Mohon tunggu...
Leni Marlins
Leni Marlins Mohon Tunggu... Freelancer - freelancer

hobi menulis tentang banyak hal untuk menyampaikan ide

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Suami Cinta Bola dan Istri Tidak

15 Juli 2018   23:24 Diperbarui: 15 Juli 2018   23:34 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika tulisan ini sedang dipersiapkan, momen Piala Dunia sebentar lagi akan berlalu. Sungguh, ada banyak kejutan yang terjadi selama satu bulan terakhir. 

Tim-tim besar pulang duluan. Tim yang dianggap bukan apa-apa, justru bertahan. Siapa sangka, Jepang bisa sealot itu perjuangannya? Siapa sangka Argentina gugur di babak-babak awal? Siapa sangka Kroasia bisa masuk final? Namun, siapa pun yang menang, yang penting adalah keseruan selama menonton ajang empat tahunan ini.

***

Menjelang penyelenggaraan ajang Piala Dunia 2018, seorang teman—penggemar bola—menulis demikian dalam status Facebooknya, “Piala Dunia akan digelar 6 hari lagi. Para suami... segeralah bikin kesepakatan dengan istri supaya tidak rebutan remote TV.” (-wsp). Komentar-komentar di bawahnya cukup menghibur. 

Ada yang mengusulkan untuk membeli televisi baru. Ada juga yang merasa tenang-tenang saja karena masih single sehingga tidak ada sparring partner untuk rebutan remote televisi. Ah, kalau sudah begini beruntunglah para kaum single itu!

Terlepas dari niat untuk guyonan saja, apa yang diwanti-wanti oleh teman saya tersebut tampaknya tidak terlalu meleset. Jangankan untuk menonton Piala Dunia yang datangnya sekali dalam empat tahun, sehari-hari saja masalah remote televisi ini bisa berubah menjadi pelik. 

Bagaimana tidak, masing-masing anggota keluarga memiliki acara favorit yang ndilalah (kebetulan) ditayangkan pada prime time. Kaum ibu pasti kekeuh pengen menonton tayangan sinetron yang tidak selesai-selesai. Para ayah tidak mau ketinggalan mengikuti berita terbaru. Anak-anak? Apa lagi kalau bukan memaksa untuk nonton Tayo. Lha, kalau TV-nya cuma satu, yang ada pasti saling berebut memutar channel yang diinginkan.

Ketika membaca status Facebook teman saya ini, saya termasuk dalam golongan yang tenang-tenang saja. Meskipun suami saya adalah penggemar bola fanatik, sudah dipastikan tidak akan terjadi perebutan remote televisi di rumah. 

Pasalnya, kami memiliki 2 televisi (sederhana) yang terpajang di dua kamar yang berbeda. Meskipun sederhana tidak apa-apa, tetap disyukuri. Apalagi dalam situasi genting semacam ini. Suami tetap bisa menonton bola sepuas-puasnya, sedangkan istri dan anak bisa beristirahat dengan senyaman-nyamannya. Yes!

Pada hari-hari pertama pertandingan, semua berjalan lancar. Saya tentu tidak mengikuti secara langsung keseruan itu, hanya sekadar menjadi saksi. Ya, melihat suami heboh sendiri, sedikit banyak membuat saya ikut terkena dampaknya.

 Sehari sebelum pertandingan, misalnya, ia membawa pulang selembar kertas yang sangat lebar, lalu menempelkannya di dinding rumah. “Ini nih, Bu, jadwal pertandingannya...” ujarnya dengan wajah berseri-seri. Setiap hari, kertas itu dicentang. Mana yang menang, mana yang kalah. Pokoknya sangat teliti dan cermat.

Oh, ya, sebelumnya kami sempat tidak menginap di rumah selama beberapa hari karena libur Lebaran di kampung mertua. Ini dilema banget buat si Ayah. 

Bagaimana tidak, saluran televisi di rumah mertua tidak memungkinkannya untuk menonton bola. Akhirnya, hampir tiap malam ia mengungsi ke rumah tetangga, menonton melalui channel khusus. “Rame, ya, Yah?” tanya saya suatu hari ketika ia mau berangkat. “Wah, rame banget, Bu. Menonton bersama teman-teman masa kecil. Seruuu pokoknya,” ujarnya bersemangat. Baiklah.

Trus, kenapa Ayah tiba-tiba pulang padahal pertandingan masih belum selesai?” tanya saya penasaran.

“Ya, semua juga begitu. Nanti waktu pertandingan dimulai lagi baru pada ngumpul lagi. Nggak enak sama tuan rumah kalau nunggu di sana,” jawabnya. Tuan rumah yang dimaksud memang sebuah keluarga yang memiliki seorang balita. Astaga, kasian kalau kebangun gitu... Untungnya, liburan segera usai. 

Si Ayah pun akhirnya bebas menonton di rumah. Meskipun sendirian, ia tampaknya cukup bahagia. Ada banyak kisah seru yang terjadi selama masa menonton Piala Dunia itu. Namun, yang paling dramatis adalah ketika kami tiba-tiba bangun kesiangan. Padahal, hari itu adalah hari Senin ditambah ada meeting penting yang harus dihadirinya di kantor. 

Bangun-bangun, matanya terlihat merah dan bengkak. Katanya baru tidur dua jam yang lalu. Namun, ia tetap menuju kamar mandi dengan sempoyongan. Berangkatnya pun terburu-buru. Fiuh.

Bukan hanya itu saja. Hampir tiap menjelang pukul 19.00, kehebohan biasanya akan terjadi. Televisi segera dinyalakan, kopi diseduh, camilan dikeluarkan, lalu ja langsung nongkrong dengan mata penuh konsentrasi ke layar. 

Serunya kalau si kecil sudah mulai agak rewel. Biasanya, balita berusia 2 tahun ini lalu memanggil-manggil ayahnya untuk menemani bermain. 

“Yahhh... Ayahhh.. Ayahhhhh” Gitu terus, sambung-menyambung. Kuping jadi budeg? Dikiitt. Dan tidak ada cara untuk menghentikannya selain dijawab dan dipenuhi keinginannya. Nah, karena si Ayah ini sedang khusyuk menonton bola, teriakan itu diabaikan saja. Sampai akhirnya saya turun tangan untuk mengingatkan.

“Yah, anak Ayah manggil-manggil dari tadi. Kasian.”

“Eh, iyaaa, Nak. Ada apa? Sini, siniii... Nonton bola sama ayah, Yuk!” rayunya. Lalu, dengan tergopoh-gopoh, anak akan langsung menghampiri. Bertahan berapa lamakah keadaan itu? Ya, sekitar 5 menit. Kemudian, persekutuan kecil mereka pun bubar dan ibu harus kembali menghadapi si kecil yang "sebel" karena dicuekin ayahnya.

***

Puncaknya pada dua malam yang lalu. Si ayah memasang alarm pada pukul 01.00 dini hari. Kami semua tertidur dengan pulas hingga alarm berbunyi. 

Karena suami tidak jua bangun dan saya takut si kecil yang justru terganggu, saya mematikan alarm tersebut. Pada 03.00, suami bangun dan membangunkan saya, “Bu, kenapa alarmnya tidak bunyi, ya?” tanyanya bingung. Saya bilang saja, “Ayah sih nggak bangun-bangun juga, saya kira memang nggak mau menonton bola lagi.” 

Eh, tapi melihat raut wajahnya yang sangat kecewa, saya menjadi menyesal juga. Beberapa kali saya meminta maaf sebelum kami kembali tidur. Meskipun ia tampak tidak ikhlas, ya sudah mau bagaimana lagi. Nah, esoknya saya baru memperoleh kabar jika malam tersebut sebenarnya tidak ada jadwal pertandingan. Ternyata, ia salah membaca jadwal! Halah..

Untuk menebus kesalahan saya (yang sebenarnya tidak jadi salah) tersebut, pada malam terakhir, yaitu pada saat Final Piala Dunia dilangsungkan, saya memberikan kejutan kecil. Secangkir kopi saya seduh. Camilan favoritnya juga tidak ketinggalan. Biasanya, ia suka sekali mengunyah supaya tidak mudah mengantuk. Saya siapkan semuanya tanpa sepengetahuan suami.

Untungnya, Final Piala Dunia dilangsungkan pada pukul 22.00 WIB. Asyik, saya masih bisalah menahan kantuk sebentar. Saya pun meluangkan waktu untuk menemaninya menonton bola. Sementara itu, si kecil pun sudah tidur dengan tenang. “Serius, nih, Ibu ikut nonton bola?” tanya suami merasa belum yakin. Rasa herannya masih belum habis setelah melihat saya membawakan “keperluan” menonton tersebut.

“Ya, iyalah. Memangnya, nggak boleh ya, saya ikut menonton bola?"

“Bolehlah...” katanya tertawa. 

"Nih, tadi mampir di warung dan membelikan ini untuk Ayah. Pokoknya, jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda,” tambah saya. Dan malam itu, kami pun rukun sekali mengikuti pertandingan penentuan antara si calon juara baru, Kroasia dengan Perancis. Saya sendiri mendukung Kroasia. Sementara, ia mendukung Perancis.

***

Sembari menyelesaikan tulisan ini, saya menyadari bahwa masalah sepele yang terjadi di dalam keluarga seharusnya dapat diselesaikan dengan metode win win solution. Masih ada banyak celah yang bisa digunakan supaya keputusan yang diambil dapat melegakan hati keduanya. Bahkan, sesuatu yang tampak menyebalkan pada awalnya, bisa disulap menjadi modal untuk mengeratkan relasi.

Sebagai pekerja yang memiliki waktu terbatas setiap hari untuk bertemu dan berinteraksi dengan pasangan, quality time menjadi hal yang sangat penting. Nah, dengan sedikit pengorbanan, masing-masing pasangan dapat menikmati waktu yang benar-benar berkualitas sehingga membuat hubungan di dalam rumah tangga semakin harmonis.

Tak bisa dimungkiri, ada sebagian kaum istri yang merasa terganggu dengan hobi menonton bola pasangan (dan hobi lainnya) yang dianggap "terlalu". Demikian pula sebaliknya. Akibatnya, konflik-konflik kecil sering terjadi. Padahal, melakukan hobi yang positif akan membuat seseorang menjadi lebih bahagia dan bersemangat menjalani hidup. Kuncinya adalah melakukan hobi dengan aturan dan tidak semaunya sendiri. Kalau sudah begini, percaya deh, semua pasti akan merasa lebih nyaman.*)

Dokpri
Dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun