Oleh Leni Marlina
Di lembah-lembah Bumi Aravata, Â
Bendera kebebasan berkibar tinggi, Â
Namun sayap naga emas terus berputar di langit yang keruh, Â
Melilit cahaya yang dulu terpancar bebas, kini hilang di balik tirai bayang.
Janji-janji merdeka terbungkus rapi dalam lembar-lembar ilusi, Â
Rakyat tak ingin hanya jadi saksi bisu dalam peradaban yang mereka bangun, Â
Mereka mendamba udara kebebasan sejati, Â
Angin yang pernah dihirup para leluhur saat mengorbankan jiwa dan raga.
Di balik tirai emas, ambisi melangkah, Â
Menjadi bara api yang tak kunjung padam, Â
Menara dinasti menjulang di atas mimpi-mimpi yang tenggelam, Â
Menyusup ke dalam nadi tanah ibu, menyesakkan setiap jejak kebebasan di Tanah Aravata.
Namun jiwa-jiwa yang membumi, Â
Takkan membiarkan dirinya terkunci dalam rantai ilusi, Â
Mereka mengumpulkan tekad, seperti gunung yang membelah angin, Â
Berjuang demi kemerdekaan yang tak sekadar nama, tapi wujud nyata.
Sungai purba membawa kisah tentang mereka yang dulu gagah, Â
Memerangi penjajahan dengan darah dan air mata, Â
Kini, bayang-bayang baru bersembunyi di balik kemilau emas, Â
Tapi jiwa-jiwa di Tanah Aravata tahu pasti, kebebasan mereka tak untuk dijual, tak bisa dibeli.
Dinding-dinding istana berbisik dalam kesunyian, Â
Rahasia-rahasia dinasti ditenun dalam senyap, Â
Di antara tangan-tangan yang menyusun jalur emas menuju kekuasaan, Â
Namun rakyat Aravata takkan tunduk pada bayangan yang mengepung langkah mereka.
Penuntun cahaya yang dulu dipuja, Â
Kini terbungkam, hanya gema yang hilang di lembah-lembah gelap, Â
Namun angin kebebasan yang murni masih mereka impikan, Â
Terbungkus dalam harapan yang tak pernah padam di hati-hati yang merdeka.
Jika kebebasan hanya jadi hiasan di Tanah Aravata, Â
Untuk apa bendera yang berkibar di langit? Â
Mereka akan berdiri, meski langit bergetar oleh bisikan-bisikan licik, Â
Jiwa-jiwa ini tahu, kemerdekaan harus direngkuh dengan seluruh jiwa dan raga.
Sebuah ilusi hanya bisa menguasai sejauh mata memandang, Â
Namun tekad yang membara takkan terbakar oleh abu-abu ilusi, Â
Mereka menatap jauh ke cakrawala, Â
Berjalan dengan pasti, mempertahankan kebebasan yang mereka perjuangkan dengan nyawa.
Tanah ibu menangis dalam senyap, Â
Namun rakyatnya tidak lagi berdiam, Â
Dengan langkah tegap, mereka menantang setiap rantai yang tersembunyi, Â
Berjuang sampai kebebasan kembali mengalir di nadi Aravata yang merdeka.
Negeri Merdeka, Â 2024
---
*Penulis adalah anggota aktif asosiasi penulis Satu Pena Sumbar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H