Mohon tunggu...
Leni Febriyanti nabila
Leni Febriyanti nabila Mohon Tunggu... Lainnya - Pendidikan guru sekolah dasar

Hobi saya mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eight Stages of Psychosocial Development

14 November 2024   11:41 Diperbarui: 14 November 2024   11:56 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Eight Stages of Psychosocial Development biasanya mendalami teori perkembangan psikososial Erik Erikson, yang menggambarkan delapan tahap perkembangan yang dialami individu sepanjang hidupnya. Berikut ini adalah penjelasan lebih mendalam mengenai Eight Stages of Psychosocial Development dari Erik Erikson, termasuk aspek-aspek kunci, contoh, dan dampaknya di tiap tahap:

1. Trust vs. Mistrust (Kepercayaan vs. Ketidakpercayaan)

 Usia: 0-1 tahun (masa bayi)

Krisis: Pada tahap ini, bayi bergantung pada pengasuh mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, kenyamanan, dan kasih sayang.

Aspek Utama: Jika pengasuh merespons kebutuhan bayi dengan konsisten dan penuh kasih, bayi akan mengembangkan rasa kepercayaan terhadap dunia. Sebaliknya, jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi atau terpenuhi secara tidak konsisten, bayi akan merasa tidak aman dan tidak percaya pada lingkungannya.

Contoh: Seorang bayi yang selalu diberi makan saat lapar dan ditenangkan saat menangis akan lebih cenderung mengembangkan rasa percaya pada dunia

Dampak Jangka Panjang: Keberhasilan dalam tahap ini berujung pada rasa aman yang penting untuk hubungan yang sehat di masa depan, sementara kegagalan dapat menyebabkan ketidakpercayaan dan rasa takut pada orang lain.

2. Autonomy vs. Shame and Doubt (Otonomi vs. Rasa Malu dan Ragu)

Usia: 1-3 tahun (kanak-kanak awal)

Krisis: Anak mulai belajar keterampilan dasar, seperti berjalan, berbicara, dan toilet training, serta mengembangkan kontrol atas tubuh mereka sendiri.

Aspek Utama: Ketika orang tua atau pengasuh memberikan dukungan yang positif, anak akan merasa percaya diri dan memiliki otonomi. Namun, jika mereka terlalu mengkritik atau tidak membiarkan ↓ anak belajar m...diri, anak mungkin.

Contoh: Anak yang diberikan dorongan untuk makan sendiri akan merasa percaya diri, sedangkan anak yang selalu dikritik atau diberi  terlalu ketat mungkin akan merasa ragu.

Dampak Jangka Panjang: Keberhasilan di tahap ini membantu anak menjadi individu yang percaya diri dan mandiri. Jika gagal, mereka bisa mengalami ketergantungan atau takut mengambil inisiatif.

3. Initiative vs. Guilt (Inisiatif vs. Rasa Bersalah)

Usia: 3-6 tahun (pra-sekolah)

Krisis: Anak-anak mulai menunjukkan inisiatif dalam bermain dan belajar. Mereka memiliki rasa ingin tahu yang besar dan mencoba memahami dunia melalui berbagai kegiatan.

Aspek Utama: Dukungan untuk inisiatif ini mengarah pada kepercayaan diri dan kemampuan berani mencoba hal baru. Sebaliknya, terlalu banyak kritik atau hukuman membuat mereka merasa bersalah dan untuk mengeksplorasi.

Contoh: Anak yang didukung untuk bermain peran atau membuat permainan sendiri akan merasa percaya diri, sementara anak yang sering dimarahi karena ingin bereksperimen akan merasa bersalah dan ragu.

Dampak Jangka Panjang: Keberhasilan dalam tahap ini menumbuhkan rasa ingin tahu dan keberanian mencoba hal baru, sementara kegagalan dapat menyebabkan rasa malu dan takut mengambil inisiatif.

4. Industry vs. Inferiority (Ketekunan vs. Rasa Rendah Diri)

Usia: 6-12 tahun (usia sekolah)

Krisis: Anak mulai belajar keterampilan praktis dan akademik, serta menyelesaikan tugas-tugas di sekolah dan lingkungan sosial.

 Aspek Utama: Lingkungan yang mendukung pencapaian anak akan membangun rasa kompeten. Sebaliknya, kegagalan atau kritik berlebihan dapat menyebabkan rasa rendah diri.

Contoh: Anak yang sukses menyelesaikan tugas di sekolah dengan bimbingan positif akan merasa kompeten, sedangkan yang sering gagal atau dikritik akan merasa tidak mampu.

Dampak Jangka Panjang: Keberhasilan dalam tahap ini mendorong kerja keras dan ketekunan, sementara kegagalan dapat menyebabkan kurangnya rasa percaya diri.

5. Identity vs. Role Confusion (Identitas vs. Kebingungan Peran)

Usia: 12-18 tahun (remaja)

Krisis: Remaja mulai mengeksplorasi identitas diri, termasuk pilihan karir, nilai, dan tujuan hidup. Mereka mencari jati diri yang unik.

 Aspek Utama: Dukungan yang positif pada eksplorasi ini memungkinkan remaja menemukan identitas yang solid. Tanpa dukungan, mereka mungkin merasa bingung dan tidak yakin akan peran mereka di dunia.

Contoh: Remaja yang didorong untuk mengeksplorasi minat mereka akan menemukan identitas yang kuat, sedangkan yang selalu dikendalikan mungkin merasa bingung dan tanpa arah.

Dampak Jangka Panjang: Keberhasilan di tahap ini menciptakan identitas yang kuat, sedangkan kegagalan dapat menyebabkan kebingungan peran dan ketidakstabilan emosi.

6. Intimacy vs. Isolation (Keintiman vs. Isolasi)

Usia: 18-40 tahun (dewasa muda)

Krisis: Individu berusaha membangun hubungan yang dekat dan intim, termasuk hubungan romantis, persahabatan, dan keluarga.

 Aspek Utama: Jika berhasil, individu akan merasakan cinta dan koneksi yang kuat. Sebaliknya, ketidakmampuan membentuk hubungan intim dapat mengarah pada isolasi dan kesepian.

Contoh: Orang dewasa muda yang memiliki dukungan untuk hubungan yang sehat akan membentuk ikatan kuat, sementara mereka yang gagal menemukan hubungan intim dapat merasa terasing.

Dampak Jangka Panjang: Keberhasilan di tahap ini menumbuhkan rasa cinta dan kedekatan, sementara kegagalan dapat mengakibatkan perasaan isolasi.

7. Generativity vs. Stagnation (Generativitas vs. Stagnasi)

Usia: 40-65 tahun (dewasa menengah)

Krisis: Individu mencari cara untuk memberi kontribusi kepada masyarakat, melalui pekerjaan, keluarga, atau kegiatan sosial.

Aspek Utama: Individu yang merasa berkontribusi pada generasi berikutnya akan merasa berguna. Sebaliknya, mereka yang tidak menemukan tujuan akan merasa stagnan dan tidak berharga.

Contoh: Seseorang yang mengajar atau mengasuh anak-anaknya merasa berarti, sedangkan mereka yang tidak menemukan peran mungkin merasa stagnan.

Dampak Jangka Panjang: Keberhasilan di tahap ini mengarah pada perasaan bermakna, sedangkan kegagalan dapat menyebabkan ketidakpuasan hidup.

8. Integrity vs. Despair (Integritas vs. Putus Asa)

Usia: 65 tahun ke atas (dewasa lanjut)

Krisis: Individu merefleksikan kehidupan yang telah dijalani. Mereka menilai apakah hidup mereka penuh makna atau penuh penyesalan.

Aspek Utama: Mereka yang merasa puas akan mencapai rasa damai dan integritas. Sebaliknya, mereka yang merasa tidak puas dapat merasakan putus asa dan menyesal.

Contoh: Seseorang yang merasa telah mencapai banyak hal akan merasa tenang di masa tua, sementara yang merasa belum meraih apapun mungkin mengalami penyesalan.

Dampak Jangka Panjang: Keberhasilan menciptakan rasa damai dalam kehidupan, sementara kegagalan dapat mengarah pada putus asa.

Teori Erikson ini mencakup seluruh rentang kehidupan manusia, dengan keyakinan bahwa keberhasilan di setiap tahap penting untuk pertumbuhan psikososial yang sehat. Setiap krisis psikososial memberikan individu kesempatan untuk berkembang menjadi orang yang lebih utuh dan resilient dalam menghadapi tantangan hidup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun