Mengawali tahun 2018, masyarakat banua mendapatkan hadiah luar biasa yakni ditayangkannya Film "Sejarah Perang Banjar" yang diilhami dari naskah Banua Kita karya DMA. H. Adjim Ariadi, Bsc.Â
Di hari pertama, pemerintah propinsi membagikan tiket gratis untuk menonton penayangannya di satu-satunya cinema di Banjarmasin. Untuk masyarakat yang tidak kebagian tiket, beberapa nonton bareng juga digelar.Â
Bahkan lebih jauh lagi, ada link YouTube yang dibagikan secara gratis. Upaya Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan untuk mempromosikan film ini terutama untuk memberikan pengetahuan tentang peristiwa Perang Banjar ini memang layak diacungi jempol.Â
Tidak dapat dipungkiri, anak muda zaman now, bahkan zaman then seperti saya, sangat minim pengetahuan tentang sejarah banua sendiri.Â
Bahkan banyak yang mengenal Pangeran Antasari hanya dari seraut wajah di Rupiah senilai dua ribu sebagaimana juga disoroti dalam film ini. Padahal, kesadaran tentang sejarah, adalah awal dari kesadaran untuk bangkit dari keterpurukan. Untuk membela tanah banyu banua dari jarahan tangan-tangan serakah yang menyengsarakan masyarakat.
Omong-omong, perlu digarisbawahi terlebih dahulu bahwa saya bukanlah ahli sejarah, dan bukan pula ahli budaya, apalagi ahli komunikasi perfilman. Jadi saya hanya menulis review ini sependek pengetahuan saya belaka, sebagai tanda kecintaan dan apresiasi saya atas film kolosal ini, dan juga sebagai refleksi kegelisahan saya sebagai perempuan banua.
Saya berharap banyak atas peran perempuan saat melihat bahwa pemeran utama, disamping pemeran Pangeran Antasari sebagai tokoh sentral, mencantumkan beberapa nama perempuan yang cukup punya nama di kancah perfilman nasional. Terlebih lagi salah satu adegan pembuka menampilkan Putri Junjung Buih dengan gagah berani melawan seorang prajurit Walanda.Â
Dalas balangsar dada,
Waja sampai ka puting.
Adegan ini menjadi maha penting untuk mengingatkan bahwa dalam perjuangan fisik kemerdekaan, masyarakat Banjar memiliki pahlawan-pahlawan perempuan yang perannya sangat luar biasa.Â
Bahkan peletakkan adegan ini untuk membuka alur peperangan saya rasa tidak terlepas dari pemikiran brilian sang sutradara untuk menunjukkan bahwa dalam masyarakat Banjar  dahulu, perempuan dipandang memiliki kedudukan setara dengan laki-laki.Â
Tidak hanya pada zaman dahulu tentunya perempuan dihormati dan diletakkan setara, dalam film ini kepala sekolah pun diperankan oleh perempuan dengan guru-guru berjenis kelamin perempuan pula.Â
Sang sutradara pun sangat jeli menyisipkan pesan bahwa ranah domestik seperti memasak, bukan semata dibebankan pada perempuan. Hal ini terlihat dalam salah satu adegan di mana seorang amang menyiapkan masakan di warung.
Tak kurang pula rasa haru saya saat dalam setiap rapat untuk melakukan tindakan penting, perempuan selalu dilibatkan dan didengar suaranya. Bahkan dalam salah satu diskusi antar petinggi Walanda yang membahas tentang rencana penyerangan Pangeran Hidayatullah, ada satu sosok perempuan Walanda ikut duduk, berbicara, dan pendapatnya pun didengarkan.Â
Adegan yang sangat jarang kita temui dalam penggambaran film-film perang. Biasanya, Walanda hanya digambarkan melalui sosok laki-laki bengis dan patriarkal luar biasa, jika ada perempuan, mereka hanya dijadikan pemanis dan mungkin, pungkala bencana (seperti film Samson Delilah versi Indonesia misalnya). Ada pula saat Aluh Saranti (Putri Junjung Buih) menjadi pusat kabar tentang diangkatnya Pangeran Tamjidillah menjadi raja.Â
Tidak ada penolakan dari para tetua (tentu laki-laki semua) saat Putri Junjung Buih ikut duduk dan berdiskusi padahal saat itu nampaknya malam telah larut (ditandai dengan malam yang pekat) dan diskusi dilaksanakan di ruang terbuka, bukan di rumah sang putri pahlawan. Tidak ada adegan yang menyuruh sang putri untuk pulang karena "ini adalah tugas laki-laki".Â
Begitu pun saat penyusunan strategi penyerangan oleh Pangeran Antasari, beliau menempatkan sang putri sebagai salah satu pimpinan pasukan. Hal ini tentu jarang ditemukan, kecuali mungkin dalam film kolosal bersejarah "Tjoet Njak Dhien"Â yang dibintangi oleh Christina Hakim, dimana memang beliau lah tokoh sentralnya, berbeda dengan film Sejarah Perang Banjar yang memang dipersembahkan untuk mengenang Pangeran Antasari.Â
Untuk itu, mari berharap dan berdoa agar ada film Sejarah Perang Banjar lanjutan yang mengangkat keberanian para pahlawan perempuan, mungkin Putri Junjung Buih, Ratu Zaleha, atau Kiai Cakrawati, sehingga semangatnya dapat diwarisi oleh para galuh dan diang di banua kita ini.Â
Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada (seperti kurangnya penggambaran peperangan yang dahsyat, Â dan lama), film Sejarah Perang Banjar ini sangat layak diapresiasi.Â
Sinematiknya pun halus, apatah lagi pengambilan gambar dilaksanakan di pegunungan yang indah dengan air terjun yang memukau, tutur kata dengan logat Banjar pun mengalir dengan natural, tidak ada terpatah-patah yang mengganggu orisinalitas tutur bahasa ibu.Â
Penampilan khusus sang gubernur sebagai Utuh Buntat pun sedikit banyak mampu menggambarkan kegelisahan rakyat saat itu. Beliau tidak hanya tampil, tapi ternyata mampu memberi warna dan membuat saya tekurihing.
*catatan singkat seusai menonton Film Sejarah Perang Banjar via YouTube.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H