Justru sumber daya yang melimpah tidak mengindikasikan kemakmuran, malah sebaliknya, itu merupakan suatu kutukan, karena Negara berkembang hanya akan 'diekstrak' dan hanya akan terjebak dalam kemiskinan.
Sebagai contoh, di China sebagian besar pabrik semen tutup karena diyakini mencemari lingkungan yang menyebabkan pekerja pabrik serta masyarakat sekitar mendapatkan gangguan pernapasan akut. Kondisi serupa pun terjadi di India, dimana pemerintah mulai berpikir untuk menata ulang sector tambang karena telah banyak menghilangkan nyawa orang.Â
Menurut portal berita Antara News tahun 2017, sebanyak 16 orang pekerja tambang tewas disebabkan oleh bencana ekologis (longsor) di tambang batubara wilayah Jharkhand pada Januari 2017 lalu.Â
Semua permasalahan yang timbul pada akhirnya menyebabkan trend industry ekstraktif perlahan mulai memudar dan kehilangan 'taring' di dunia internasional.
Jika dunia internasional mulai kritis akan industry ini, lantas bagaimana dengan geliatnya di dalam negeri? Di Indonesia, permasalahan industry ekstraktif bagaikan benang kusut yang masih belum bisa diurai.Â
Pada tahun 2018, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, sebuah lembaga non-profit yang berfocus pada tata kelola industry ekstraktif menyebutkan bahwa pemerintah masih belum serius dalam menangani sektor tambang di Indonesia.Â
Padahal, 3 tahun yang lalu, tepatnya 14 April 2016, Presiden Joko Widodo berjanji akan memberlakukan moratorium kelapa sawit dan juga tambang. Namun sayang, sampai detik ini hanya moratorium kelapa sawit yang diberlakukan melalui Inpres No. 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktifitas Perkebunan Sawit.Â
Sektor tambang belum juga disentuh oleh pemerintah. Senada dengan temuan PWYP Indonesia, Jatam (Jaringan Advokasi Tambang) menemukan bahwa terdapat lebih dari 290 perusahaan tambang batubara tersebar di wilayah indonesia, dan 8 juta hektar lubang bekas tambang tersebut sampai saat ini belum juga direklamasi.Â
Artinya, kondisi ini akan berdampak pada bencana ekologis dan juga livelihood masyarakat. Spiegel dan Brown pada tahun 2017, dalam risetnya yang berjudul "Heed Local Impact of Coal Mining" turut menekankan bahwa semua pihak harus memiliki kepedulian terhadap kelompok marjinal yang berada di wilayah tambang batubara, karena tambang merusak bukan hanya kesehatan, tapi juga sumber penghidupan, mencemari air dan udara, serta berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim.
Tata Kelola Tambang Tanpa Bayang-Bayang Elite dan Penguasa
Terlepas dari dependensi pembangunan pada sektor tambang, tak bisa dinafikan bahwa pada sektor ini perlu dilakukan reformasi besar-besaran, terutama perizinan dan tata kelolanya.Â