Mohon tunggu...
Lena Hanifah
Lena Hanifah Mohon Tunggu... profesional -

mencintai buku dan anak-anak setengah mati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pertempuran Aturan di Atas Tubuh Perempuan

3 November 2016   13:33 Diperbarui: 4 November 2016   12:24 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: baranews.com

Berita yang dilansir oleh Banjarmasin Post tertanggal 18 Oktober 2016, Selasa kemarin, mengusik perasaan saya. Berita tersebut berjudul 'Hati-hati Keluyuran Magrib dan Bercelana Pendek, Kalau Tidak Ingin Dirazia'.

Berita itu mengetengahkan adanya rencana dari Pemerintah Kota Banjarmasin untuk membentuk Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) yang akan merazia anak-anak yang keluyuran saat maghrib dan menertibkan perempuan yang keluar rumah atau ke tempat umum yang mengenakan celana pendek. Yang pertama menarik perhatian adalah foto yang ditampilkan pada berita tersebut diiringi caption 'AN, cewek ABG korban pelecehan oknum Satpol PP Kota Banjarmasin kembali diciduk saat ngelem di Taman Kamboja'. Kalimat keterangan foto tersebut seolah menyampaikan maksud bahwa wajar si perempuan dilecehkan karena ia sendiri yang mengundang terjadinya pelecehan tersebut, karena ia (mungkin) bercelana pendek.

Asumsi ini terbangun karena penampilan foto yang mengiringi berita celana pendek. Tapi tentu kita tidak bisa hanya bermain asumsi-asumsi saja dalam menyampaikan sesuatu terutama yang berkaitan dengan masalah hukum, yang pada gilirannya menyangkut hajat hidup orang banyak. Akan tetapi, bagaimanapun, asumsi tetap memegang peranan penting saat sebuah aturan baru dicoba untuk diterapkan. Selanjutnya tulisan ini akan terfokus hanya pada rencana razia celana pendek bagi perempuan.

Pada saat tautan berita ini diunggah ke laman media sosial, beragam tanggapan bermunculan. Pro dan kontra tentu, dan ada pula yang masa bodoh, yang pastinya diwarnai dengan asumsi-asumsi yang beraneka ragam. Pada salah satu grup di forum percakapan online, tanggapan-tanggapan pro antara lain berargumen bahwa apapun yang terjadi belakangan, yang penting tangkap dahulu demi menjaga kewibawaan Satpol PP. Yang lain berargumen bahwa karena adanya janji kampanye dari wali kota (penulis tidak mengetahui secara persis janji kampanye mana yang dimaksud) maka razia ini menjadi wajar untuk dilakukan.

Yang kontra membalas dengan membalik bahwa jika alasan adalah aurat, maka aurat lelaki adalah sebatas lutut, berarti lelaki bercelana pendek pun harus ikut dirazia. Partisipan diskusi online lain menanyakan apakah sudah ada dasar hukumnya sehingga Satpol PP diberikan kewenangan sedemikian mengingat pasal 255 Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja dibentuk untuk menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat....

Indonesia adalah negara hukum, dan salah satu prinsip negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur atau pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, di mana tindakan apapun yang dilakukan oleh pemerintah haruslah didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini mutlak karena jika pemerintah dibiarkan memiliki kewenangan tanpa ada kontrol, maka kewenangan akan menjadi kesewenangan yang tidak diinginkan.

Menarik mencermati bahwa tubuh perempuan sering menjadi ajang pertempuran oleh berbagai pihak. Kita tentu ingat peristiwa-peristiwa menyedihkan dan mengusik rasa kemanusiaan beberapa waktu yang lalu, dimulai dari pemerkosaan terhadap seorang gadis remaja oleh 14 (empat belas) orang lelaki (beberapa di antaranya masih di bawah umur), dilanjutkan dengan pencabulan terhadap 58 gadis di bawah umur oleh seorang pengusaha, pemerkosaan terhadap balita dan terakhir adalah pemerkosaan yang diakhiri dengan pembunuhan dengan menggunakan pacul atau cangkul.

Peristiwa yang terakhir disebutkan sangat khas menyiratkan refleksi kegarangan masyarakat patriarkal, yakni penghukuman terhadap alat seksualitas perempuan. Masyarakat lalu bereaksi dengan keras, dan serta merta terbelah menjadi dua kubu. Kubu yang pertama, adalah kubu yang segera berupaya melakukan advokasi dan menyalakan kewaspadaan terhadap kekerasan seksual. Di dunia maya, kubu ini ditandai dengan munculnya hashtag-hashtag (tanda pagar) simpati, lalu kemudian mengajak penandatanganan petisi agar pemerintah segera mengundangkan draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (yang kemudian ditindak lanjuti dengan cepat oleh pemerintah pusat).

Kubu kedua, adalah kubu yang seringkali muncul mengiringi kubu pertama, akan tetapi menempuh jalan berbeda. Mereka segera mencaci pelaku dan herannya, tidak lupa menyiratkan penyalahan terhadap perempuan. Mereka berpendapat bahwa perempuan bagaimanapun adalah pihak yang ikut bersalah karena ia melakukan provokasi dengan, misalnya dalam kasus YY, lewat di depan sekumpulan pemuda. Lebih jauh lagi, mereka kemudian menyalahkan perempuan-perempuan yang tidak menutup auratnya dengan benar sebagai pemicu bagi para pemuda itu melakukan pemerkosaan, padahal perempuan-perempuan itu, dalam konteks ini, tidak berada di tempat kejadian perkara. Perempuan dianggap sebagai penanggung penderita, yang dalam keadaan apapun, bersalah terhadap kekerasan seksual yang terjadi. Hal ini membawa konsekuensi yang tidak sedikit.

Pertama, perempuan akan menjadi korban kekerasan berulang. Tidak cukup hanya menjadi korban kekerasan seksual, ia berlanjut menjadi bulan-bulanan media massa tertentu dan netizen yang tanpa ampun menyebarkan foto korban disertai sedikit simpati, akan tetapi jika dilihat secara substantif menyalahkan korban, seperti misalnya memberikan komentar:

Makanya jangan lewat di depan cowok-cowok.”

Atau

Makanya, jangan pakai celana pendek.”

Padahal korban adalah remaja yang baru pulang sekolah dan masih mengenakan seragam. Tidak ada sedikit pun ia memiliki andil dalam menyebabkan terjadinya perkosaan tersebut.

Kedua, pemberian stigma buruk terhadap korban akan berakibat pada semakin tumbuh suburnya kekerasan seksual itu sendiri. Ketakutan untuk menjadi korban kekerasan berulang sebagaimana disebutkan sebelumnya membuat korban (dan keluarga) lalu memilih untuk tidak membawa kejadian tersebut ke jalur hukum, dan pada gilirannya membuat pelaku merasa leluasa untuk kembali melakukan aksinya. Lebih jauh lagi, menurut Chopra, jikapun pada akhirnya korban berhasil memperoleh keadilan di pengadilan, ia tetap harus menghadapi kenyataan bahwa stigma buruk masyarakat akan tetap menempel padanya. (Chopra and Isser, 2012) .

Keadaan sedemikian tentu memperburuk upaya rehabilitasi korban, dan dalam lingkup yang lebih besar, menjadikan upaya penanggulangan kekerasan seksual menjadi sia-sia, dan lebih parah lagi, menjadikan legitimasi patriarkal semakin merajalela. Pemerintah berkewajiban membuat norma hukum yang applicable dan pada saat yang bersamaan, efektif untuk mencegah timbulnya tindak kekerasan seksual, bukan malah melakukan viktimisasi. Yang terpenting, jangan menciptakan ruang bagi pelaku untuk merasa bahwa apa yang ia lakukan mendapat pembenaran, dan pada gilirannya menciptakan pelaku-pelaku kekerasan seksual baru. Masyarakat haruslah bekerjasama melakukan perlindungan terhadap anak, perempuan dan atau siapapun yang menjadi korban, dan itu harus dimulai sejak dini.

Bagaimana caranya?
Pendidikan adalah salah satu jawaban. Alih-alih sekadar sibuk memberi peringatan tentang moral perempuan (sementara mengabaikan moral sendiri), kenapa tidak melakukan pendidikan sejak dini terhadap laki-laki untuk menanamkan penghormatan terhadap harkat martabat orang lain, dan pengenalan serta pengelolaan hasrat seksual? (Wattimena, 2016) Pelaku kekerasan seksual sebagian besar/mayoritas adalah laki-laki, dan sangat sedikit ditemukan pelaku perempuan.

Dari dini anak lelaki haruslah diajari bahwa menggoda perempuan lewat dengan bersiul (catcalling) adalah salah, bahwa mencolek teman perempuan sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman adalah salah, dan seterusnya. Seringkali kita melakukan pembiaran terhadap tingkah laku mereka dengan menjawab bahwa 'namanya juga anak lelaki....', tanpa menyadari bahwa itu adalah bentuk pembiaran yang pada akhirnya, menciptakan pelaku-pelaku kekerasan seksual baru. Sebagai penutup, mantan Perdana Menteri Israel tahun 1969 -1973, Golda Meir, pernah meminta untuk memberlakukan aturan unik untuk menekan angka perkosaan di negerinya. Alih-alih menimpakan kesalahan pada tubuh badan perempuan, ia malah memerintahkan agar jam malam diberlakukan untuk laki-laki agar tidak berkeliaran dan supaya laki-laki tersebut tidak melakukan kejahatan terhadap perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun