Tidak hanya pada zaman dahulu tentunya perempuan dihormati dan diletakkan setara, dalam film ini kepala sekolah pun diperankan oleh perempuan dengan guru-guru berjenis kelamin perempuan pula.Â
Sang sutradara pun sangat jeli menyisipkan pesan bahwa ranah domestik seperti memasak, bukan semata dibebankan pada perempuan. Hal ini terlihat dalam salah satu adegan di mana seorang amang menyiapkan masakan di warung.
Tak kurang pula rasa haru saya saat dalam setiap rapat untuk melakukan tindakan penting, perempuan selalu dilibatkan dan didengar suaranya. Bahkan dalam salah satu diskusi antar petinggi Walanda yang membahas tentang rencana penyerangan Pangeran Hidayatullah, ada satu sosok perempuan Walanda ikut duduk, berbicara, dan pendapatnya pun didengarkan.Â
Adegan yang sangat jarang kita temui dalam penggambaran film-film perang. Biasanya, Walanda hanya digambarkan melalui sosok laki-laki bengis dan patriarkal luar biasa, jika ada perempuan, mereka hanya dijadikan pemanis dan mungkin, pungkala bencana (seperti film Samson Delilah versi Indonesia misalnya). Ada pula saat Aluh Saranti (Putri Junjung Buih) menjadi pusat kabar tentang diangkatnya Pangeran Tamjidillah menjadi raja.Â
Tidak ada penolakan dari para tetua (tentu laki-laki semua) saat Putri Junjung Buih ikut duduk dan berdiskusi padahal saat itu nampaknya malam telah larut (ditandai dengan malam yang pekat) dan diskusi dilaksanakan di ruang terbuka, bukan di rumah sang putri pahlawan. Tidak ada adegan yang menyuruh sang putri untuk pulang karena "ini adalah tugas laki-laki".Â
Begitu pun saat penyusunan strategi penyerangan oleh Pangeran Antasari, beliau menempatkan sang putri sebagai salah satu pimpinan pasukan. Hal ini tentu jarang ditemukan, kecuali mungkin dalam film kolosal bersejarah "Tjoet Njak Dhien"Â yang dibintangi oleh Christina Hakim, dimana memang beliau lah tokoh sentralnya, berbeda dengan film Sejarah Perang Banjar yang memang dipersembahkan untuk mengenang Pangeran Antasari.Â
Untuk itu, mari berharap dan berdoa agar ada film Sejarah Perang Banjar lanjutan yang mengangkat keberanian para pahlawan perempuan, mungkin Putri Junjung Buih, Ratu Zaleha, atau Kiai Cakrawati, sehingga semangatnya dapat diwarisi oleh para galuh dan diang di banua kita ini.Â
Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada (seperti kurangnya penggambaran peperangan yang dahsyat, Â dan lama), film Sejarah Perang Banjar ini sangat layak diapresiasi.Â
Sinematiknya pun halus, apatah lagi pengambilan gambar dilaksanakan di pegunungan yang indah dengan air terjun yang memukau, tutur kata dengan logat Banjar pun mengalir dengan natural, tidak ada terpatah-patah yang mengganggu orisinalitas tutur bahasa ibu.Â
Penampilan khusus sang gubernur sebagai Utuh Buntat pun sedikit banyak mampu menggambarkan kegelisahan rakyat saat itu. Beliau tidak hanya tampil, tapi ternyata mampu memberi warna dan membuat saya tekurihing.
*catatan singkat seusai menonton Film Sejarah Perang Banjar via YouTube.