Interaksi saya dengan mertua berlangsung 4 tahun (ibu) dan 8 tahun (bapak). Pertama kali berkenalan sekitar April 2006. Ibu wafat Februari 2010 dan bapak Januari 2014. Bagi saya, masa interaksi itu terlalu singkat. Banyak momen berkesan dengan keduanya, terutama bapak. Bapak berasal dari Bone dan Ibu dari Cilacap. Perawakan bapak tinggi besar. Pertama kali bertemu dengan bapak dalam suasana yang agak formal. Saya duduk layaknya bertamu dan mengobrol di ruang tamu bareng bapak dan ibu calon mertua.
Hari-hari berikutnya, saya mulai intensif datang ke rumah calon istri setelah pulang kerja. Saat pertama kali mengenal, bapak sudah pensiun dan waktunya lebih banyak di rumah.
Bapak aktif sebagai jama'ah di musholla dekat rumah. Kami sering berangkat bersama menuju ke musholla untuk sholat Maghrib dan Isya berjama'ah. Jika ada undangan tahlilan atau selametan dari warga, saya juga diminta bapak untuk menemani. Senang sekali bisa ikut sekalian kenal dengan tetangga-tetangga.
Tahun 2006 ada turnamen Piala Dunia sepak bola. Bapak suka sekali sepak bola. Sebagai penggemar sepak bola, momen ini tentu tak saya lewatkan untuk ngomongin sepak bola sama bapak. Yang saya ingat, bapak suka sekali tim Italia. Jadilah pembahasan tentang superioritas tim Italia menjadi topik utama obrolan kami, apalagi Italia saat itu berhasil menjadi juara dunia.
Tiket Kereta ke Cilacap
Setelah pernikahan, intensitas interaksi dengan bapak makin meningkat. Saya adalah mantu kedua bapak. Pernah ada satu momen yang masih saya dan istri kenang. Pada empat tahun pertama usia pernikahan, saya dan istri tinggal berjauhan dengan bapak. Kami di Jakarta Pusat, sedangkan bapak di Jakarta Utara.Â
Pada suatu siang tahun 2008, bapak tiba-tiba datang ke rumah kami. Dari Jakarta Utara ke rumah kami, bapak naik kendaraan umum. Bapak mau ke Cilacap karena ada kerabat yang wafat di sana dan minta dipesankan tiket kereta. Waktu itu belum ada pemesanan tiket secara daring, berangkatlah saya ke Stasiun Gambir untuk memesan tiket kereta bisnis ke Cilacap.Â
Penuh. Tak ada tiket lagi. Begitu pula untuk kereta argo. Bapak meminta saya untuk ke Stasiun Senen naik kereta ekonomi. Dari awal, saya dan istri tidak mau bapak naik kereta ekonomi karena pasti bapak tidak dapat kursi. Itu berarti bapak harus duduk di lorong atau bordes sepanjang perjalanan. Bapak tetap ingin berangkat saat itu juga. Saya memesan tiket kereta ekonomi dan bapak dapat tiket tanpa kursi. Benar dugaan kami. Setelah sampai di Cilacap, bapak cerita hampir sepanjang perjalanan duduk di bordes dengan alas koran.
Bapak dan Sepiring Nasi
Menurut cerita istri, bapak seorang pejuang keluarga. Pekerjaannya buruh pabrik yang harus menghidupi seorang istri dan sembilan anak. Bapak dapat dikatakan jarang makan enak atau porsi mahal. Pendekatan melalui makanan ini yang saya lakukan untuk dekat dengan mertua, terutama bapak. Saat belum menikah, saya sering membawakan bapak dan ibu makanan. Beberapa kali pula pada malam minggu, kami mengajak bapak dan ibu makan di restoran di mal.Â
Kedekatan saya dan bapak mertua makin erat saat saya dan istri memutuskan mengontrak rumah dekat rumah bapak. Waktu itu bapak sudah setahun ditinggl ibu wafat. Rumah kami hanya beda RT. Salah satu media kedekatan saya dengan bapak juga terjalin melalui nasi. Bapak suka makan nasi dengan porsi besar. Itu pula yang menjadi pilihan bapak saat saya menawarkan sesuatu.Â
Saya sering minta tolong ke bapak untuk beberapa pekerjaan ringan di rumah yang tidak bisa saya lakukan karena kurang terampil menukang. Bapak dapat dikatakan sangat terampil. Begitulah, jika saya minta tolong ke bapak, saya tanyakan mau dibelikan apa pak. Bapak dengan tegas menjawab nasi padang pakai rendang atau ayam bakar.Â
Kata istri, bapak sangat jarang makan nasi padang saat anak-anak masih sekolah. Saya dan istri ikut bahagia saat bapak menikmati makanan yang kami sajikan. Beberapa kali, saat anak-anak kami masih di bawah lima tahun, kami mengadakan syukuran dengan mengundang keluarga inti makan-makan di rumah.Â
Bapak selalu datang lebih awal dan ini jadi momen kami mengobrol sambil menunggu saudara-saudara yang lain datang. Pernah satu waktu, kami mengadakan syukuran ulang tahun anak pertama kami di restoran cepat saji yang letaknya tak jauh dari rumah. Ini momen pertama bapak merasakan syukuran ulang tahun cucunya di restoran cepat saji. Dan. lagi-lagi diplomasi nasi ini berjalan membahagiakan. Saat sesi makan dimulai, bapak memanggil saya untuk menambah satu porsi nasi lagi
Memantau Proses Aqiqah
Satu momen lain yang mengharukan bagi saya adalah aqiqah anak pertama saya. Saya mencari iklan aqiqah di majalah. Waktu itu berarti saya masih tinggal berjauhan dengan bapak. Ada satu jasa aqiqah yang lokasinya tidak jauh dari rumah bapak. Setelah memesan melalui telepon, kami menginformasikan ke bapak terkait lokasi pemesanan aqiqah.Â
Tanpa kami sangka, bapak datang ke lokasi dan menyaksikan langsung semua proses penyiapan aqiqah mulai dari pemotongan sampai pengepakan. Dan, pada haru H, bapak hadir lebih dulu di acara pengajian yang kami adakan. Katanya, ini cucu pertama yang diaqiqahkan. Terpancar raut wajah bahagia bapak saat itu. Saat anak kami kedua aqiqah dua tahun kemudian, kami memilih lokasi aqiqah yang dekat rumah bapak semata-mata ingin melihat kebahagiaan bapak memantau proses aqiqahnya.
Kabar Terakhir saat Banjir
Awal 2014, sebagian wilayah Jakarta diguyur hujan berintensitas tinggi beberapa hari. Kondisi banjir pun tak terelakkan, termasuk di wilayah kontrakan kami di Jakarta Utara. Air masuk dari sela-sela ubin dan jalalan depan rumah. Kami pun mengungsi ke rumah bapak di gang sebelah yang masih aman dari banjir. Ada sekitar seminggu, kami mengungsi ke rumah bapak. Di rumah bapak, ada dua adik istri yang tinggal menemani bapak.
Pada suatu malam, napas bapak terdengar sesak. Ini kondisi yang sebenarnya cukup sering sejak setahun terakhir bapak sakit. Saat itu, saya masih menyelesaikan pekerjaan di laptop. Tidak jauh dari tempat tidur bapak. Segera saya bangunkan keluarga yang lain un untuk sama-sama mengecek kondisi bapak.Â
Adik kami memberikan alat bantu pernapasan untuk sedikit meringankan sesaknya. Saya bergegas menyiapkan motor untuk membawa bapak ke rumah sakit yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Sampai di rumah sakit, bapak dibawa masuk. Adik ipar dan istri ikut di dalam. Saya diminta istri untuk menunggui anak-anak di rumah dan bersiap jika sewaktu-waktu ada panggilan mendesak. Beberapa jam kemudian, istri mengabari bapak telah wafat.
Merenungi Kembali Pesan-Pesan Tersirat
Banyak kesan mendalam yang saya dapatkan selama berinteraksi dengan bapak. Begitu pula pesan-pesan moral yang walaupun tidak pernah terucap, bapak selalu menanamkan kepada anak-anaknya. Menjaga sholat fardhu di masjid adalah nilai utama yang saya dapatkan dari bapak.Â
Saat bolak-balik di rumah sakit, bapak sempat koma beberapa hari. Setelah sadar, kondisi bapak sudah berbeda dengan sebelumnya. Mungkin ada sedikit memori yang tidak sempurna lagi. Namun, saat adzan, bapak bergegas mengambi wudhu dan sholat di musholla terdekat layaknya yang beliau lakukan setiap hari.
Kemudian, nilai-nilai silaturrahim menjaga hubungan baik keluarga baik sekandung maupun keluarga besar harus terus terpelihara. Kami -- anak-anak bapak -- Â terjemahkan itu dengan melanjutkan silaturrahim bapak dengan keluarga besar. Saat Lebaran atau momen-momen lainnya, selalu kami usahakan untuk hadir di tengah-tengah keluarga besar.Â
Tak kalah pentingnya adalah nilai-nilai pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Dengan pekerjaan sebagai buruh pabrik yang harus menghidupi sembilan anak, bapak berhasi menyekolahkan anak-anaknya dengan baik. Kata istri, bapak tidak pernah menolak atau marah-marah ketika diminta uang untuk keperluan sekolah atau kuliah. Jika belum ada uang, bapak menjawab "iya nanti". Mungkin tidak saat itu diberikan. Namun, alhamdulillah, selalu ada saja jalan rezeki untuk bapak.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI