus sekelas UGM menangani kasus kekerasan ini dengan menyimpulkan bahwa Agni-korban turut serta bersalah dalam terjadinya kekerasan seksual yang dialaminya itu. Kampus memulangkan Pelaku dari lokasi KKN, korban diberikan nilai C pada matakuliah KKN tersebut (Citra Maudy, 2018).  

Ada juga kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Riau, di mana Dekan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau memaksa, memeluk dan mencium mahasiswa bimbingannya di saat proses bimbingan skripsi, lalu Dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya yang akhirnya ditetapkan menjadi tersangka melakukan kekerasan sekasual terhadap beberapa orang mahasiswanya. Kekerasan seksual antara mahasiswa dengan mahasiswa juga menimpa mahasiswa Program Studi Bahasa Inggris FIB Universitas Brawijaya, Kasus ini sudah diadukan namun penanganan pihak kampus dinilai terlalu amat sangat berlarut-larut, hingga mahasiswa tersebut akhirnya bunuh diri di makam ayahnya. 

Ada juga kekerasan seksual yang dilakukan oleh Dosen Universitas Negeri Jakarta yang sering mengirimkan pesan bernuansa seksual kepada mahasiswa bimbingannya, hingga mengajak menikah dan memaksa ke ke kost mahasiswa yang bersangkutan (Friska Riana, 2021).  Kasus-kasus inilah yang membuat kebanyakan orang geram dan untuk tim pro, akan merasa sangat bersyukur dengan lahirnya perrmendikbud ristek ini. Namun bagi yang kontra, merasa bahwa pasal 5 dalam peraturan menteri ini bisa berpotensi multi tafsir yang akhirnya bisa saja menjadi alasan lamanya proses hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual karena adanya hambatan atau kendala dalam pembuktian.

Ada beberapa pasal dalam Permendikbud tentang PPKS yang menjadi kontroversi, khususnya terkait pembubuhan frasa "tanpa persetujuan korban". Frasa ini termuat dalam Pasal 5 Ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l, dan huruf m. Bahkan pasal-pasal di atas juga diajukan uji materiil oleh Lembaga Kerapaan Adat Alam  Minangkabau (LKAAM) kepada Mahkamah Agung. Melalui putusan Nomor 34 P/HUM/2022, Mahkamah Agung menolak permohonan tersebut (Anisah, 2022). Mahkamah Agung menilai bahwa pasal-pasal di atas tidak bertentang dengan UndangUndangNomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Meski uji materiil ditolak oleh Mahkamah Agung, frasa tersebut tetap menjadi kontroversi. Adapun isi ayat yang mengandung frasa "tanpa persetujuan korban" antara lain:

  • Memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan korban
  • Mengambil, merekam dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban
  • Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban
  • Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban
  • Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban
  • Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau mengosokkan bagian tubuhnya pada bagian tubuh korban tanpa persetujuan korban 
  • Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.

Walaupun telah dilengkapi dengan penegasan kasus di mana persetujuan korban gugur dalam poin selanjutnya namun ada saja yang menganggap bahwa frasa "tanpa persetujuan korban" dalam semua ayat di atas tidak memuat penjelasan yang eksplisit sehingga menimbulkan penafsiran dan pemaknaan yang berbeda-beda. Oleh karena itu mari kita lihat sedikit ulasan mengenai apa saja implikatur dari frasa "tanpa persetujuan korban" ini dari kacamat pragmatic. Mengapa perlu? Karena sejatinya peraturan atau perundang-undangan tidak boleh multi tafsir.

 Implikatur Frasa Tanpa Persetujuan Korban

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun