Mohon tunggu...
Lengga Pradipta
Lengga Pradipta Mohon Tunggu... Ilmuwan - Simple yet a bit complicated

Sekedar ruang untuk mengutarakan hal2 yang sederhana dan tidak bisa diungkapkan secara saintifik

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pertemanan "Toxic" dan Gaya Hidup, Benarkah Membuat Milenial "Doyan" Berutang?

8 Maret 2021   15:31 Diperbarui: 8 Maret 2021   17:54 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara tentang generasi millennial memang tak pernah membosankan. Ada saja yang bisa diulik lebih mendalam tentang generasi ini. Banyak pro dan kontra tentang millennial. 

Ada yang bilang generasi ini merupakan generasi ‘kunci’ dalam perubahan zaman karena mereka merasakan masa peralihan dari tahun 1990 an ke 2000an, serta mengalami masa peralihan teknologi yang luar biasa. Dan tak sedikit pula yang berpendapat, millennial adalah generasi paling resilient. Benarkah demikian? 

Ternyata, di antara banyak keunggulan dan ke-resistensi-an yang dimiliki millennial, tak sedikit pula yang memandang sebelah mata akan keberadaan mereka. 

Memang, sebaiknya generasi millennial jangan berbangga hati dulu dengan label disematkan, karena menjadi millennial tidak serta merta membuat generasi ini menjadi kaum paling keren. Mari kita bahas apa itu generasi atau kaum millennial, serta siapa saja yang digolongkan ke dalam segmen ini.

Jadi, menurut Strauss dan Howe (1991), millennial adalah mereka yang lahir antara tahun 1980 sampai 2000 dan saat ini memiliki rentang usia 20 sampai dengan 40 tahun. 

Artinya jika dilihat dari segi umur, generasi ini merupakan generasi paling produktif dalam berkegiatan termasuk juga dalam menghasilkan ‘income’. Tapi kenapa ya selain digadang-gadang sebagai kaum paling kreatif, inovatif dan juga paling bisa beradaptasi di semua situasi, millennial juga disebut kaum yang cenderung pembosan, suka hal-hal praktis dan suka berhutang? Apakah hal ini berhubungan dengan perkembangan informasi dan teknologi?

Jadi, seperti yang kita rasakan bersama, dunia semakin lama semakin mengglobal, dan banyak hal-hal yang terasa semakin mudah untuk diakses, sehingga membuat semua orang seperti dimanjakan oleh teknologi, mulai dari soal perut sampai hal-hal sekunder lainnya. Ini yang kerap terjadi di kehidupan sehari-hari, misalnya saat lapar menyerang, tapi malas memasak? 

Tidak perlu khawatir, tinggal pesan makanan melalui sistem pesan antar melalui banyak aplikasi yang tersedia pada gadget kita. Kemudian, tidak punya waktu untuk ke pusat perbelanjaan? 

Tinggal buka platform belanja digital dan dalam sekejap bisa membeli apapun yang diinginkan hanya dengan bermodalkan aplikasi, internet banking atau bahkan bisa mencicil melalui sistem pembayaran ‘pay-later’ yang marak di berbagai platform. 

Bahkan, ketika malas mengantri kendaraan umum seperti angkot, bus dan juga kereta, sekarang sudah banyak tersedia jasa tumpangan pribadi via on-line yang lebih cepat, mudah dan praktis.

Gaya hidup yang serba instan dan praktis ini ternyata lambat laun berdampak negatif pada generasi millennial (dan tentu saja generasi dibawahnya). Hal ini menjadi fenomena yang kian jamak di banyak kota besar di Indonesia. Belum selesai masalah itu, ternyata masih ada masalah lain yang dihadapi oleh generasi millennial.

Masifnya perkembangan social-media, membuat mereka menjadi ‘haus’ untuk menampilkan konten dan mencitrakan diri paling sempurna. Tentu saja, penampilan dan citra diri sempurna yang ditampilkan harus didukung oleh barang-barang keren dan juga circle pertemanan atau peer-group yang terlihat kompak dan terlihat ‘mahal’. 

Tak bisa dipungkiri, gaya hidup dan juga keinginan untuk tampil sempurna ini membuat generasi millennial butuh uang lebih banyak dan pada akhirnya menyebabkan mereka suka berhutang.

Menurut berita yang dilansir oleh CNBC (2019) dikatakan bahwa 1 dari 5 millennial yang sedang terjebak dalam hutang, berharap untuk mati tanpa pernah melunasi hutang-hutangnya. 

Tentu kondisi ini didorong oleh keinginan untuk menampilkan gaya hidup ‘nyaman’ dan kuatnya keinginan untuk ‘diterima’ dalam suatu peer-group. Akibatnya,  berhutang dianggap sebagai jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan ‘temporary’ hidup para millennial. Tapi, apakah betul semua millennial demikian? Ternyata tidak juga loh. 

Menurut IDN Research Institute (2019), generasi millennial memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada pembangunan karena mereka merupakan generasi yang melek teknologi, memiliki jiwa entrepreneur yang menggebu, menghargai keberagaman, mulai melek dengan literasi keuangan, serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, yang sebenarnya berdampak baik di dunia kerja. 

Lantas, mengapa masih banyak generasi millenial yang terjerat hutang serta circle pertemanan ‘toxic’ atau peer-group yang salah? Berikut beberapa alasannya;

(1) Masih banyak millennial yang belum bisa menentukan kebutuhan primer dalam hidup mereka. Padahal, hal ini sebenarnya sangat mudah dilakukan. Kebutuhan primer tentu saja berkaitan dengan 3 (tiga) hal utama yakni; pangan, sandang dan papan. 

Ketiga hal ini adalah mutlak harus dipenuhi sebelum kebutuhan sekunder lainnya seperti gadget, liburan mahal dan yang lainnya. Perlu dicatat, jika ada kebutuhan lain yang tidak mendesak, maka sebaiknya menabung dulu agar suatu hari bisa membelinya tanpa berhutang;

(2) Masih menyukai gaya hidup yang ‘wah’ tak sesuai kenyataan kantong. Zaman sekarang ada istilah BPJS (Budget Pas-Pasan Jiwa Sosialita), nah ini yang harus benar-benar dihindari. 

Bergayalah sesuai budget yang dimiliki, jika belum mampu maka tidak usah ikut-ikutan menjadi sosialita palsu agar diterima di suatu pergaulan/pertemanan;

(3) Masih enggan menabung setiap bulan. Ya, menabung merupakan hal yang begitu penting bagi millennial. Padahal jika kebiasaan ini dirutinkan, bisa membuat millennial lebih bersiap untuk segala kemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang. Bisa dibilang ini merupakan mitigasi jika sewaktu-waktu kondisi keuangan sudah tak tertolong;

(4) Masih beranggapan bahwa kartu kredit adalah penolong untuk belanja! Ketika berbelanja di pusat perbelanjaan atau on-line jangan pernah menggunakan kartu kredit. Karena fungsi kartu itu bukan penolong untuk berbelanja. Itu adalah kartu ‘hutangan’ yang suatu saat harus dibayar dan dilunasi;

(5) Masih terjebak pada circle pertemanan yang salah. Ini adalah poin terakhir namun sangat penting. Selektif memilih teman bergaul itu merupakan hal paling krusial yang akan berdampak pada gaya hidup serta cara pikir. 

Pilihlah teman-teman yang tulus dan apa adanya karena mereka tidak akan menilai dari 'casing' luarnya saja, serta hindari berteman dengan peer-group yang tidak sesuai dengan kepribadian yang dimiliki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun