Masih banyaknya wilayah izin usaha pertambangan yang masuk dalam kawasan hutan lindung (3,81 juta hektar), hutan konservasi (803,3 ribu hektar), bahkan mencaplok wilayah tempat tinggal masyarakat adat harus segera diselesaikan.Â
Selain itu, menurut Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia pada tahun 2018, banyaknya perusahaan tambang yang 'mangkir' membayar kewajiban keuangannya pada Negara melalui skema PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) mengindikasikan belum patuhnya pengusaha tambang di Indonesia.
Dibutuhkan komitmen total dan dukungan serius dari semua pemangku kepentingan agar tata kelola tambang di Indonesia semakin baik. Tentu saja, jeratan para elit dan penguasa benar-benar harus diawasi dengan ketat. Lembaga di tingkat akar rumput, lembaga independen seperti KPK, Kementerian terkait, Pemerintah Daerah dan tentunya komitmen Kepala Negara sebagai main decision-maker harus terlaksana.Â
Selain itu, inovasi kebijakan mulai dari system pembayaran PNBP dan pengurusan izin usaha tambang secara on-line juga sangat penting diterapkan agar perusahaan tambang tidak bisa berkelit dari kewajibannya, dan masyarakat bisa melihat semua proses tata kelola ini secara transparan dan akuntabel.
Bagaimanapun, tentunya masyarakat dituntut untuk terus 'melek' dengan sektor tambang agar tidak diperdaya dan dibayang-bayangi lagi oleh para elit dan penguasa yang tamak. Karena Mahatma Gandhi pernah berujar "Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak akan cukup untuk memenuhi keinginan segelintir manusia yang serakah".